Cinema Indonesia Mulai Bangkit, Nasib Film Lokal di Tangan Milenial
A
A
A
JAKARTA - Sebuah survei menunjukkan 67% milenial lebih suka film domestik daripada film asing. Orang pun berasumsi apakah ini menandakan kebangkitan film Indonesia? Atau, jangan-jangan hanya karena minimnya situs streaming ilegal yang memutar film lokal? Lantas, bagaimana setelah situs-situs tersebut dibombardir pemerintah?
Faris Aqsath kecewa. Mahasiswa dari universitas negeri yang ada di Depok ini makin sulit mencari film-film bajakan. Meski masih ada, butuh upaya lebih keras untuk mendapatinya. Bahkan, saat situs sudah didapat pun ia harus berhadapan dengan risiko malware dan virus yang bisa saja menyerang perangkat komputer jinjingnya.
“Padahal, ada film Barat baru yang kata teman-teman kualitas gambarnya sudah HD,” ujarnya kesal.
Ya, sejak pemerintah berkomitmen akan memberangus situs-situs streaming ilegal, para penonton setianya banyak yang kecewa. Mereka adalah orang-orang yang belum sempat atau memilih tidak ke bioskop. Adapun, tujuan pemerintah melakukan ini tentu saja dengan semangat ingin memajukan film Indonesia.
“Lah, kita kan streaming-nya film luar negeri. Kalau film Indonesia mah kita tetap ke bioskop,” begitu katanya.
Nah, pengakuan anak kuliahan ini seakan membenarkan survei dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Dalam acara diskusi film bertajuk “Kaum Muda Indonesia dan Perilaku Menonton Film” yang digelar Asosiasi Perusahaan Film Indonesia (APFI), disebutkan bahwa mayoritas kaum muda atau milenial di kota-kota besar Indonesia lebih suka menonton film lokal dibanding luar. Hal ini disampaikan Ketua Bidang Promosi dan Peredaran APFI, sekaligus Founder Falcon Pictures, HB Naveen. (Baca: Bintangi Film Baru Suzzanna, Luna Maya Pelajari Santet)
“Persentase anak muda yang menonton film nasional 67%, lebih tinggi dari kaum muda yang menonton film asing sebanyak 55%,” terangnya.
Tak main-main, surveinya sendiri dilakukan di 16 kota besar pada Desember 2019. Hasilnya, 67% anak muda berusia 15–38 tahun menyatakan setidaknya menonton satu film nasional di bioskop dalam setahun terakhir. Sementara, 40% menyatakan setidaknya menonton tiga film nasional selama setahun terakhir. Pertanyaan pun muncul, inikah masa kebangkitan film nasional?
Pengamat budaya pop dan perfilman Hikmat Darmawan berbagi pandangan dengan SINDO Weekly. Dalam sebuah wawancara pekan lalu, ia memberikan beberapa insight menarik soal hasil survei yang membangkitkan semangat para sineas lokal itu. Menurutnya, ada peningkatan kepercayaan pada film-film dalam negeri. Penyebabnya, ada beberapa faktor yang apabila diringkas, sekurangnya ada empat hal yang membuat ABG Indonesia mulai mencintai produksi film negerinya sendiri.
Pertama, Hikmat Darwaman menilai adanya karakter yang kuat, baik dari filmnya maupun penontonnya. Ia lalu mengajak SINDO Weekly untuk kembali pada era 1990-an sampai 2000-an dulu. Saat itu, jalur eksibisi bioskop yang dominan hanya jaringan Cinema 21—yang umumnya berada di mal. Nah, karakter pengunjung mal itu khas, yakni rata-rata ABG, remaja yang punya kebiasaan nongkrong. Maka dari itu, film-film seperti Ada Apa dengan Cinta laku keras.
Selain karakter remaja, ada karakter lain yang juga terbentuk saat itu, yakni religi. Makanya, film-film seperti Ayat-ayat Cinta juga dikonsumsi ibu-ibu pengajian. Kemudian karakter selanjutnya adalah inspirasi dan motivasi. Hal ini tercermin dari suksesnya film Laskar Pelangi, bahkan hingga menembus Asia Tenggara.
