Jelajah Rasa Kuliner Legendaris Bandung
A
A
A
BANDUNG - Sebagai salah satu surga kuliner, Bandung memiliki beragam sajian istimewa yang melegenda. Namun, apa jadinya jika kuliner legendaris itu disajikan dalam tampilan yang jauh di luar ekspektasi wujud aslinya? Chef Andrian Ishak punya jawabannya.
Sebut saja Lotek Kalipah Apo 42. Kuliner legendaris Bandung yang sudah dikenal sejak setengah abad silam itu disajikan sangat berbeda dengan wujud sesungguhnya. Sajian berupa sayur matang yang dicampur sambal kacang plus kerupuk itu justru disajikan dalam bentuk seperti donat. Meski wujudnya jauh dari ekspektasi lotek yang sesungguhnya, namun cita rasa aslinya ternyata tetap terjaga.
Itulah salah satu contoh "ulah" Chef Andrian. Dia berupaya menghadirkan sensasi dan pengalaman berbeda saat menikmati sebuah sajian lewat teknik molecular gastronomy. Lewat teknik yang dikuasainya itu, Chef Andrian sukses mewujudkan passion-nya sekaligus memberikan kejutan dan pengalaman yang berbeda.
Andrian yang sebenarnya tak ingin dicap sebagai chef itu mengaku, keberhasilan dirinya menjadi seorang chef molecular gastronomy berkat kegigihannya dalam mengeksplorasi diri hingga menemukan passion sejatinya, yakni mendorong batas inovasi kuliner dengan cara memadukan kesenian dan sains.
Selama 15 tahun, Andrian mendedikasikan hidupnya dalam ilmu kuliner molecular gastronomy. Meski waktu yang dijalaninya cukup panjang, namun tak pernah membuatnya lelah berkreasi menciptakan keajaiban dan pengalaman baru di dalam sebuah hidangan.
"Saya sebenarnya bukan seorang koki, melainkan seniman. Bermula menjadi seorang gitaris, mengembangkan kecintaan saya terhadap seni dan makanan yang mengantarkan saya mempelajari teknik molecular gastronomy. Perjalanan yang cukup panjang dan berlika-liku dalam menemukan apa yang menjadi passion saya, namun it’s worth it," ungkap Chef Andrian seusai Multisensory Dining bertema "Discover the Local Legends" di kawasan Gedung Tua, Jalan Braga, Kota Bandung, belum lama ini.
Diakui Chef Andrian, kuliner yang disajikannya merupakan hasil dekontruksi yang diilhami dari seluruh perjalanan passion yang ditempuhnya. Di balik tampilan penyajian yang menipu mata, Andrian menginginkan, para penikmat sajian kulinernya menjelajah rasa dari setiap bagian yang disantap.
"Sesuai temanya, ini kan hasil dari sebuah decontruction, and than re-think, kita cari, mau diapakan makanan ini. Lewat sajian malam ini, saya ingin setiap orang yang hadir juga terus mencari, menemukan, dan mengerti pentingnya sebuah passion," ujarnya.
Dalam Multisensory Dining itu, selain Lotek Kalipah Apo 42, Chef Andrian menyajikan 16 sajian kuliner legendaris Bandung lain seperti Batagor Kingsley, Mikocok Mang Dadeng, Surabi Enhaii, Bakmi Linggarjati, Sate Hadori, hingga Es Cendol Elizabeth yang semuanya disajikan benar-benar di luar ekspektasi wujud aslinya.
"Sebenarnya yang seru di Bandung itu my sentimentil reseach. Nggak susahlah mencari local legend karena Bandung merupakan tempat yang sangat istimewa di hati saya. Bukan hanya karena makanan-makanannya, tetapi juga saksi hidup saya dalam men-discover dan decide apa yang membuat hidup saya menjadi lebih terarah dan penuh semangat," tutur chef yang menyelesaikan pendidikannya di Institut Pariwisata Bandung itu.
Menurut Andrian, molecular gastronomy sebenarnya sudah hadir cukup lama di industri makanan Tanah Air. Selain itu, bahan-bahannya pun tak sulit diperoleh di supermarket. Meski begitu, diakuinya, teknik tersebut selama ini belum banyak dilirik restoran-restoran di Indonesia.
"Jadi, kalau kita ke supermarket, itu bahan-bahannya tersedia. Cuma memang tidak ada yang bereksperimen dengan bahan-bahan itu supaya bisa create makanan macam-macam kayak tadi. Jujur ya, di Bandung banyak tempat bagus, cuma menurut saya makanannya play safe saja. Konsepnya bagus, tapi kalau sudah buka menu mirip-mirip semua," bebernya.
