Geliat Cinefilm di Indonesia, Gairah Film di Dunia Kampus Mulai Terasa

Selasa, 11 Februari 2020 - 09:03 WIB
Geliat Cinefilm di Indonesia,...
Geliat Cinefilm di Indonesia, Gairah Film di Dunia Kampus Mulai Terasa
A A A
SEJAK duduk di bangku SMA, Diar Rul Ikhsan sudah gemar membuat film pendek. Hasil olah kreativitasnya itu diunggahnya melalui saluran YouTube, meskipun tidak semuanya. Begitu lulus SMA, pemuda 22 tahun itu tidak ragu memilih Program Studi Televisi dan Film Universitas Padjadjaran. “Memang senang saja sama film,” ujar mahasiswa angkatan 2015 semester sepuluh itu kepada SINDO Weekly, Rabu pekan lalu.

Diar meyakini kuliah di bidang televisi dan film memiliki masa depan yang menjanjikan. Terlebih, saat ini internet berkembang begitu cepat sehingga melahirkan banyak platform. Artinya, panggung untuk mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya kini lebih bervariasi. Bioskop besar bukan lagi satu-satunya wahana yang bisa mendatangkan ekspos publik kepada karya pembuat film. “Masih ada media. Masih ada platform online streaming juga. Jadi, bukan sekadar menjadi kru TV atau film,” kata mahasiswa asal Kota Sumedang itu.

Bagi kaum milenial, tak begitu menjadi masalah seberapa banyak biaya pendidikan yang mesti dikeluarkan selama kuliah lantaran memang bidang ilmu itulah yang disuka. Toh, biaya bisa ditekan. Sebut saja misalnya dengan mengerjakan tugas praktik pembuatan film secara berkelompok. Diar mengaku hanya membayar Rp2,5 juta uang kuliah per semester. “Kalau praktik membuat program TV, misalnya, biaya paling Rp300 ribu per orang. Untuk film, biaya juga sama sekitar itu. Soalnya, dikerjakan berkelompok,” tutur Diar.

Perkembangan pesat dunia pertelevisian dan film tak pelak membuat anak-anak milenial seperti Diar terkesima untuk menempuh pendidikan formal di bidang ini. Secara umum, program studi televisi dan film memberikan materi-materi perkuliahan teori dan praktik seputar industri perfilman dan televisi. Mahasiswa dibekali pengetahuan soal produksi film maupun program televisi, mulai dari penyutradaraan, penulisan skenario, penulisan naskah, sinematografi, videografer, tata artistik, tata suara, hingga penyuntingan gambar.

Disiplin ilmu ini juga ikut mendorong berkembangnya sekolah maupun perguruan tinggi. Banyak kampus yang membuka jurusan televisi dan film karena melihat prospek serta animo besar dari kelompok milenial. Selain Universitas Padjadjaran atau kampus tradisional penghasil talenta teater maupun perfilman nasional seperti Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, sejumlah kampus di Jakarta serta kota lain pun membuka program studi serupa. Sebut saja Universitas Bina Nusantara, Internasional Design School, Universitas Multimedia Nusantara, Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, dan Institut Kesenian Makassar.

Daya Pikat

Peminat program studi televisi dan film pun sangat banyak, bersaing dengan jurusan-jurusan tradisional seperti teknik dan ekonomi. Menurut data pelaporan yang dilansir laman www.pddikti.ristekdikti.go.id, pada 2019–2020, jumlah mahasiswa program studi televisi dan film di IKJ sebanyak 1.242 orang, terdiri atas 171 D3 dan 1.171 jenjang S1. Sementara, program studi televisi dan film ISI Yogyakarta yang masuk dalam Fakultas Seni Media Rekam memiliki jumlah mahasiswa lebih dari 500 orang.

Program Studi Televisi dan Film Universitas Padjadjaran sendiri langsung diserbu peminat pada tahun pertama pembukaannya. Pada 2015, televisi dan film masuk dalam sepuluh besar program studi dengan peminat terbanyak dalam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) di Universitas Padjadjaran. Jumlah pendaftar mencapai 2.737 calon mahasiswa. Bahkan, tingkat persaingan masuk program ini adalah yang tertinggi karena hanya memperebutkan 25 bangku kuliah.

Minat yang tumbuh sangat tinggi terhadap bidang televisi dan film bukan semata-mata materi maupun keterampilan yang diberikan di perkuliahan. Lebih dari itu, nama-nama tenar dunia pertelevisian dan perfilman turut andil menggugah animo kaum milenial. IKJ, misalnya, telah berhasil mencetak nama-nama besar dalam industri perfilman Indonesia, seperti Hanung Bramantyo, Mira Lesmana, dan Riri Riza.

Begitulah, industri televisi dan film nasional yang terus bergairah dalam satu dasawarsa terakhir secara langsung telah berdampak positif terhadap industri pendidikan. Seperti hubungan simbiosis mutualisme, berkembangnya pendidikan bidang televisi dan film tentu diharapkan bakal mengangkat kualitas produksi televisi dan film nasional di kancah dunia.

Akan tetapi, menggantungkan harapan terlalu tinggi pada sekolah demi peningkatan kualitas film dan SDM-nya juga kurang pas. Ketua Dewan Kesenian Jakarta Hikmat Darmawan mengingatkan bahwa sekolah hanya satu aspek yang dapat memberikan andil terhadap sumber daya industri televisi dan film. Sebaliknya, dia berpendapat bahwa kualitas SDM film bisa dipompa dengan dibukanya ruang kritik. “Di Indonesia, kritikus film tidak ada. Media pun hanya mengupas dan menghasilkan tulisan soal keterampilan teknis. Itu problem,” katanya.

Dia mencontohkan bagaimana majalah khusus sinematografi di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang misalnya mengupas satu aspek perfilman secara mendalam. Di London, lanjut Hikmat, ada British Film Institute (BFI). Lembaga tersebut memang tidak bisa disebut sebagai tempat pendidikan film secara formal. Namun, BFI sudah banyak menelurkan produksi buku dan infografik mengenai aspek-aspek pembuatan film. “Jadi, pengetahuannya tidak perlu lewat sekolah, melainkan ada rujukan yang jelas,” katanya. (Muhibudin Kamali dan Efi Susiyanti)
(ysw)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1756 seconds (0.1#10.140)