Film Menggeliat, Pengusaha Bioskop Tambah Layar Dongkrak Pendapatan

Selasa, 11 Februari 2020 - 11:08 WIB
Film Menggeliat, Pengusaha Bioskop Tambah Layar Dongkrak Pendapatan
Film Menggeliat, Pengusaha Bioskop Tambah Layar Dongkrak Pendapatan
A A A
PERTUMBUHAN ekonomi yang cenderung stagnan nyatanya tidak menyurutkan para pengusaha bioskop untuk berekspansi ke berbagai daerah. Industri film nasional yang makin mapan dan kebutuhan akan hadirnya sarana hiburan seperti bioskop di daerah menjadi alasan kuat untuk memperbanyak layar bioskop. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menargetkan akan ada 2.200 layar bioskop di Tanah Air hingga akhir 2020. Angka ini meningkat dari jumlah bioskop pada semester I 2019, yakni sebanyak 1.900 layar.

Industri perfilman memang semakin berkembang pesat, khususnya sejak pemerintah membuka industri film dari daftar negatif investasi (DNI) melalui Perpres Nomor 44 Tahun 2016. Kebijakan ini ikut mendongkrak jumlah layar bioskop dari sebelumnya yang hanya 1.100 layar pada 2015. Sementara, jumlah penonton juga ikut melompat naik dari 16 juta penonton (2015) menjadi 48 juta pada akhir 2018.

Para investor yang terlibat di bisnis ini
Tambah Layar untuk Dongkrak Pendapatan
memang terlihat begitu agresif untuk menanamkan investasinya di industri film nasional. Sebab, potensinya masih cukup besar jika ditilik dari rasio jumlah penduduk dengan layar bioskop yang terlihat masih timpang. Dengan jumlah penduduk sekitar 260 juta, Indonesia baru memiliki sekitar 1.900 layar.

Bandingkan dengan Amerika Serikat (AS) yang berpenduduk 320 juta jiwa dan memiliki jumlah layar sekitar 40.759. Sementara di Korea, dengan hanya 51,3 juta penduduk, mereka punya sekitar 1.880 layar. Arab Saudi yang sebelumnya belum memiliki layar bioskop dikabarkan dalam waktu singkat akan membangun sekitar 2.500 layar. Sementara, India yang berpopulasi 1,3 miliar orang memiliki 9.600 bioskop dengan 2.900 di antaranya multiplex.

Menurut Ketua Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GBSI) Djonny Syafruddin, jika ada penambahan sekitar 500 layar bioskop, artinya bioskop baru mampu menyerap 10% dari kebutuhan ideal di dalam negeri. Memasuki 2020, ada tiga provinsi di Indonesia, yakni Aceh, Kalimantan Utara, dan Papua Barat yang belum tersentuh hiburan bioskop sama sekali hingga kini. Itu sebabnya pula GBSI lebih optimistis dari Bekraf bahwa pada 2020 ini, jumlah layar bioskop di Indonesia akan mencapai 2.500 layar. Jumlah ini bertambah sekitar 200 layar dari posisi pada akhir 2019. Idealnya, Indonesia membutuhkan setidaknya 10.000 layar bioskop agar mampu memenuhi kebutuhan industri film nasional.

Dalam hal penjualan tiket, kontribusi film internasional memang masih lebih tinggi dibandingkan penjualan tiket film nasional. Perbandingannya rata-rata 35% untuk film dalam negeri dan sisanya 65% untuk film luar negeri. Untuk 2019, Indonesia menjadi pasar terbesar ke-16 di dunia untuk film-film box office internasional. Nilainya mencapai sekitar US$345 juta atau sekitar Rp4,8 triliun. Dalam catatan Bekraf, industri film di Tanah Air mampu memberikan kontribusi sebesar 10% dari produk domestik bruto (PDB) nasional.

20 Juta Tiket

Setelah dibukanya keran investasi bisnis bioskop di Tanah Air untuk investor asing, bisnis ini pun makin disesaki pemain. Ada lebih dari sepuluh perusahaan pengelola bioskop besar yang kini bersaing ketat di pasar. Meski demikian, PT Nusantara Sejahtera Raya atau Cinema 21 Group masih menjadi pemimpin pangsa pasar dengan penguasaan dari 40%. Perusahaan yang didirikan oleh Sudwikatmono pada 1986 itu kini memiliki beberapa merek bioskop (dagang). Sebut saja Cinema 21, Cinema XXI, The Premiere, dan IMAX. Kini, Cinema 21 Group telah memiliki lebih dari 1.000 layar yang tersebar di lebih dari 200 lokasi.

Persaingan bisnis bioskop di Tanah Air bertambah ramai dengan kehadiran PT Graha Layar Prima Tbk. (BLTZ) yang pada 2015 lalu berhasil menggaet investor asal Korea, Cheil Jedang Cheil Golden Village (CJ CV). Perusahaan ini pun kini mengoperasikan jaringan bioskop yang dulu bernama Blitzmegaplex. Tahun ini berubah nama menjadi CGV.

Menargetkan dapat mengoperasikan sebanyak 83 layar bioskop di sejumlah kota, Head of Operation CGV Diana Abbas mengatakan saat ini perkembangan bisnis bioskop di Indonesia masih memiliki prospek usaha yang menarik. Sejak 2018 lalu, perseroan telah membuka layar bioskop baru di sejumlah kota tier dua, seperti Blitar, Madiun, Gresik, Probolinggo, dan Purwakarta.

Salah satu bioskop yang akan dibangun pada 2020 itu berada di Perumahan Citra Maja Raya yang bercokol di Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak, Banten. CGV Citra Maja Raya ini akan memiliki empat studio dengan kapasitas 621 kursi. Nantinya, bioskop ini tak hanya berfungsi untuk menonton film, tetapi bisa juga digunakan untuk kegiatan budaya lainnya (cultureplex).

Pemain besar lainnya di bisnis bioskop adalah Cinepolis. Setelah mendapat suntikan dana dari investor asal Meksiko, Cinepolis yang dulu dikenal sebagai Cinemaxx langsung tancap gas. Tahun ini, Cinepolis menargetkan penjualan tiket sebanyak 20 juta. Menurut CEO Cinepolis Indonesia Gerald Dibbayawan, target tersebut lebih tinggi dari realisasi penjualan tiket pada 2019 yang mencapai sekitar 16 juta tiket. Menurutnya, kondisi ekonomi Indonesia yang konsisten bakal meningkatkan penjualan Cinepolis.

Salah satu cara untuk mencapai target itu adalah dengan melakukan penambahan layar. Tahun lalu, jumlah layar Cinepolis mencapai 287 layar. Dalam lima tahun ke depan, Cinepolis bertekad menambah jumlah layar bioskopnya menjadi 1.000 layar. Gerald sadar bahwa persaingan di bisnis ini sangat sengit. Pihaknya harus menghadapi Cinema 21 dan juga CGV. Dalam menghadapi persaingan, strategi yang digunakan Cinepolis adalah membuat jaringan bioskopnya jadi lebih menarik untuk dikunjungi. (Eko Edhi Caroko)
(ysw)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5869 seconds (0.1#10.140)