Rumah Sakit Apung Layani Pasien di Daerah Terpencil

Senin, 23 Desember 2019 - 14:21 WIB
Rumah Sakit Apung Layani Pasien di Daerah Terpencil
Rumah Sakit Apung Layani Pasien di Daerah Terpencil
A A A
Jemput bola sudah dilakukan oleh Pendiri doctorSHARE dr. Lie Augustinus Dharmawan sejak 10 tahun lalu. Dengan bermodalkan kapal yang dirombak menjadi sebuah Rumah Sakit Apung (RSA), doctorSHARE menyediakan akses kesehatan gratis untuk masyarakat di wilayah terpencil di Indonesia.

RSA Nusa Waluya II merupakan RSA ketiga yang dikelola Yayasan Dokter Peduli (doctorSHARE). Pendahulunya, RSA dr. Lie Dharmawan dan RSA Nusa Waluya II sudah lebih dulu menyediakan akses kesehatan gratis untuk masyarakat di wilayah terpencil di Indonesia. Menurut dr. Lie, RSA Nusa Waluya II lebih dulu melayani masyarakat terdampak bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah (November 2018) sebelum datang ke Jakarta.

Tujuannya membantu fasilitas kesehatan yang rusak akibat bencana. "RSA ini nantinya akan melayani berbagai kebutuhan medis masyarakat di wilayah Kepulauan Maluku,” ujarnya di RSA Nusa Waluya II yang berlabuh di Baywalk Mall, Jakarta Utara, Selasa (10/12).

Di kapal tongkang RSA Nusa Waluya II ini, fasilitas yang dimiliki terbilang lengkap nyaris seperti rumah sakit pada umumnya. Sebut saja Poli Umum, Poli Gigi, Poli Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Instalasi Gawat Darurat (IGD), Radiologi, Kamar Bedah, dan Ruang Rawat Inap, serta fasilitas pendukung lainnya.

Dr. Lie bercerita awalnya ia membeli sebuah kapal pinisi dari hasil menjual rumah sebagai down payment yang kemudian dicicil selama setahun. Butuh waktu tiga tahun hingga kapal itu bisa digunakan sebagai layaknya rumah sakit. Semua biaya dari awal hingga operasional berasal dari kantungnya sendiri.

Dia pun harus mengoperasikan RS Apung itu sendirian dengan seorang perawat yang dibawanya sendiri dari tempat dinas. "Siapa yang mau diajak? Tidak ada yang mau karena orang menganggap ini ide gila," kenang dr. Lie. Selain RSA, doctorSHARE memiliki beberapa program lain diantaranya Dokter Terbang, Klinik Tuberkulosis, dan Panti Rawat Gizi (PRG). Program-program tersebut ditujukan kepada masyarakat yang tidak mampu menjangkau akses kesehatan karena kondisi ekonomi maupun geografis.

Lewat PRG, dr. Lie berupaya memerangi stunting salah satunya. Masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama ini, bukan hanya menjadikan anak lebih pendek saja. "Tapi perkembangan otaknya juga tidak maksimal, sehingga kemampuan mental dan belajar menjadi kurang. IQnya tertinggal dan tidak bisa dikejar lagi," urai dr. Lie.

Berangkat dari keprihatinan ini, doctorSHARE mencari para calon ibu lalu memeriksa kesehatannya. Terungkap bahwa kebanyakan dari mereka menderita anemia. "Statistik nasional memang menunjukkan kira-kira 50% perempuan Indonesia anemia, 1 dari 2 ibu menderita kondisi ini," papar dr. Lie.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1377 seconds (0.1#10.140)