“Melihat bagaimana seseorang punya mimpi dari sebuah sekolah yang mau roboh kemudian bisa ke luar negeri. Ini motivasi. Orang senang cerita inspiratif seperti ini,” katanya. Sejak itu, bioskop-bioskop Indonesia mulai ramai. Namun kemudian, berangsur menurun setelah film-film horor komedi yang dipenuhi adegan mesum memenuhi bioskop.
Nah, di era milenial seperti sekarang, film-film bergenre remaja, religi, dan inspirasi kembali meningkat. Beberapa diadopsi dari novel atau buku yang notabene sudah memiliki basis pengikutnya sendiri. Artinya, para pembaca buku terkait pun terdorong untuk menonton filmnya. Lantaran ceritanya sendiri sudah kuat, visualisasi ke dalam layar lebar pun membuat orang tertarik untuk datang ke bioskop.
Nah, hal ini kemudian menyambung pada faktor kedua, yaitu hype. Di kalangan pemuda, hype adalah kewajiban. Mereka punya rasa takut akan ketinggalan zaman bila tidak mengikuti tren. Begitu pula dengan film. Ambil contoh film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini. Menurut Hikmat, secara kualitas, pesan dalam film ini sebenarnya belum sampai. Namun, banyak orang tetap beli tiketnya karena kiri-kanannya pun sudah menontonnya.
Hal ketiga yang juga menjadi faktor adalah jumlah produksi. “Jumlah produksi film Indonesia sekarang sudah jauh lebih stabil, antara 70, 80, 90 film. Sebenarnya bisa sih di atas 100, tapi data yang tertampung secara wajar paling 70–80 film di bioskop,” ujarnya.
Capaian ini sebenarnya patut diapresiasi. Sebab, tren seperti ini turut mendongkrak industri perfilman Indonesia. Meski ada juga film yang gagal total dan mencatat perolehan penonton buruk, ada yang mencatat di luar ekspektasi, seperti Dilan yang mencatat 6 juta penonton. Termasuk beberapa film Falcon, seperti Warkop DKI Reborn.
“Jadi, walaupun perolehan penonton di 2019 seperti menurun, tapi overall tetap saja orang yang menonton film Indonesia meningkat,” ujarnya lagi.
Hal ini pun mengindikasikan bahwa film Indonesia benar-benar menjadi miliknya khalayak penonton—dan ini bagus. Sebab, sekarang pemegang khalayak tersebut adalah anak muda. Ini artinya, prospek perfilman Indonesia di masa depan makin terbuka. Jika animo ini bertahan seiring regenerasi, diikuti pertumbuhan industri dan konsistensi jumlah produksi, bukan tidak mungkin kalau prospeknya akan lebih cerah lagi.
“Ini bagus karena sebelumnya ada pemahaman yang memandang ngapain ke bioskop nonton film Indonesia? Orang memandang nonton itu mahal karena harus makan dan lain-lain. Jadi, kalau yang ditonton film Indonesia, mereka merasa rugi. Apalagi, bukankah banyak yang menganggap film Indonesia horor mulu?” cerita Hikmat.
Faktanya berkata lain. Menurut hitungannya, sejak 2008, produksi film horor sebenarnya sudah turun jauh, bahkan jatuh. Lebih banyak komedi, percintaan remaja, dan religi. Kalaupun masih ada horor, kualitasnya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. (Baca juga: 7 Film Horor Indonesia dengan Jumlah Penonton Terbanyak)
“Di kalangan milenial, sekarang horor justru menjadi: lu masa enggak nonton sih? Seru tahu. ABG sekarang karakternya beda. Karena peristiwa sosial, horor menjadi pilihan tepat. Mereka senang takut bareng-bareng. Itu menjadi kelebihan, apalagi sutradara horor banyak mengalami peningkatan sekarang,” sambungnya lagi.
