Pembukaan Ubud Writers & Readers Festival 2019
A
A
A
UBUD - Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) yang ke-16 dimulai pada Rabu (23/10/2019). Sebagai satu dari lima festival sastra terbaik dunia untuk tahun 2019 versi The Telegraph UK, Festival tahun ini menghadirkan lebih dari 180 pembicara yang datang dari 30 negara. Mereka akan bergiliran tampil dalam 70 sesi diskusi menarik yang dingkat dan dikembangkan dari tema tahun ini, Karma.
Dimulai hari Rabu (23/10/19) sore, UWRF menggelar Press Call di Indus Restaurant @ Taman Baca, Ubud, bersama pembicara-pembicara utama seperti peneliti senior Human Rights Watch Andreas Harsono, penulis buku sekaligus jurnalis BBC Indonesia Famega Syavira Putri, dan penulis Zimbabwe-Amerika Serikat peraih berbagai penghargaan Novuyo Rosa Tshuma. Dalam Press Call hadir pula pendiri dan Direktur UWRF Janet DeNeefe dan Ketua Yayasan Mudra Swari Saraswati Ketut Suardana.
Pengertian Karma secara singkat dan alasan di balik pemilihan tema tahun ini dijabarkan oleh Ketut Suardana, sementara Janet DeNeefe berbagi mengenai aspek yang menjadikan UWRF semakin dikenal secara internasional. Beliau pun menambahkan beberapa saran bagi mereka yang ingin mulai menciptakan festival sastra di daerahnya masing-masing. “Saat akan memulai, Anda harus tahu kalau nantinya Anda akan bekerja keras untuk Festival,” ujarnya.
Sementara itu, Andreas Harsono memaparkan mengenai harapannya akan pelaporan yang jujur dan jurnalisme yang tidak memihak dalam industri media dengan banyaknya berita palsu yang ada. “Saya rasa, selama para jurnalis, terutama mereka yang masih muda, masih mau melakukan riset, pasti ada harapan,” tuturnya.
Famega Syavira Putri, yang telah menuliskan perjalanan daratnya dari Indonesia ke Afrika seorang diri juga berbagi momen berharga selama melakukan perjalanan. Sementara Novuyo Rosa Tshuma menjabarkan bahwa sejarah pun dapat dituturkan dalam kisah fiksi yang indah.
Pada malam harinya, UWRF resmi dibuka pada acara Gala Opening yang berlokasi di Puri Ubud. Malam Gala Opening dibuka oleh tari penyambutan dari Sekhaa Tabuh dan dilanjutkan dengan sambutan dari berbagai pihak termasuk Penglingsir Puri Ubud Tjokorda Gde Putra Sukawati dan Pendiri & Direktur UWRF Janet DeNeefe.
“Banyak orang yang berkata bahwa kita perlu sebuah komunitas untuk menciptakan sesuatu. Seperti yang Anda lihat, itulah yang telah menciptakan Ubud Writers & Readers Festival dan kami merasa sangat berterima kasih karena komunitas di sini telah medukung kami. Saya harap Anda dapat menikmati empat hari ke depan dan benar-benar merasakan apa yang ditawarkan oleh Ubud,” ujar Janet DeNeefe dalam sambutannya.
Selanjutnya, sambutan dilanjutkan oleh Tenaga Ahli Menteri Pariwisata Bidang Management Calender of Events Kementerian Pariwisata Republik Indonesia Esthy Reko Astuty dan Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Ardana Sukawati.
Pada Gala Opening ini, UWRF juga kembali memberikan penghargaan sepanjang masa atau Lifetime Achievement Award kepada sosok sastra terpilih. Penghargaan ini pernah diberikan oleh UWRF kepada Sapardi Djoko Damono pada tahun 2018 dan Almarhumah NH. Dini pada tahun 2017.
Tahun ini, penerima Lifetime Achievement Award UWRF adalah Made Taro, seorang pedongeng legendaris asal Bali yang telah berjasa dalam melestarikan cerita rakyat dan dongeng lisan khususnya di Bali.