Disinggung soal goals yang ingin dicapainya, Chef Andrian yang sudah membuat lebih dari 100 menu kuliner khas dengan teknik molecular grastonomy itu berharap, sajian kuliner yang diciptakannya tidak hanya diapresiasi sebagai kuliner belaka. Lebih dari itu, kuliner yang dibuatnya dapat diapresiasi juga dari sisi seni dan budaya.
"Indonesia tidak hanya kaya akan kuliner, tapi seni dan budaya juga. Itu yang harus bisa diangkat. Jadi, goal-nya itu, orang harus tahu local legend sebagai hal harus dihormati. Seperti Yoghurt Cisangkuy, itu sudah ada dari dulu, tapi it's gone. Jadi, kita ingin ngingetin lagi soal kuliner legendaris itu," jelas chef yang juga bermimpi menyajikan beragam kuliner khas daerah Nusantara lewat teknik molecular gastronomy.
Meski sajian kuliner molecular grastonomy masih cukup asing terdengar di telinga sebagian besar masyarakat serta pangsa pasarnya yang spesifik, namun Chef Andrian yang juga pemilik restoran molecular grastonomy Nimaaz Dining itu menilai, apresiasi masyarakat terhadap sajian molecular grastonomy selama ini cukup baik. "My restaurant itu mau jalan 9 tahun, so far is good karena kita nice market. Tapi ternyata, surprising-nya di Bandung juga ada. Padahal tadinya kita nggak tahu ada atau nggak," imbuhnya.
Dalam Multisensory Dining, Andrian dan tim sukses memukau puluhan peserta jamuan makan tersebut. Satu demi satu menu legendaris disajikan di hadapan para peserta sambil diiringi tata cahaya lampu dan musik serta paparan tentang kuliner yang disajikan. Di penghujung acara, Chef Andrian memberikan kejutan dengan menyajikan menu Es Duren Kantin Sakinah yang dipadukan Es Alpukat Linggarjati sebagai hidangan dessert. Perpaduan kedua sajian itu menghadirkan sensasi hujan sebenarnya. Apalagi, instrumen musik metal dan backsound gemuruh petir serta visual menampilkan suasana hujan deras.
Seketika, Chef Andrian maju ke tengah arena sambil memainkan gitar listrik dan langsung disambut riuh seluruh peserta yang telah mengenakan jas hujan berbahan plastik bening. Seluruh peserta tampak antusias dan puas menikmati seluruh sajian hingga riuh tepuk tangan pun memenuhi seisi ruangan.
Sebut saja Lotek Kalipah Apo 42. Kuliner legendaris Bandung yang sudah dikenal sejak setengah abad silam itu disajikan sangat berbeda dengan wujud sesungguhnya. Sajian berupa sayur matang yang dicampur sambal kacang plus kerupuk itu justru disajikan dalam bentuk seperti donat. Meski wujudnya jauh dari ekspektasi lotek yang sesungguhnya, namun cita rasa aslinya ternyata tetap terjaga.
Itulah salah satu contoh "ulah" Chef Andrian. Dia berupaya menghadirkan sensasi dan pengalaman berbeda saat menikmati sebuah sajian lewat teknik molecular gastronomy. Lewat teknik yang dikuasainya itu, Chef Andrian sukses mewujudkan passion-nya sekaligus memberikan kejutan dan pengalaman yang berbeda.
Andrian yang sebenarnya tak ingin dicap sebagai chef itu mengaku, keberhasilan dirinya menjadi seorang chef molecular gastronomy berkat kegigihannya dalam mengeksplorasi diri hingga menemukan passion sejatinya, yakni mendorong batas inovasi kuliner dengan cara memadukan kesenian dan sains.
Selama 15 tahun, Andrian mendedikasikan hidupnya dalam ilmu kuliner molecular gastronomy. Meski waktu yang dijalaninya cukup panjang, namun tak pernah membuatnya lelah berkreasi menciptakan keajaiban dan pengalaman baru di dalam sebuah hidangan.
"Saya sebenarnya bukan seorang koki, melainkan seniman. Bermula menjadi seorang gitaris, mengembangkan kecintaan saya terhadap seni dan makanan yang mengantarkan saya mempelajari teknik molecular gastronomy. Perjalanan yang cukup panjang dan berlika-liku dalam menemukan apa yang menjadi passion saya, namun it’s worth it," ungkap Chef Andrian seusai Multisensory Dining bertema "Discover the Local Legends" di kawasan Gedung Tua, Jalan Braga, Kota Bandung, belum lama ini.