Nah, setelah karakter, hype, dan jumlah produksi, faktor berikutnya tentu saja kepercayaan akan kualitas pembuat film. Hanya saja, faktor yang satu ini masih bisa diperdebatkan. Pasalnya, dengan tuntutan industri seperti ini, jumlah pembuat film berkualitas justru menjadi masalah.
“Kurang sekali orang menjadi scriptwriter. Produser sering kali sulit mencari skrip. Akhirnya, skrip yang bagus ditulis oleh orang yang sudah bisa kita tebak siapa saja. Petanya sudah jelas dan itu sedikit, bukan kelompok yang banyak sekali,” lanjutnya.
Namun, meski jumlahnya kurang dan terkesan “dia-dia saja”, jumlah masyarakat yang menaruh kepercayaan pada mereka sudah cukup signifikan. Kita bisa melihat Hanung Bramantyo, Riri Riza, ataupun Joko Anwar. Mereka punya basis penggemar yang cukup banyak. Ditambah lagi, sutradarasutradara baru yang juga mulai mendapat hati penonton, seperti Ernest Prakarsa dan Raditya Dika, pun turut mengangkat film lokal. Buktinya, saat film-film mereka muncul, bioskop pun penuh dan menyaingi film-film Hollywood.
Begitu pula dengan faktor bintang filmnya. Di saat struktur film di dunia sudah tidak mengandalkan sistem bintang lagi, kita justru masih mengandalkan bintang. “Barangkali bukan karena kebintangan, tapi seringkali karena kelatahan. Sebenarnya, kelatahannya lebih karena para investor atau produser ingin aman. Bisnis itu kan ada yang namanya risiko, tapi besaran risiko itu siapa yang ngukur? Paling aman itu risiko dikecilkan. Salah satunya dengan pemain yang sama,” begitu katanya.
“Untungnya, sekarang pengetahuan tentang sinematografi sudah sangat tersebar, alat juga semakin demokratis. Maksudnya, teknologi kamera digital, bahkan HP, sekarang sudah bisa bikin film feature yang proper. Itu sebetulnya membuat pengetahuan tentang sinematografi sudah bisa diakses oleh semua orang sehingga seyogianya ada kesempatan bagi semua untuk menjadi sinematografer. Masalahnya sekarang, gagasan tentang sinematografinya berkembang enggak?” tanya Hikmat.
Hal ini tentunya perlu jadi perhatian semua pihak, terutama pemerintah. Sebab, secara tidak langsung, film pun bakal menyumbang pendapatan negara. Coba saja tengok untuk film-film yang mengangkat soal keberagaman budaya dan kekayaan alam negara. Film-film seperti ini rupanya ikut mengerek popularitas daerah tertentu sehingga menaikkan angka kunjungan wisatawan. Inilah yang harusnya dipikirkan pemerintah.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur Sinarto pun menyadarinya. Ia menyoroti adanya peningkatan kunjungan wisatawan akibat adanya film-film yang mengangkat keindahan alam Bromo dan Banyuwangi. “Nah ini yang seringkali kami bicarakan. Sebenarnya, mengangkat popularitas destinasi melalui film paling bagus,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan SINDO Weekly pekan lalu.
Ia pun mencontohkan film 5 cm yang berhasil mendongkrak kedatangan pariwisata di Jawa Timur. Baik pelancong mancanegara maupun lokal ramai-ramai mendatangi tempat syuting film tersebut di Gunung Semeru. Pemda Jawa Timur pun ingin menggunakan strategi serupa untuk meningkatkan popularitas pariwisata di Madiun. “Madiun memiliki kampung silat. Terate itu punya penampungan silat yang bagus sekali,” imbuhnya.
