Julianne Moore Berakting dengan Kekuatan Empati

Sabtu, 03 Agustus 2019 - 14:30 WIB
Julianne Moore Berakting dengan Kekuatan Empati
Julianne Moore Berakting dengan Kekuatan Empati
A A A
KUNCI kekuatan Julie Anne Smith atau dikenal dengan Julianne Moore saat berakting adalah kemampuannya dalam berempati dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.

Ya, Julianne memang kerap digambarkan di media sebagai salah satu aktris paling berbakat dan berprestasi pada generasinya. Sebagai aktris paruh baya, dia jarang mendapatkan peran sebagai wanita tua dan terus-menerus memerankan karakter yang sama atau hanya bermain dalam film berbujet besar.

Sebaliknya, Julianne justru bisa menikmati penampilannya dalam berbagai film independen berbiaya rendah, apalagi produksi Hollywood berskala besar. Salah satu karakter Julianne yang begitu kuat di sepanjang karier aktingnya adalah peran sebagai wanita bermasalah, terutama peran yang harus mengeluarkan kekuatan emosi.

Julianne muncul menjadi sosok perempuan yang berkarakter. Pada awal bulan ini, Julianne mulai aktif mempromosikan film terbarunya, After the Wedding. Di sini dia bekerja sama dengan sang suami, Bart Freundlich, yang menjadi sutradaranya.

After the Weddingmerupakan remakefilm berbahasa Denmark yang diangkat sutradara Bird Box, Susanne Bier. Film ini menjadi kolaborasi keempat antara Julianne dan suaminya. Dalam film tersebut, sang aktris juga memulai debutnya sebagai produser.

“Pada awal karier sebagai aktor muda, Anda tidak peduli apa yang Anda lakukan karena Anda hanya ingin memiliki pekerjaan. Anda mengambil kesempatan apa pun yang datang. Anda terus mengambil langkah demi langkah untuk menumbuhkan karier.

Saya selalu merasa bertanggung jawab untuk menemukan peran besar, mencari peran, dan menemukan sutradara yang ingin saya ajak bekerja sama. Saat ini untuk pertama kalinya, saya mulai mengembangkan materi untuk diri sendiri,” ungkap Julianne, dikutip The News.

Film After the Wedding ditayangkan perdana dalam Sundance Film Festival pada Januari lalu dan ikut membuka Festival Film Internasional Karlovy Vary ke-54 pada akhir Juni lalu. Saat itu Julianne juga menerima penghargaan Crystal Globe untuk Outstanding Artistic Contribution to World Cinema.

Saat berbicara dalam sebuah konferensi pers, aktris yang akan berusia 59 tahun pada 3 Desember mendatang ini memuji kekuatan film yang mengangkat empati serta peringatan terhadap bahaya sejarah yang berulang. Dia lebih jauh merefleksikan kemampuan film dalam menjembatani jarak fisik dan perbedaan politik.

Pada kesempatan itu, Julianne berbicara penuh semangat tentang peringatan 30 tahun Revolusi Velvet di Cekoslowakia yang mengakhiri pemerintahan komunis. Apa yang dikatakan Julianne itu berkaitan erat dengan masa kecilnya.

Dikutip Variety, Julianne ingat masa kecilnya sebagian kecil dihabiskan di Frankfurt, Jerman, ketika sang ayah, Peter Moore Smith, yang seorang tentara Amerika Serikat ditugaskan di sana. Ini menjadi pengalaman luar biasa bagi Julianne untuk memahami kehidupan di bawah rezim komunisme selama periode Perang Dingin.

“Ketika Tembok Berlin runtuh pada 1989, itu merupakan masalah besar untuk keluarga saya,” ujarnya. Julianne dan keluarga harus kembali ke Berlin pada awal 1990-an dan benar-benar terkejut melihat apa yang terjadi di sana sejak saat itu, yakni pertumbuhan dan kebebasan serta modernitas yang tiba-tiba melesat.

Menurutnya, sangat penting untuk terus mengingat sejarah sehingga orangorang mengerti dan tidak lupa bagaimana rasanya hidup dalam rezim seperti itu. “Ketika Anda terbentur jarak fisik dan tidak paham kondisi yang sebenarnya, sangat sulit untuk memiliki empati, kecuali Anda melihat dan mengetahuinya.

Salah satu cara untuk mempelajari hal itu adalah melalui film,” tuturnya. Dalam setiap perannya, Julianne terlihat tampil sangat alami dan tanpa beban. Apa rahasianya? Dikutip dari The National Scotland, Julianne mengatakan, sebagai seorang aktor atau aktris, yang dimilikinya hanyalah diri sendiri.

Hal ini bisa terlihat melalui film terbarunya yang lain, Gloria Bell. Di situ dia berperan sebagai wanita berumur 50-an yang harus bercerai dan menghabiskan hari-harinya dengan menari sekaligus menggoda pengunjung di sebuah klub malam.

Film ini menjadi karya yang sempurna untuk orang-orang berbakat seperti Julianne. Dia mengaku sangat gembira saat membaca naskah film tersebut untuk pertama kali. Kisah ini disebut-sebut bisa menjadi salah satu upaya pemberdayaan bagi perempuan.

Film Gloria Belldirilis pada September tahun lalu di Toronto International Film Festival, kemudian di Amerika Serikat pada Maret 2019. Dikutip Indie Wire, Julianne kembali dikabarkan bakal membintangi film arahan Joe Wright, The Woman in the Window, yang direncanakan rilis pada 4 Oktober mendatang di Kanada.