Diakui Chef Andrian, kuliner yang disajikannya merupakan hasil dekontruksi yang diilhami dari seluruh perjalanan passion yang ditempuhnya. Di balik tampilan penyajian yang menipu mata, Andrian menginginkan, para penikmat sajian kulinernya menjelajah rasa dari setiap bagian yang disantap.
"Sesuai temanya, ini kan hasil dari sebuah decontruction, and than re-think, kita cari, mau diapakan makanan ini. Lewat sajian malam ini, saya ingin setiap orang yang hadir juga terus mencari, menemukan, dan mengerti pentingnya sebuah passion," ujarnya.
Dalam Multisensory Dining itu, selain Lotek Kalipah Apo 42, Chef Andrian menyajikan 16 sajian kuliner legendaris Bandung lain seperti Batagor Kingsley, Mikocok Mang Dadeng, Surabi Enhaii, Bakmi Linggarjati, Sate Hadori, hingga Es Cendol Elizabeth yang semuanya disajikan benar-benar di luar ekspektasi wujud aslinya.
"Sebenarnya yang seru di Bandung itu my sentimentil reseach. Nggak susahlah mencari local legend karena Bandung merupakan tempat yang sangat istimewa di hati saya. Bukan hanya karena makanan-makanannya, tetapi juga saksi hidup saya dalam men-discover dan decide apa yang membuat hidup saya menjadi lebih terarah dan penuh semangat," tutur chef yang menyelesaikan pendidikannya di Institut Pariwisata Bandung itu.
Menurut Andrian, molecular gastronomy sebenarnya sudah hadir cukup lama di industri makanan Tanah Air. Selain itu, bahan-bahannya pun tak sulit diperoleh di supermarket. Meski begitu, diakuinya, teknik tersebut selama ini belum banyak dilirik restoran-restoran di Indonesia.
"Jadi, kalau kita ke supermarket, itu bahan-bahannya tersedia. Cuma memang tidak ada yang bereksperimen dengan bahan-bahan itu supaya bisa create makanan macam-macam kayak tadi. Jujur ya, di Bandung banyak tempat bagus, cuma menurut saya makanannya play safe saja. Konsepnya bagus, tapi kalau sudah buka menu mirip-mirip semua," bebernya.
Disinggung soal goals yang ingin dicapainya, Chef Andrian yang sudah membuat lebih dari 100 menu kuliner khas dengan teknik molecular grastonomy itu berharap, sajian kuliner yang diciptakannya tidak hanya diapresiasi sebagai kuliner belaka. Lebih dari itu, kuliner yang dibuatnya dapat diapresiasi juga dari sisi seni dan budaya.
"Indonesia tidak hanya kaya akan kuliner, tapi seni dan budaya juga. Itu yang harus bisa diangkat. Jadi, goal-nya itu, orang harus tahu local legend sebagai hal harus dihormati. Seperti Yoghurt Cisangkuy, itu sudah ada dari dulu, tapi it's gone. Jadi, kita ingin ngingetin lagi soal kuliner legendaris itu," jelas chef yang juga bermimpi menyajikan beragam kuliner khas daerah Nusantara lewat teknik molecular gastronomy.
Meski sajian kuliner molecular grastonomy masih cukup asing terdengar di telinga sebagian besar masyarakat serta pangsa pasarnya yang spesifik, namun Chef Andrian yang juga pemilik restoran molecular grastonomy Nimaaz Dining itu menilai, apresiasi masyarakat terhadap sajian molecular grastonomy selama ini cukup baik. "My restaurant itu mau jalan 9 tahun, so far is good karena kita nice market. Tapi ternyata, surprising-nya di Bandung juga ada. Padahal tadinya kita nggak tahu ada atau nggak," imbuhnya.
Dalam Multisensory Dining, Andrian dan tim sukses memukau puluhan peserta jamuan makan tersebut. Satu demi satu menu legendaris disajikan di hadapan para peserta sambil diiringi tata cahaya lampu dan musik serta paparan tentang kuliner yang disajikan. Di penghujung acara, Chef Andrian memberikan kejutan dengan menyajikan menu Es Duren Kantin Sakinah yang dipadukan Es Alpukat Linggarjati sebagai hidangan dessert. Perpaduan kedua sajian itu menghadirkan sensasi hujan sebenarnya. Apalagi, instrumen musik metal dan backsound gemuruh petir serta visual menampilkan suasana hujan deras.
Seketika, Chef Andrian maju ke tengah arena sambil memainkan gitar listrik dan langsung disambut riuh seluruh peserta yang telah mengenakan jas hujan berbahan plastik bening. Seluruh peserta tampak antusias dan puas menikmati seluruh sajian hingga riuh tepuk tangan pun memenuhi seisi ruangan.
(tsa)