Vape Dikaitkan dengan Masalah Pernapasan Jangka Panjang
A
A
A
JAKARTA - Penelitian terbaru menunjukkan bahwa vape dikaitkan dengan masalah pernapasan jangka panjang, seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Studi ini menambah bukti tentang hubungan antara penggunaan rokok elektronik dan kondisi paru-paru.
Dilansir WebMD, vape diperkenalkan ke pasar Amerika Serikat lebih dari satu dekade lalu dan rokok elektrik ini dipasarkan tidak lebih berbahaya daripada rokok tembakau tradisional. Pada 2016, hampir 11 juta orang dewasa Amerika menggunakan vape.
Vape sendiri terdiri dari ruang penguapan, kartrid nikotin yang dapat mencakup perasa dan baterai yang dapat diisi ulang. Uap yang dihasilkan dihirup ke dalam paru-paru. Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa uap dapat mengiritasi sel-sel saluran napas, merusak kemampuan untuk melawan infeksi, dan menyebabkan kerusakan jaringan paru-paru.
Sementara, studi yang baru diterbitkan pada Desember lalu ini menemukan bahwa pengguna vape secara signifikan berisiko lebih tinggi terhadap PPOK seperti asma, bronkitis, emfisema dan COPD. Adapun vape dikaitkan dengan wabah nasional penyakit paru-paru serius. Pada 7 Januari, ada lebih dari 2.600 penyakit dan 57 kematian - banyak yang terkait dengan produk vape dengan THC, komponen dalam ganja.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, zat aditif yang disebut Vitamin E asetat yang membuat THC menjadi penyebabnya. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Albert Osei, seorang rekan pascadoktoral di Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins di Baltimore ini mengamati database lebih dari 705.000 orang dewasa, di mana hampir 65.000 menghisap rokok biasa dan lebih dari 25.000 rokok elektrik dihisap dengan usia rata-rata responden adalah 30 hingga 34 tahun.
Selain itu, lebih dari 200.000 responden merupakan mantan perokok tradisional. Sekitar 2% perokok dikabarkan menggunakan rokok tradisional dan vape. Lebih dari 53.000 dalam kelompok itu mengatakan mereka menderita COPD, bronkitis kronis atau emfisema.
Di sisi lain, penelitian ini menemukan bahwa pada orang-orang yang tidak pernah merokok rokok biasa, penggunaan vape dikaitkan dengan 75% kemungkinan lebih tinggi dari COPD. Pengguna vape harian memiliki peluang COPD 2,6 kali lebih tinggi daripada mereka yang tidak pernah merokok.
Penelitian kedua yang diterbitkan dalam jurnal BMC Pulmonary Medicine mencakup lebih dari 400.000 orang dewasa yang tidak pernah merokok. Lebih dari 34.000 menderita asma. Hanya 3.100 orang saat ini menggunakan vape. Usia rata-rata mereka adalah 18 hingga 24 tahun.
Hasilnya, ditemukan risiko asma 39% lebih tinggi pada pengguna vape saat ini daripada orang yang tidak pernah menggunakan vape. Dan semakin banyak orang yang menggunakan vape, semakin tinggi pula kemungkinan mengidap asma. Seperti Osei, kepala kelompok advokasi pro-vaping mencatat bahwa studi ini tidak membuktikan bahwa vape bertanggung jawab atas kedua kondisi tersebut.
Greg Conley, Presiden American Vaping Association mengatakan ada kemungkinan orang dengan asma atau COPD mengidap kondisi tersebut sebelum menggunakan vape.
"Tidak ada mekanisme yang masuk akal di mana vape, yang membuat pengguna jauh lebih sedikit racun daripada merokok, dapat menyebabkan COPD dalam periode beberapa tahun. Bahkan di kalangan perokok berat, beberapa dekade diperlukan agar COPD berkembang," ungkap Grey Conley.
"Mayoritas orang yang menggunakan rokok elektronik adalah anak muda. Seiring waktu, kita akan memiliki generasi yang menjadi tergantung pada nikotin karena menggunakan rokok elektronik. Sebagai dokter kesehatan masyarakat, saya tidak bisa mengatakan bahwa rokok elektronik tanpa risiko," tandasnya.