Saat ini Julianne juga sedang syuting film The Glorias: A Life on the Roadyang disutradarai Julie Taymor. Di situ Julianne berperan sebagai Gloria Steinem. Kisah film ini terinspirasi dari buku autobiografi seorang pahlawan wanita yang berjudul My Life on the Road.

Selain itu, Julianne akan kembali ke layar kaca dengan membintangi serial drama Lisey’s Storyyang direncanakan tayang pada saluran streamingApple TV+. Setelah jarang tampil di televisi, ini akan menjadi peran utama pertama sang aktris dalam sebuah serial.

Serial drama tersebut didasarkan atas novel yang ditulis Stephen King pada 2006. Menurut rencana, King akan menulis skrip seri tersebut sepanjang delapan episode. Dikutip dari The Hollywood Reporter, Julianne mendapatkan peran utama dalam film bergenre thrillertersebut.

Menurut Julianne, dia secara pribadi mengikuti perjalanan hidup Lisey selama dua tahun setelah kematian suaminya. Serial ini mengeksplorasi serangkaian peristiwa yang menyebabkan Lisey harus menghadapi kenyataan yang “luar biasa” tentang mendiang suaminya.

“Saya belum membaca buku aslinya. Tetapi, sinopsis yang tulis di situs Amazon membuat buku tersebut terkesan sangat pribadi. King pernah menulis, ini adalah sebuah kisah tentang penciptaan dan pengorbanan yang diperlukan untuk menghasilkan karya yang mengesankan,” kata Julianne.

Serius Berakting
Keseriusan Julianne dalam dunia akting tidak hanya terlihat saat ini, tetapi sudah sejak dia muda. Dikutip Ace Showbiz, bersama ibu, ayah, dan dua saudaranya, Julianne pernah menjalani kehidupan nomaden untuk waktu yang cukup lama lantaran pekerjaan sang ayah adalah hakim di Korps Hakim Jenderal Advokat Angkatan Darat Amerika Serikat.

Julianne harus berkeliling ke berbagai pangkalan militer yang terletak di New Jersey, Texas, Alaska, Panama, sampai akhirnya mendarat di Jerman. Dari sinilah Julianne mulai tertarik pada dunia akting dan mendapat dukungan guru bahasa Inggrisnya di Frankfurt American High School.

Setelah lulus SMA pada 1979, wanita berambut merah ini memutuskan untuk menjadi aktris.Kedua orang tuanya sempat keberatan karena mereka ingin pekerjaan yang lebih aman dan stabil untuk sang putri. Namun, ayah dan ibu Julianne akhirnya menyerah ketika dia menegaskan baru mau lanjut kuliah kalau boleh memilih jurusan di salah satu cabang seni pertunjukan.

Singkat cerita, Julianne berhasil memperoleh gelar Sarjana Seni Rupa dalam Drama dari School of the Performing Arts di Boston University pada 1983. Sejak lulus itulah, Julianne semakin yakin untuk memulai karier aktingnya di kota nan glamor, New York.

Julianne membuat debutnya di layar kaca pada 1984 melalui peran singkat dalam serial The Edge of Night. Namanya mulai diakui dan dikenal secara luas ketika memenangi penghargaan Outstanding Ingenue untuk kategori Drama Seriesdalam Emmy Awards 1988 untuk peran gandanya di serial lawas CBS, As the World Turns.

Selama tiga tahun, Julianne terusmenerus muncul di layar televisi, tepatnya hingga 1988. Selama periode tersebut, sang aktris sempat tampil dalam serial drama seperti I’ll Take Manhattandan Money, Power, Murdersebelum akhirnya berkelana ke jalur film layar lebar pada awal 1990-an.

Kiprahnya dimulai lewat peran kecil dalam film Tales from the Darkside: The Movie(1990). Lalu, menyusul beberapa film lain seperti The Hand That Rocks the Cradle (1992), The Fugitive(1993), dan Nine Months(1995). Julianne juga ikut bermain teater untuk judul seperti Uncle Vanya, Ice Cream with Hot Fudge, dan The Father.

Pada 1997, Julianne berkesempatan bermain dalam film karya Steven Spielberg yang menjadi box office, The Lost World: Jurassic Park, kemudian semakin melesat saat bermain dalam Boogie Nights(1997).

Dia pun sempat memperoleh tiga nominasi penghargaan bergengsi dari Academy Awards, Golden Globe Awards, dan Screen Actor Guilds Awards pada tahun yang sama. Tidak berhenti di sana, pada 1999, Julianne bermain kembali dalam The End of the Affair(1999), lalu meraih dua nominasi pada ajang Screen Actor Guild Awards untuk perannya dalam Magnolia(1999).

Selama periode awal 2000-an, kehadiran Julianne kerap dipuji kritikus film. Beberapa perannya berhasil mendulang berbagai nominasi penghargaan. Yang paling menonjol di antaranya film Far from Heavendan The Hoursyang sukses mencetak nominasi dalam kategori Leading and Supporting Roledi ajang Academy Awards dan Screen Actor Guild Awards pada 2003.

Setelah itu, Julianne selalu memilih film berkualitas seperti A Single Man, The Kids are Alright, The Hunger Games, dan Crazy, Stupid, Love. Dia juga berhasil memenangi Oscar untuk berbagai perannya, antara lain sebagai penderita alzheimer dalam film Still Alice. (Susi Susanti)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6769 seconds (0.1#10.140)