Kemenkes Diharapkan Segera Atasi Keterlambatan Vaksinasi HPV
A
A
A
JAKARTA - Ketua Satuan Tugas Imunisasi, Prof. Dr. Cissy B. Kartasasmita, Msc., PhD., Sp.A(K) menyayangkan terjadinya masalah ketersediaan vaksin, sehingga hal itu membuat sekitar 120.000 anak perempuan terancam tidak mendapat vaksinasi HPV lanjutan.
Secara tegas, Prof. Cissy mengatakan jika memang vaksinasi dianggap penting, seharusnya keterlambatan ini tidak terjadi. Menurutnya, karena proyek percontohan ini sudah masuk dalam agenda Kementerian Kesehatan seharusnya segala kendala untuk penyediaan vaksin bisa dipersiapkan jauh-jauh hari.
"Kita berharapnya keterlambatan ini jangan berlarut-larut. Kalau memang sudah masuk program Kementerian Kesehatan, seharusnya ada pergantian Menteri atau Dirjen, programnya tetap harus jalan sesuai rencana," ujarnya ketika dihubungi Jumat (20/12).
Proyek percontohan vakinasi HPV kali pertama dilakukan di Jakarta pada 2016. Dua tahun kemudian, pemerintah melanjutkannya menjadi program percontohan vaksinasi dengan menyasar para siswi kelas 5 SD dan sederajat di lima daerah, yakni Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan Manado. Seharusnya pada November lalu, vaksinasi HPV dosis kedua dilakukan. Ini sesuai dengan anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa vaksinasi HPV untuk anak perempuan berusia 9-13 tahun dilakukan sebanyak dua kali.
Penyebab keterlambatan pelaksanaan vaksinasi dosis kedua ini ditengarai karena adanya perubahan mekanisme pengadaan di internal Kementerian Kesehatan. Hal ini terungkap pada rapat kerja Kementerian Kesehatan dengan DPR RI beberapa waktu lalu. "Kelihatannya ada perubahan kebijakan. Kebijakan Menteri baru yang mempengaruhi pelaksanaan program, tidak hanya vaksin HPV tapi juga pengadaan obat yang kemudian tertunda," ucap drg. Putih Sari, Anggota Komisi IX dari Fraksi Gerindra ketika dihubungi secara terpisah.
Meski Komisi IX tidak memberi batas waktu agar pelaksanaannya bisa segera dilakukan, tapi Putih menegaskan, pihaknya terus mengawal proyek percontohan ini. "Kami sudah mengingatkan Kementerian agar segera terlaksana karena kasihan juga anak-anak kalau sampai terlambat nanti jadi tidak efektif dan mubazir, jatuhnya buang-buang anggaran," tuturnya.
Mengenai efektivitas kerja vaksin, Prof. Cissy menyebutkan, anjuran yang diberikan untuk penyuntikan dosis kedua adalah maksimal 15 bulan. Artinya masih ada rentang waktu yang bisa dikejar pemerintah untuk segera melaksanakan vaksinasi. Hanya saja sampai saat ini, menurutnya, belum ada penelitian yang menggambarkan bagaimana pembentukan antibodi jika vaksinasi lanjutan diberikan lebih dari batas anjuran yang diberikan. "Karena di negara-negara lain keterlambatan seperti ini tidak terjadi," sambungnya.
Vaksinasi HPV sendiri bertujuan memberikan antibodi untuk melawan serangan Human Papilloma Virus. Virus ini adalah virus umum yang ditemukan di mana-mana dengan lebih dari 130 tipe dengan keganasan yang berbeda. Adapun tipe HPV yang paling ganas dapat menyebabkan terjadinya kanker serviks. Data Globocan 2018 dan 2012 menunjukkan insiden kanker serviks di Indonesia yang terus meningkat. Saat ini Indonesia menjadi negara dengan insiden kanker serviks tertinggi di Asia, bahkan lebih dari 50 persen di antaranya meninggal dunia.
Virus HPV masuk ke dalam tubuh ketika ada celah luka pada lapisan epitel di serviks. Berdasarkan penelitian, proteksi maksimal bisa didapat melalui pencegahan primer berupa vaksinasi yang bisa mulai dilakukan pada anak berusia 9 tahun. Antibodi melawan virus HPV akan terbentuk lebih maksimal jika vaksinasi diberikan sejak dini.
Lebih lanjut, Prof. Cissy menggambarkan, secara teori kerja vaksin, suntikan pertama bekerja untuk menghasilkan sel memori dalam tubuh. Sel memori akan bereaksi ketika diberikan vaksinasi lanjutan sehingga ketika virusnya masuk, tubuh bisa langsung mengeluarkan antibodi untuk melawan.
Adapun vaksin HPV yang diberikan dalam program ini adalah yang dapat melindungi tubuh dari empat tipe HPV (tipe 6, 11, 16, dan 18). Vaksin ini telah mendapat sertifikat Halal dari Islamic Food and Nutrition Council of America (IFANCA) yang juga telah diakui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Berbagai studi menunjukkan vaksinasi HPV yang dilakukan secara nasional efektif menekan terjadinya kanker serviks. Seperti apa yang dilakukan di Amerika Serikat dan Australia misalnya. Kedua negara ini berhasil menurunkan insiden kanker serviks secara signifikan sampai 75 persen setelah menjalankan program vaksinasi HPV secara nasional sejak 10 tahun belakangan.