Lahir pada tahun 1939 di Sengkidu, Bali Timur, Made Taro awalnya mempelajari arsitektur, tetapi menemukan panggilannya untuk menulis puisi dan dongeng anak-anak. Ia telah menulis berbagai buku mengenai dongeng tradisional, begitu pula lagu dan permainan yang terinspirasi dari kisah dongeng. Beberapa judul buku yang ia tulis antara lain Dari Goak Maling Taruh Sampai Goak Maling Pitik, Dari Ngejuk Capung Sampai Ngejuk Lindung, Mengapa Manusia Tidak Melihat Dewa?,dan Mendongeng Lima Menit. Made Taro juga telah kerap menerimapenghargaan untuk karyanya dalam pelestarian dan usahanya mempopulerkan kembali dongeng-dongeng tradisional.
“Menerima penghargaan ini, saya terkejut sekaligus gembira. Namun, dalam hati saya juga bertanya-tanya apa sebabnya saya diberi penghargaan. Memang sudah 46 tahun saya berkarya, tapi mungkin sampai sekarang masih banyak kalangan masyarakat yang menganggap remeh, ujar Made Taro.
“Apa yang saya kerjakan sejak tahun 1973 ini sudah saya terbitkan dalam bentuk buku. Jika dijumlah, mungkin ada lebih dari 40 buku. Dua dari buku-buku tersebut mendapat perhatian dari luar negeri, diterbitkan di Amerika Serikat dan Thailand. Tahun ini, karya saya mendapat perhatian dari UWRF. Saya tambah semangat.Semoga dengan adanya penghargaan ini, saya menjadi lebih bersemangat berkarya. Jadi, UWRF membuat saya semangat sehingga saya lupa saya sudah tua,” tutup Made Taro yang disambut oleh tepuk tangan meriah dari para hadirin GalaOpening.
Secara khusus, UWRF akan menghadirkan panel diskusi mendalam bersama Made Taro dalam sesi A Lifetime of Storytellingpada Minggu (27/10/2019) pukul 15.45-17.00 WITA di Indus Restaurant. Di tengah gempuran gadget dan permainan digital yang sangat membuat ketagihan, Made Taro melakukan perjalanan ke seluruh Bali dan sekitarnya, mengajar anak-anak tentang keajaiban permainan, lagu, dan cerita rakyat nasional. Dalam panel tersebut, Made Taro akan mengisahkan hampir empat dekade perjalanannya dalam merayakan cerita rakyat dan dongeng lisan.
Setelah Made Taro menerima penghargaan, acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh Cynthia Dewi Oka dan ditutup dengan pementasan tari Japatuwan yang dibawakan oleh kelompok tari Bumi Bajra dengan koreografer Dayu Ani. Main Program UWRF dihadirkan pada hari beikutnya, Kamis (24/10/2019) setelah Festival Welcome di NEKA Museum dari Janet DeNeefe, Guy Gunaratne, dan Nirwan Dewanto.
Main Program UWRF akan hadir mulai 24-27 Oktober di tiga venue utama, yaitu Festival Hub @ Taman Baca, Indus Restaurant, dan NEKA Museum. Berbagai panel diskusi menarik dengan berbagai topik dapat dinikmati pengunjung Festival, misalnya sesi Rise of the Tiger, Imagining the Past, Precious Peatlands, dan masih banyak lagi.
Selain itu akan ada pula 100 lebih program lainnya seperti Special Events, lokakarya, lokakarya budaya, pemutaran film, pameran seni, peluncuran buku, pertunjukan musik, dan lainnya.
"Ketika kami merenungkan 16 tahun terakhir dan tentang bagaimana Festival telah berkembang menjadi salah satu acara sastra terbaik dunia, kami dapat menghargai maknanya sebagai wadah untuk pertukaran lintas budaya," ujarPendiri &Direktur UWRF Janet DeNeefe.
“Melalui tema Karma tahun ini, kami merayakan para penulis, seniman, dan pegiat dari seluruh Indonesia dan dunia yang sangat menyadari konsekuensi dari tindakan mereka, dan bagaimana konsekuensi tersebut akan berdampak pada masa depan kita bersama,” lanjutnya.
“Jika Anda menyukai kisah yang luar biasa, jika Anda terbuka untuk ide-ide inovatif, jika Anda ingin belajar lebih banyak tentangIndonesia dan sekitarnya, atau jika Anda percaya akan kekuatan kreativitas untuk menghasilkan perubahan yang nyata, maka datang dan nikmati keajaiban yang kini membuat UWRF lebih dikenal. Bagi banyak orang, UWRF telah mengubah hidup. Hal ini berlaku untuk saya, dan saya harap hal tersebut juga berlaku untuk Anda,” tutup DeNeefe.