Singkat kata, kesuksesan film lokal sejatinya akan juga mengharumkan nama Indonesia. Kucumbu Tubuh Indahku, misalnya, yang kemarin nyaris mewakili Indonesia di ajang Academy Award. Jika kualitas film seperti ini dijaga dan ditingkatkan, bukan tidak mungkin kalau industri film lokal akan bisa seperti Korea yang mendapatkan setumpuk keuntungan dari film-film drama. Gara-gara drama Korea, orang pergi ke sana dan berwisata. Semoga saja gara-gara drama Indonesia, turis mancanegara juga akan mampir ke Bumi Pertiwi tercinta. (Efi Susiyanti, Wahyu Novianto, dan Yohannes Tobing)
Faris Aqsath kecewa. Mahasiswa dari universitas negeri yang ada di Depok ini makin sulit mencari film-film bajakan. Meski masih ada, butuh upaya lebih keras untuk mendapatinya. Bahkan, saat situs sudah didapat pun ia harus berhadapan dengan risiko malware dan virus yang bisa saja menyerang perangkat komputer jinjingnya.
“Padahal, ada film Barat baru yang kata teman-teman kualitas gambarnya sudah HD,” ujarnya kesal.
Ya, sejak pemerintah berkomitmen akan memberangus situs-situs streaming ilegal, para penonton setianya banyak yang kecewa. Mereka adalah orang-orang yang belum sempat atau memilih tidak ke bioskop. Adapun, tujuan pemerintah melakukan ini tentu saja dengan semangat ingin memajukan film Indonesia.
“Lah, kita kan streaming-nya film luar negeri. Kalau film Indonesia mah kita tetap ke bioskop,” begitu katanya.
Nah, pengakuan anak kuliahan ini seakan membenarkan survei dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Dalam acara diskusi film bertajuk “Kaum Muda Indonesia dan Perilaku Menonton Film” yang digelar Asosiasi Perusahaan Film Indonesia (APFI), disebutkan bahwa mayoritas kaum muda atau milenial di kota-kota besar Indonesia lebih suka menonton film lokal dibanding luar. Hal ini disampaikan Ketua Bidang Promosi dan Peredaran APFI, sekaligus Founder Falcon Pictures, HB Naveen. (Baca: Bintangi Film Baru Suzzanna, Luna Maya Pelajari Santet)
“Persentase anak muda yang menonton film nasional 67%, lebih tinggi dari kaum muda yang menonton film asing sebanyak 55%,” terangnya.
Tak main-main, surveinya sendiri dilakukan di 16 kota besar pada Desember 2019. Hasilnya, 67% anak muda berusia 15–38 tahun menyatakan setidaknya menonton satu film nasional di bioskop dalam setahun terakhir. Sementara, 40% menyatakan setidaknya menonton tiga film nasional selama setahun terakhir. Pertanyaan pun muncul, inikah masa kebangkitan film nasional?
Pengamat budaya pop dan perfilman Hikmat Darmawan berbagi pandangan dengan SINDO Weekly. Dalam sebuah wawancara pekan lalu, ia memberikan beberapa insight menarik soal hasil survei yang membangkitkan semangat para sineas lokal itu. Menurutnya, ada peningkatan kepercayaan pada film-film dalam negeri. Penyebabnya, ada beberapa faktor yang apabila diringkas, sekurangnya ada empat hal yang membuat ABG Indonesia mulai mencintai produksi film negerinya sendiri.
Pertama, Hikmat Darwaman menilai adanya karakter yang kuat, baik dari filmnya maupun penontonnya. Ia lalu mengajak SINDO Weekly untuk kembali pada era 1990-an sampai 2000-an dulu. Saat itu, jalur eksibisi bioskop yang dominan hanya jaringan Cinema 21—yang umumnya berada di mal. Nah, karakter pengunjung mal itu khas, yakni rata-rata ABG, remaja yang punya kebiasaan nongkrong. Maka dari itu, film-film seperti Ada Apa dengan Cinta laku keras.
Selain karakter remaja, ada karakter lain yang juga terbentuk saat itu, yakni religi. Makanya, film-film seperti Ayat-ayat Cinta juga dikonsumsi ibu-ibu pengajian. Kemudian karakter selanjutnya adalah inspirasi dan motivasi. Hal ini tercermin dari suksesnya film Laskar Pelangi, bahkan hingga menembus Asia Tenggara.