Secara tegas, Prof. Cissy mengatakan jika memang vaksinasi dianggap penting, seharusnya keterlambatan ini tidak terjadi. Menurutnya, karena proyek percontohan ini sudah masuk dalam agenda Kementerian Kesehatan seharusnya segala kendala untuk penyediaan vaksin bisa dipersiapkan jauh-jauh hari.
"Kita berharapnya keterlambatan ini jangan berlarut-larut. Kalau memang sudah masuk program Kementerian Kesehatan, seharusnya ada pergantian Menteri atau Dirjen, programnya tetap harus jalan sesuai rencana," ujarnya ketika dihubungi Jumat (20/12).
Proyek percontohan vakinasi HPV kali pertama dilakukan di Jakarta pada 2016. Dua tahun kemudian, pemerintah melanjutkannya menjadi program percontohan vaksinasi dengan menyasar para siswi kelas 5 SD dan sederajat di lima daerah, yakni Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan Manado. Seharusnya pada November lalu, vaksinasi HPV dosis kedua dilakukan. Ini sesuai dengan anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa vaksinasi HPV untuk anak perempuan berusia 9-13 tahun dilakukan sebanyak dua kali.
Penyebab keterlambatan pelaksanaan vaksinasi dosis kedua ini ditengarai karena adanya perubahan mekanisme pengadaan di internal Kementerian Kesehatan. Hal ini terungkap pada rapat kerja Kementerian Kesehatan dengan DPR RI beberapa waktu lalu. "Kelihatannya ada perubahan kebijakan. Kebijakan Menteri baru yang mempengaruhi pelaksanaan program, tidak hanya vaksin HPV tapi juga pengadaan obat yang kemudian tertunda," ucap drg. Putih Sari, Anggota Komisi IX dari Fraksi Gerindra ketika dihubungi secara terpisah.
Meski Komisi IX tidak memberi batas waktu agar pelaksanaannya bisa segera dilakukan, tapi Putih menegaskan, pihaknya terus mengawal proyek percontohan ini. "Kami sudah mengingatkan Kementerian agar segera terlaksana karena kasihan juga anak-anak kalau sampai terlambat nanti jadi tidak efektif dan mubazir, jatuhnya buang-buang anggaran," tuturnya.
Mengenai efektivitas kerja vaksin, Prof. Cissy menyebutkan, anjuran yang diberikan untuk penyuntikan dosis kedua adalah maksimal 15 bulan. Artinya masih ada rentang waktu yang bisa dikejar pemerintah untuk segera melaksanakan vaksinasi. Hanya saja sampai saat ini, menurutnya, belum ada penelitian yang menggambarkan bagaimana pembentukan antibodi jika vaksinasi lanjutan diberikan lebih dari batas anjuran yang diberikan. "Karena di negara-negara lain keterlambatan seperti ini tidak terjadi," sambungnya.
Vaksinasi HPV sendiri bertujuan memberikan antibodi untuk melawan serangan Human Papilloma Virus. Virus ini adalah virus umum yang ditemukan di mana-mana dengan lebih dari 130 tipe dengan keganasan yang berbeda. Adapun tipe HPV yang paling ganas dapat menyebabkan terjadinya kanker serviks. Data Globocan 2018 dan 2012 menunjukkan insiden kanker serviks di Indonesia yang terus meningkat. Saat ini Indonesia menjadi negara dengan insiden kanker serviks tertinggi di Asia, bahkan lebih dari 50 persen di antaranya meninggal dunia.
Virus HPV masuk ke dalam tubuh ketika ada celah luka pada lapisan epitel di serviks. Berdasarkan penelitian, proteksi maksimal bisa didapat melalui pencegahan primer berupa vaksinasi yang bisa mulai dilakukan pada anak berusia 9 tahun. Antibodi melawan virus HPV akan terbentuk lebih maksimal jika vaksinasi diberikan sejak dini.
Lebih lanjut, Prof. Cissy menggambarkan, secara teori kerja vaksin, suntikan pertama bekerja untuk menghasilkan sel memori dalam tubuh. Sel memori akan bereaksi ketika diberikan vaksinasi lanjutan sehingga ketika virusnya masuk, tubuh bisa langsung mengeluarkan antibodi untuk melawan.
Adapun vaksin HPV yang diberikan dalam program ini adalah yang dapat melindungi tubuh dari empat tipe HPV (tipe 6, 11, 16, dan 18). Vaksin ini telah mendapat sertifikat Halal dari Islamic Food and Nutrition Council of America (IFANCA) yang juga telah diakui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Berbagai studi menunjukkan vaksinasi HPV yang dilakukan secara nasional efektif menekan terjadinya kanker serviks. Seperti apa yang dilakukan di Amerika Serikat dan Australia misalnya. Kedua negara ini berhasil menurunkan insiden kanker serviks secara signifikan sampai 75 persen setelah menjalankan program vaksinasi HPV secara nasional sejak 10 tahun belakangan.
(nug)