Informasi lebih lanjut dapat diakses melalui website www.ubudwritersfestival.com
Dimulai hari Rabu (23/10/19) sore, UWRF menggelar Press Call di Indus Restaurant @ Taman Baca, Ubud, bersama pembicara-pembicara utama seperti peneliti senior Human Rights Watch Andreas Harsono, penulis buku sekaligus jurnalis BBC Indonesia Famega Syavira Putri, dan penulis Zimbabwe-Amerika Serikat peraih berbagai penghargaan Novuyo Rosa Tshuma. Dalam Press Call hadir pula pendiri dan Direktur UWRF Janet DeNeefe dan Ketua Yayasan Mudra Swari Saraswati Ketut Suardana.
Pengertian Karma secara singkat dan alasan di balik pemilihan tema tahun ini dijabarkan oleh Ketut Suardana, sementara Janet DeNeefe berbagi mengenai aspek yang menjadikan UWRF semakin dikenal secara internasional. Beliau pun menambahkan beberapa saran bagi mereka yang ingin mulai menciptakan festival sastra di daerahnya masing-masing. “Saat akan memulai, Anda harus tahu kalau nantinya Anda akan bekerja keras untuk Festival,” ujarnya.
Sementara itu, Andreas Harsono memaparkan mengenai harapannya akan pelaporan yang jujur dan jurnalisme yang tidak memihak dalam industri media dengan banyaknya berita palsu yang ada. “Saya rasa, selama para jurnalis, terutama mereka yang masih muda, masih mau melakukan riset, pasti ada harapan,” tuturnya.
Famega Syavira Putri, yang telah menuliskan perjalanan daratnya dari Indonesia ke Afrika seorang diri juga berbagi momen berharga selama melakukan perjalanan. Sementara Novuyo Rosa Tshuma menjabarkan bahwa sejarah pun dapat dituturkan dalam kisah fiksi yang indah.
Pada malam harinya, UWRF resmi dibuka pada acara Gala Opening yang berlokasi di Puri Ubud. Malam Gala Opening dibuka oleh tari penyambutan dari Sekhaa Tabuh dan dilanjutkan dengan sambutan dari berbagai pihak termasuk Penglingsir Puri Ubud Tjokorda Gde Putra Sukawati dan Pendiri & Direktur UWRF Janet DeNeefe.
“Banyak orang yang berkata bahwa kita perlu sebuah komunitas untuk menciptakan sesuatu. Seperti yang Anda lihat, itulah yang telah menciptakan Ubud Writers & Readers Festival dan kami merasa sangat berterima kasih karena komunitas di sini telah medukung kami. Saya harap Anda dapat menikmati empat hari ke depan dan benar-benar merasakan apa yang ditawarkan oleh Ubud,” ujar Janet DeNeefe dalam sambutannya.
Selanjutnya, sambutan dilanjutkan oleh Tenaga Ahli Menteri Pariwisata Bidang Management Calender of Events Kementerian Pariwisata Republik Indonesia Esthy Reko Astuty dan Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Ardana Sukawati.
Pada Gala Opening ini, UWRF juga kembali memberikan penghargaan sepanjang masa atau Lifetime Achievement Award kepada sosok sastra terpilih. Penghargaan ini pernah diberikan oleh UWRF kepada Sapardi Djoko Damono pada tahun 2018 dan Almarhumah NH. Dini pada tahun 2017.
Tahun ini, penerima Lifetime Achievement Award UWRF adalah Made Taro, seorang pedongeng legendaris asal Bali yang telah berjasa dalam melestarikan cerita rakyat dan dongeng lisan khususnya di Bali.
Lahir pada tahun 1939 di Sengkidu, Bali Timur, Made Taro awalnya mempelajari arsitektur, tetapi menemukan panggilannya untuk menulis puisi dan dongeng anak-anak. Ia telah menulis berbagai buku mengenai dongeng tradisional, begitu pula lagu dan permainan yang terinspirasi dari kisah dongeng. Beberapa judul buku yang ia tulis antara lain Dari Goak Maling Taruh Sampai Goak Maling Pitik, Dari Ngejuk Capung Sampai Ngejuk Lindung, Mengapa Manusia Tidak Melihat Dewa?,dan Mendongeng Lima Menit. Made Taro juga telah kerap menerimapenghargaan untuk karyanya dalam pelestarian dan usahanya mempopulerkan kembali dongeng-dongeng tradisional.