“Melihat bagaimana seseorang punya mimpi dari sebuah sekolah yang mau roboh kemudian bisa ke luar negeri. Ini motivasi. Orang senang cerita inspiratif seperti ini,” katanya. Sejak itu, bioskop-bioskop Indonesia mulai ramai. Namun kemudian, berangsur menurun setelah film-film horor komedi yang dipenuhi adegan mesum memenuhi bioskop.
Nah, di era milenial seperti sekarang, film-film bergenre remaja, religi, dan inspirasi kembali meningkat. Beberapa diadopsi dari novel atau buku yang notabene sudah memiliki basis pengikutnya sendiri. Artinya, para pembaca buku terkait pun terdorong untuk menonton filmnya. Lantaran ceritanya sendiri sudah kuat, visualisasi ke dalam layar lebar pun membuat orang tertarik untuk datang ke bioskop.
Nah, hal ini kemudian menyambung pada faktor kedua, yaitu hype. Di kalangan pemuda, hype adalah kewajiban. Mereka punya rasa takut akan ketinggalan zaman bila tidak mengikuti tren. Begitu pula dengan film. Ambil contoh film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini. Menurut Hikmat, secara kualitas, pesan dalam film ini sebenarnya belum sampai. Namun, banyak orang tetap beli tiketnya karena kiri-kanannya pun sudah menontonnya.
Hal ketiga yang juga menjadi faktor adalah jumlah produksi. “Jumlah produksi film Indonesia sekarang sudah jauh lebih stabil, antara 70, 80, 90 film. Sebenarnya bisa sih di atas 100, tapi data yang tertampung secara wajar paling 70–80 film di bioskop,” ujarnya.
Capaian ini sebenarnya patut diapresiasi. Sebab, tren seperti ini turut mendongkrak industri perfilman Indonesia. Meski ada juga film yang gagal total dan mencatat perolehan penonton buruk, ada yang mencatat di luar ekspektasi, seperti Dilan yang mencatat 6 juta penonton. Termasuk beberapa film Falcon, seperti Warkop DKI Reborn.
“Jadi, walaupun perolehan penonton di 2019 seperti menurun, tapi overall tetap saja orang yang menonton film Indonesia meningkat,” ujarnya lagi.
Hal ini pun mengindikasikan bahwa film Indonesia benar-benar menjadi miliknya khalayak penonton—dan ini bagus. Sebab, sekarang pemegang khalayak tersebut adalah anak muda. Ini artinya, prospek perfilman Indonesia di masa depan makin terbuka. Jika animo ini bertahan seiring regenerasi, diikuti pertumbuhan industri dan konsistensi jumlah produksi, bukan tidak mungkin kalau prospeknya akan lebih cerah lagi.
“Ini bagus karena sebelumnya ada pemahaman yang memandang ngapain ke bioskop nonton film Indonesia? Orang memandang nonton itu mahal karena harus makan dan lain-lain. Jadi, kalau yang ditonton film Indonesia, mereka merasa rugi. Apalagi, bukankah banyak yang menganggap film Indonesia horor mulu?” cerita Hikmat.
Faktanya berkata lain. Menurut hitungannya, sejak 2008, produksi film horor sebenarnya sudah turun jauh, bahkan jatuh. Lebih banyak komedi, percintaan remaja, dan religi. Kalaupun masih ada horor, kualitasnya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. (Baca juga: 7 Film Horor Indonesia dengan Jumlah Penonton Terbanyak)
“Di kalangan milenial, sekarang horor justru menjadi: lu masa enggak nonton sih? Seru tahu. ABG sekarang karakternya beda. Karena peristiwa sosial, horor menjadi pilihan tepat. Mereka senang takut bareng-bareng. Itu menjadi kelebihan, apalagi sutradara horor banyak mengalami peningkatan sekarang,” sambungnya lagi.
Nah, setelah karakter, hype, dan jumlah produksi, faktor berikutnya tentu saja kepercayaan akan kualitas pembuat film. Hanya saja, faktor yang satu ini masih bisa diperdebatkan. Pasalnya, dengan tuntutan industri seperti ini, jumlah pembuat film berkualitas justru menjadi masalah.