Dilansir WebMD, vape diperkenalkan ke pasar Amerika Serikat lebih dari satu dekade lalu dan rokok elektrik ini dipasarkan tidak lebih berbahaya daripada rokok tembakau tradisional. Pada 2016, hampir 11 juta orang dewasa Amerika menggunakan vape.
Vape sendiri terdiri dari ruang penguapan, kartrid nikotin yang dapat mencakup perasa dan baterai yang dapat diisi ulang. Uap yang dihasilkan dihirup ke dalam paru-paru. Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa uap dapat mengiritasi sel-sel saluran napas, merusak kemampuan untuk melawan infeksi, dan menyebabkan kerusakan jaringan paru-paru.
Sementara, studi yang baru diterbitkan pada Desember lalu ini menemukan bahwa pengguna vape secara signifikan berisiko lebih tinggi terhadap PPOK seperti asma, bronkitis, emfisema dan COPD. Adapun vape dikaitkan dengan wabah nasional penyakit paru-paru serius. Pada 7 Januari, ada lebih dari 2.600 penyakit dan 57 kematian - banyak yang terkait dengan produk vape dengan THC, komponen dalam ganja.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, zat aditif yang disebut Vitamin E asetat yang membuat THC menjadi penyebabnya. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Albert Osei, seorang rekan pascadoktoral di Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins di Baltimore ini mengamati database lebih dari 705.000 orang dewasa, di mana hampir 65.000 menghisap rokok biasa dan lebih dari 25.000 rokok elektrik dihisap dengan usia rata-rata responden adalah 30 hingga 34 tahun.
Selain itu, lebih dari 200.000 responden merupakan mantan perokok tradisional. Sekitar 2% perokok dikabarkan menggunakan rokok tradisional dan vape. Lebih dari 53.000 dalam kelompok itu mengatakan mereka menderita COPD, bronkitis kronis atau emfisema.
Di sisi lain, penelitian ini menemukan bahwa pada orang-orang yang tidak pernah merokok rokok biasa, penggunaan vape dikaitkan dengan 75% kemungkinan lebih tinggi dari COPD. Pengguna vape harian memiliki peluang COPD 2,6 kali lebih tinggi daripada mereka yang tidak pernah merokok.
Penelitian kedua yang diterbitkan dalam jurnal BMC Pulmonary Medicine mencakup lebih dari 400.000 orang dewasa yang tidak pernah merokok. Lebih dari 34.000 menderita asma. Hanya 3.100 orang saat ini menggunakan vape. Usia rata-rata mereka adalah 18 hingga 24 tahun.
Hasilnya, ditemukan risiko asma 39% lebih tinggi pada pengguna vape saat ini daripada orang yang tidak pernah menggunakan vape. Dan semakin banyak orang yang menggunakan vape, semakin tinggi pula kemungkinan mengidap asma. Seperti Osei, kepala kelompok advokasi pro-vaping mencatat bahwa studi ini tidak membuktikan bahwa vape bertanggung jawab atas kedua kondisi tersebut.
Greg Conley, Presiden American Vaping Association mengatakan ada kemungkinan orang dengan asma atau COPD mengidap kondisi tersebut sebelum menggunakan vape.
"Tidak ada mekanisme yang masuk akal di mana vape, yang membuat pengguna jauh lebih sedikit racun daripada merokok, dapat menyebabkan COPD dalam periode beberapa tahun. Bahkan di kalangan perokok berat, beberapa dekade diperlukan agar COPD berkembang," ungkap Grey Conley.
"Mayoritas orang yang menggunakan rokok elektronik adalah anak muda. Seiring waktu, kita akan memiliki generasi yang menjadi tergantung pada nikotin karena menggunakan rokok elektronik. Sebagai dokter kesehatan masyarakat, saya tidak bisa mengatakan bahwa rokok elektronik tanpa risiko," tandasnya.
(tdy)