“Menerima penghargaan ini, saya terkejut sekaligus gembira. Namun, dalam hati saya juga bertanya-tanya apa sebabnya saya diberi penghargaan. Memang sudah 46 tahun saya berkarya, tapi mungkin sampai sekarang masih banyak kalangan masyarakat yang menganggap remeh, ujar Made Taro.
“Apa yang saya kerjakan sejak tahun 1973 ini sudah saya terbitkan dalam bentuk buku. Jika dijumlah, mungkin ada lebih dari 40 buku. Dua dari buku-buku tersebut mendapat perhatian dari luar negeri, diterbitkan di Amerika Serikat dan Thailand. Tahun ini, karya saya mendapat perhatian dari UWRF. Saya tambah semangat.Semoga dengan adanya penghargaan ini, saya menjadi lebih bersemangat berkarya. Jadi, UWRF membuat saya semangat sehingga saya lupa saya sudah tua,” tutup Made Taro yang disambut oleh tepuk tangan meriah dari para hadirin GalaOpening.
Secara khusus, UWRF akan menghadirkan panel diskusi mendalam bersama Made Taro dalam sesi A Lifetime of Storytellingpada Minggu (27/10/2019) pukul 15.45-17.00 WITA di Indus Restaurant. Di tengah gempuran gadget dan permainan digital yang sangat membuat ketagihan, Made Taro melakukan perjalanan ke seluruh Bali dan sekitarnya, mengajar anak-anak tentang keajaiban permainan, lagu, dan cerita rakyat nasional. Dalam panel tersebut, Made Taro akan mengisahkan hampir empat dekade perjalanannya dalam merayakan cerita rakyat dan dongeng lisan.
Setelah Made Taro menerima penghargaan, acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh Cynthia Dewi Oka dan ditutup dengan pementasan tari Japatuwan yang dibawakan oleh kelompok tari Bumi Bajra dengan koreografer Dayu Ani. Main Program UWRF dihadirkan pada hari beikutnya, Kamis (24/10/2019) setelah Festival Welcome di NEKA Museum dari Janet DeNeefe, Guy Gunaratne, dan Nirwan Dewanto.
Main Program UWRF akan hadir mulai 24-27 Oktober di tiga venue utama, yaitu Festival Hub @ Taman Baca, Indus Restaurant, dan NEKA Museum. Berbagai panel diskusi menarik dengan berbagai topik dapat dinikmati pengunjung Festival, misalnya sesi Rise of the Tiger, Imagining the Past, Precious Peatlands, dan masih banyak lagi.
Selain itu akan ada pula 100 lebih program lainnya seperti Special Events, lokakarya, lokakarya budaya, pemutaran film, pameran seni, peluncuran buku, pertunjukan musik, dan lainnya.
"Ketika kami merenungkan 16 tahun terakhir dan tentang bagaimana Festival telah berkembang menjadi salah satu acara sastra terbaik dunia, kami dapat menghargai maknanya sebagai wadah untuk pertukaran lintas budaya," ujarPendiri &Direktur UWRF Janet DeNeefe.
“Melalui tema Karma tahun ini, kami merayakan para penulis, seniman, dan pegiat dari seluruh Indonesia dan dunia yang sangat menyadari konsekuensi dari tindakan mereka, dan bagaimana konsekuensi tersebut akan berdampak pada masa depan kita bersama,” lanjutnya.
“Jika Anda menyukai kisah yang luar biasa, jika Anda terbuka untuk ide-ide inovatif, jika Anda ingin belajar lebih banyak tentangIndonesia dan sekitarnya, atau jika Anda percaya akan kekuatan kreativitas untuk menghasilkan perubahan yang nyata, maka datang dan nikmati keajaiban yang kini membuat UWRF lebih dikenal. Bagi banyak orang, UWRF telah mengubah hidup. Hal ini berlaku untuk saya, dan saya harap hal tersebut juga berlaku untuk Anda,” tutup DeNeefe.
Informasi lebih lanjut dapat diakses melalui website www.ubudwritersfestival.com
(akn)