“Kurang sekali orang menjadi scriptwriter. Produser sering kali sulit mencari skrip. Akhirnya, skrip yang bagus ditulis oleh orang yang sudah bisa kita tebak siapa saja. Petanya sudah jelas dan itu sedikit, bukan kelompok yang banyak sekali,” lanjutnya.
Namun, meski jumlahnya kurang dan terkesan “dia-dia saja”, jumlah masyarakat yang menaruh kepercayaan pada mereka sudah cukup signifikan. Kita bisa melihat Hanung Bramantyo, Riri Riza, ataupun Joko Anwar. Mereka punya basis penggemar yang cukup banyak. Ditambah lagi, sutradarasutradara baru yang juga mulai mendapat hati penonton, seperti Ernest Prakarsa dan Raditya Dika, pun turut mengangkat film lokal. Buktinya, saat film-film mereka muncul, bioskop pun penuh dan menyaingi film-film Hollywood.
Begitu pula dengan faktor bintang filmnya. Di saat struktur film di dunia sudah tidak mengandalkan sistem bintang lagi, kita justru masih mengandalkan bintang. “Barangkali bukan karena kebintangan, tapi seringkali karena kelatahan. Sebenarnya, kelatahannya lebih karena para investor atau produser ingin aman. Bisnis itu kan ada yang namanya risiko, tapi besaran risiko itu siapa yang ngukur? Paling aman itu risiko dikecilkan. Salah satunya dengan pemain yang sama,” begitu katanya.
“Untungnya, sekarang pengetahuan tentang sinematografi sudah sangat tersebar, alat juga semakin demokratis. Maksudnya, teknologi kamera digital, bahkan HP, sekarang sudah bisa bikin film feature yang proper. Itu sebetulnya membuat pengetahuan tentang sinematografi sudah bisa diakses oleh semua orang sehingga seyogianya ada kesempatan bagi semua untuk menjadi sinematografer. Masalahnya sekarang, gagasan tentang sinematografinya berkembang enggak?” tanya Hikmat.
Hal ini tentunya perlu jadi perhatian semua pihak, terutama pemerintah. Sebab, secara tidak langsung, film pun bakal menyumbang pendapatan negara. Coba saja tengok untuk film-film yang mengangkat soal keberagaman budaya dan kekayaan alam negara. Film-film seperti ini rupanya ikut mengerek popularitas daerah tertentu sehingga menaikkan angka kunjungan wisatawan. Inilah yang harusnya dipikirkan pemerintah.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur Sinarto pun menyadarinya. Ia menyoroti adanya peningkatan kunjungan wisatawan akibat adanya film-film yang mengangkat keindahan alam Bromo dan Banyuwangi. “Nah ini yang seringkali kami bicarakan. Sebenarnya, mengangkat popularitas destinasi melalui film paling bagus,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan SINDO Weekly pekan lalu.
Ia pun mencontohkan film 5 cm yang berhasil mendongkrak kedatangan pariwisata di Jawa Timur. Baik pelancong mancanegara maupun lokal ramai-ramai mendatangi tempat syuting film tersebut di Gunung Semeru. Pemda Jawa Timur pun ingin menggunakan strategi serupa untuk meningkatkan popularitas pariwisata di Madiun. “Madiun memiliki kampung silat. Terate itu punya penampungan silat yang bagus sekali,” imbuhnya.
Singkat kata, kesuksesan film lokal sejatinya akan juga mengharumkan nama Indonesia. Kucumbu Tubuh Indahku, misalnya, yang kemarin nyaris mewakili Indonesia di ajang Academy Award. Jika kualitas film seperti ini dijaga dan ditingkatkan, bukan tidak mungkin kalau industri film lokal akan bisa seperti Korea yang mendapatkan setumpuk keuntungan dari film-film drama. Gara-gara drama Korea, orang pergi ke sana dan berwisata. Semoga saja gara-gara drama Indonesia, turis mancanegara juga akan mampir ke Bumi Pertiwi tercinta. (Efi Susiyanti, Wahyu Novianto, dan Yohannes Tobing)
(ysw)