Konferensi Musik Indonesia Kembali Digelar Tahun Ini
A
A
A
JAKARTA - Konferensi Musik Indonesia akan kembali digelar. Setelah sukses dilaksanakan untuk kali pertama di Ambon tahun lalu, kali ini konferensi tersebut akan diselenggarakan di Gedung Budaya Sabilulungan, Kabupaten Bandung pada 23 November 2019.
Fokus konferensi untuk kali adalah tata kelola industri musik yang lebih adil dan berkelanjutan. "Musik berjasa besar karena menemani kita dalam beragam momen. Sayangnya, belum semua pegiat musik di negeri ini mendapatkan perlakuan adil dan bisa berkarya secara berkelanjutan," papar penggagas Kami Musik Indonesia (KAMI), Glenn Fredly dalam jumpa pers di M Bloc Space, Jakarta, Selasa (19/11).
Pada konferensi pertama tahun lalu yang mempertemukan perwakilan aktor penting industri musik, telah diidentifikasi sejumlah tantangan dalam industri tersebut, seperti lemahnya mekanisme pengumpulan royalti karena belum ada basis data andal untuk mengklaim hak musisi.
Kemudian, ditemukan juga kontrak kerja antara para pegiat musik –label, musisi, manajemen musisi, dan music publishing– belum didasari relasi kuasa berimbang, sehingga rentan merugikan pihak yang ada di posisi lemah. Masih ada pula diskriminasi gender dalam penentuan honor musisi dan pemilihan musisi, serta kekerasan dan pelecehan seksual di ruang-ruang bermusik.
"Industri musik di Indonesia juga relatif masih Jakartasentris, terpusat di Jakarta. Musisi menganggap harus ke Jakarta untuk jadi sukses. Padahal banyak kota lain yang punya potensi besar, tapi ekosistem musik lokalnya belum memadai karena tidak ada label, promotor, distributor, dan aktor pendukung lainnya. Misalnya, Jogja punya ciri khas lirik yang kuat, dan Garut ada scene musik metal yang hidup," terang pendiri booking agency Amity Asia Agency sekaligus anggota Koalisi Seni, Nadia Yustina.
Dengan demikian, para pemangku kepentingan sektor musik perlu kembali bertemu, mengerahkan aset masing-masing, dan bekerjasama mengatasi sederet tantangan itu. Industri musik yang adil dan berkelanjutan akan memungkinkan pegiat musik menggali kreativitasnya dan menghasilkan karya-karya segar. Industri seperti itu juga memungkinkan musik mendukung sektor lain yang menjadi bagian dalam mata rantai ekosistem musik.
"Kami berharap rangkaian konferensi kali ini bisa menghasilkan momentum yang membuat industri musik semakin adil dan berkelanjutan. Sebagai bagian dari ekosistem musik, Dyandra juga ingin berperan dalam upaya bersama memperbaiki tata kelola industri ini," kata Project Manager KAMI Dyandra Promosindo, Judhi M. Basoeki.
Bakal terdapat tiga sesi diskusi dalam konferensi, yakni Pekerja Musik Berserikat, Panen Royalti dan Sosialisasi Undang-undang Ekonomi Kreatif, serta Membangun Kota Musik. Dalam ketiga sesi itu, para pegiat musik akan dipertemukan dengan pemerintah, pengusaha, dan penikmat musik.
Sementara itu, penampil pada festival musik datang dari beragam genre, yakni D’Cinnamons, JKS Project, Orkes Hamba Allah, Serdadu Bambu, Tuan Tiga Belas, Karinding Attack, dan Institut Musik Jalanan. Menariknya lagi, acara ini pun tidak memungut bayaran sama sekali, peserta hanya perlu mendaftar melalui loket.com/event/kami2019 sebelum 22 November 2019.
Fokus konferensi untuk kali adalah tata kelola industri musik yang lebih adil dan berkelanjutan. "Musik berjasa besar karena menemani kita dalam beragam momen. Sayangnya, belum semua pegiat musik di negeri ini mendapatkan perlakuan adil dan bisa berkarya secara berkelanjutan," papar penggagas Kami Musik Indonesia (KAMI), Glenn Fredly dalam jumpa pers di M Bloc Space, Jakarta, Selasa (19/11).
Pada konferensi pertama tahun lalu yang mempertemukan perwakilan aktor penting industri musik, telah diidentifikasi sejumlah tantangan dalam industri tersebut, seperti lemahnya mekanisme pengumpulan royalti karena belum ada basis data andal untuk mengklaim hak musisi.
Kemudian, ditemukan juga kontrak kerja antara para pegiat musik –label, musisi, manajemen musisi, dan music publishing– belum didasari relasi kuasa berimbang, sehingga rentan merugikan pihak yang ada di posisi lemah. Masih ada pula diskriminasi gender dalam penentuan honor musisi dan pemilihan musisi, serta kekerasan dan pelecehan seksual di ruang-ruang bermusik.
"Industri musik di Indonesia juga relatif masih Jakartasentris, terpusat di Jakarta. Musisi menganggap harus ke Jakarta untuk jadi sukses. Padahal banyak kota lain yang punya potensi besar, tapi ekosistem musik lokalnya belum memadai karena tidak ada label, promotor, distributor, dan aktor pendukung lainnya. Misalnya, Jogja punya ciri khas lirik yang kuat, dan Garut ada scene musik metal yang hidup," terang pendiri booking agency Amity Asia Agency sekaligus anggota Koalisi Seni, Nadia Yustina.
Dengan demikian, para pemangku kepentingan sektor musik perlu kembali bertemu, mengerahkan aset masing-masing, dan bekerjasama mengatasi sederet tantangan itu. Industri musik yang adil dan berkelanjutan akan memungkinkan pegiat musik menggali kreativitasnya dan menghasilkan karya-karya segar. Industri seperti itu juga memungkinkan musik mendukung sektor lain yang menjadi bagian dalam mata rantai ekosistem musik.
"Kami berharap rangkaian konferensi kali ini bisa menghasilkan momentum yang membuat industri musik semakin adil dan berkelanjutan. Sebagai bagian dari ekosistem musik, Dyandra juga ingin berperan dalam upaya bersama memperbaiki tata kelola industri ini," kata Project Manager KAMI Dyandra Promosindo, Judhi M. Basoeki.
Bakal terdapat tiga sesi diskusi dalam konferensi, yakni Pekerja Musik Berserikat, Panen Royalti dan Sosialisasi Undang-undang Ekonomi Kreatif, serta Membangun Kota Musik. Dalam ketiga sesi itu, para pegiat musik akan dipertemukan dengan pemerintah, pengusaha, dan penikmat musik.
Sementara itu, penampil pada festival musik datang dari beragam genre, yakni D’Cinnamons, JKS Project, Orkes Hamba Allah, Serdadu Bambu, Tuan Tiga Belas, Karinding Attack, dan Institut Musik Jalanan. Menariknya lagi, acara ini pun tidak memungut bayaran sama sekali, peserta hanya perlu mendaftar melalui loket.com/event/kami2019 sebelum 22 November 2019.
(nug)