Review Film Gundala

Kamis, 29 Agustus 2019 - 06:30 WIB
Review Film Gundala
Review Film Gundala
A A A
Sebuah demonstrasi di pabrik berakhir ricuh. Sancaka kecil (Muzakki Ramdhan) harus melihat ayahnya bersimbah darah dan meregang nyawa di hadapannya. Di saat itulah, petir menyambar dan dia pun pingsan. Setahun berlalu, Sancaka harus menghadapi kenyataan lain, ibunya pergi dan tak kunjung kembali. Lelah menanti kepulangan sang bunda, Sancaka pergi dari rumah.

Sancaka pun harus menghadapi kerasnya hidup di kota. Dia menjadi pengamen dan anak jalanan. Hidup pun tidak terlalu bersahabat dengannya. Dia menjadi korban kekerasan dan menjadi korban perundungan sampai dia bertemu Awang. Anak jalanan itu mengajari Sancaka untuk bertahan hidup di kota sebelum pergi meninggalkan kota.

Sancaka pun tumbuh dewasa. Sancaka dewasa (Abimana Aryasatya) ini bekerja sebagai seorang petugas penjaga keamanan di tempat percetakan koran. Dia bertugas bersama Pak Agung (Pritt Timothy) di tempat itu. Sementara, di rumah susun tempatnya tinggal, ada seorang wanita, Wulan (Tara Basro) yang tinggal bersama Tedy, adiknya. Setiap hari, Wulan selalu didatangi preman. Awalnya, Sancaka tak peduli, tapi sebuah peristiwa membuatnya tidak bisa tinggal diam. Dia menghajar para preman tersebut.

Preman-preman itu bekerja di bawah perintah Pengkor (Bront Palarae), seorang mafia yang mampu mengendalikan para anggota dewan legislatif. Dia punya hubungan dekat dengan Ganda Hamdan (Aqi Singgih), seorang anggota dewan yang jahat. Kedua orang ini terkait sosok misterius bernama Ghani Zulham (Ario Bayu).

Beberapa anggota dewan, termasuk Ridwan Bahri (Lukman Sardi), tidak menyukai gerak gerik Pengkor ini. Namun, mereka belum tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap Pengkor sampai Ridwan melihat Sancaka beraksi. Dia pun tahu harus mencari Sancaka untuk menghadapi Pengkor.

Gundala merupakan usaha kedua untuk menghidupkan tokoh komik ciptaan Hasmi itu ke layar lebar. Usaha pertama dilakukan pada 1981. Kali ini, Gundala kembali tampil di layar lebar lewat tangan Joko Anwar. Ada sejumlah perubahan yang dilakukan di film ini untuk menyesuaikan zaman. Apa perbedaannya? Ketimbang saya spoiler, tonton saja sendiri. Namun, ada sejumlah elemen yang dipertahankan di sini, dan elemen ini sangat bercita rasa lokal, yaitu mitos dan klenik. Sementara, juga menyajikan aksi silat yang memang tidak ada duanya.

Bagi Anda penyuka film superhero dari buku komik, Gundala akan memberikan pengalaman baru bagi Anda. Jangan bayangkan Anda akan menonton aksi superhero ala Marvel Cinematic Universe (MCU) atau pun DC Extended Universe (DCEU)! Jauhkan dulu pikiran Anda dari dua jagat sinema kondang itu sebelum menonton film ini. Gundala memberikan nuansa yang sedikit berbeda dari apa yang pernah Anda tonton di dua jagat sinema tersebut meski pemerannya sama-sama mengenakan kostum. Kalau pun ada persamaan, ya, film genre ini biasanya memang punya sejumlah persamaan, meskipun itu sangat terbatas.

Aksi-aksi menawan menjadi salah satu titik penting di film ini. Anda tak perlu membayangkan perkelahian dengan menggunakan alat canggih atau pun senjata mutakhir. Di Gundala, semua pertarungan dilakukan dengan saling berhadapan, baku hantam tangan kosong atau pun dengan tongkat atau pedang. Semua perkelahian dilakukan secara mendekat dengan koreografi ala pencak silat yang diramu Cecep Arif Rahman. Ini yang menjadikan Gundala asyik ditonton.

Namun, alur cerita film ini terasa berat dan banyak cabangnya. Sepanjang 123 menit, film ini terasa sibuk dengan membangun fondasi cerita untuk banyak karakter yang ingin mereka perkenalkan meski hanya secuplik. Mungkin karena kesibukan inilah akhirnya banyak plot hole yang tercipta di sini. Namun, tetap sebagai sebuah tontonan, film ini lumayan menghibur. Joko Anwar tidak lupa memasukkan sisi-sisi humor yang bisa membuat penontonnya tertawa. Ada sejumlah adegan di film ini yang terasa konyol, tapi ya, tampak mengalir begitu saja.

Aksi Abimana sebagai Sancaka cukup bisa mendapatkan apresiasi. Kerja kerasnya memang membuahkan sosok Sancaka yang memang dibuat sebagai orang yang masih mencari sesuatu dalam hidupnya. Dengan berbagai tragedi yang menimpanya, di film ini, Abimana berhasil membawa Sancaka melalui babak transformasi dalam hidupnya. Sebelum memerankan Sancaka di layar lebar, Abimana harus melewati jalan panjang untuk berlatih ilmu bela diri yang tentu saja tidak ringan. Hampir di sepanjang film ini, Abimana harus berkelahi. Selain itu, dia pun mampu menerjemahkan Sancaka menjadi tokoh yang manusiawi. Dia punya pergolakan batin yang kuat dan mampu mengatasinya.

Gundala adalah sebuah permulaan yang sibuk membangun fondasi tidak hanya untuk Sancaka, tapi juga tokoh lain. Namun, adegan laganya mengasyikkan. Yup, film ini memang punya flaws, tapi cukup memberikan hiburan bagi siapa pun yang menontonnya. Satu tips, tontonlah film ini di studio bioskop yang menyediakan teknologi Dolby Atmos. Suaranya akan lebih mantap saat menonton Gundala di studio ini karena efek bakbikbuk dari perkelahian para pemainnya akan lebih terasa menggelegar.

Gundala adalah pembuka Jagat Sinema Bumilangit (BCU). Jagat sinema ini akan berisi para superhero Indonesia yang kemampuannya pun tak kalah dari para superhero buatan luar negeri. Sebagai pembuka, Gundala sudah meninggalkan banyak Easter eggs atau petunjuk untuk masa depan BCU. Setelah nonton film ini, rasa penasaran itu akan meningkat. Ada rasa ingin nonton film usai Gundala ini. Apalagi, ada post credit scene yang tidak bisa dilewatkan di film ini.

Gundala sudah bisa Anda saksikan di bioskop kesayangan Anda. Selamat menyaksikan!

(alv)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6822 seconds (0.1#10.140)