Susu Bahayakan Kesehatan Wanita
A
A
A
JAKARTA - Susu sering kali disarankan untuk dikonsumsi karena baik untuk kesehatan. Tapi, sebuah kajian terbaru menyatakan, minum susu tiga atau lebih gelas sehari justru berbahaya bagi kesehatan wanita.
Dalam kajian yang dilakukan peneliti di Swedia, wanita yang terlibat dalam penelitian itu dan mengonsumsi setidaknya tiga gelar susu sehari memiliki peluang akan lebih cepat meninggal dunia dibandingkan mereka yang minum kurang dari satu gelas sehari. Selain itu, kajian itu juga menemukan risiko kerapuhan tulang bagi wanita meningkat begitu konsumsi susu mereka juga bertambah.
Penyebabnya adalah galaktosa, gula yang ditemukan di dalam susu. “Senyawa itu mungkin menginduksi tekanan oksidatif dan peradangan, dan tipe radang itu bisa mempengaruhi kelangsungan hidup dan keretakan tulang. Lucunya kalau galaktosa itu diberikan kepada binatang penelitian, mereka akan tewas lebih cepat akibat induksi tekanan oksidatif dan peradangan,” papar Karl Michaelsson, dosen di Uppsala University yang juga salah satu penulis kajian itu kepada Live Science.
Karena adanya efek berbahaya galaktosa terhadap binatang, Michaelsson dan timnya menghipotesa konsumsi susu yang lebih tinggi terhadap manusia akan diasosiasikan dengan tekanan oksidatif yang lebih tinggi dan juga risiko keretakan tulang dan kematian yang lebih besar.
Kajian ini melibatkan 61.433 wanita berusia antara 39—74 tahun yang dimonitor selama 20 tahun dan 45.339 pria berusia 45—79 tahun. Seluruh peserta kajian melaporkan diet dan gaya hidup mereka, berat badan, kebiasaan merokok, frekuensi olahraga, tingkat pendidikan dan status pernikahan pada awal kajian dilakukan.
Pada akhir masa kajian, 15.451 wanita meninggal dunia dan 17.252 lainnya menderita keretakan tulang, termasuk 4.259 retak tulang pinggang. Sementara pada sukarelawan pria, yang dimonitor sekitar 11 tahun, tidak ada kaitan antara kematian atau keretakan tulang dengan konsumsi susu.
Mungkin, tanpa diperkirakan, konsumsi susu yang lebih tinggi terkait peningkatan kerapuhan tulang, termasuk keretakan tulang pinggang. Meski belum jelas mekanisme apa yang mendasari kaitan ini, bisa jadi konsumsi galakstosa yang lebih besar meningkatkan level tekanan dan peradangan di dalam tubuh, yang menyebabkan risiko keretakan tulang.
Meski begitu, para periset menemukan bahwa produk susu fermentasi —seperti keju dan yogurt yang mengandung sedikit atau tidak memiliki kandungan galaktosa—memiliki efek berseberangan. Wanita yang makan atau minum produk susu fermentasi tidak mengalami kematian atau keretakan tulang selama jangka waktu kajian dilakukan. Kematian dan risiko keretakan tulang wanita justru turun dari 10 menjadi 15% dengan konsumsi harian.
Tapi, Michaelsson menyatakan, orang tidak perlu mengubah kebiasaan mereka untuk mengonsumsi susu, meski dia mengakui telah berhenti minum susu dua tahun lalu dan menggantinya dengan yogurt.
Para periset juga menyatakan mustahil menarik kesimpulan atau membuat rekomentasi atas konsumsi susu sampai ada penelitan lebih lanjut. Hasil penelitian ini mungkin tidak cocok bagi orang dari etnis tertentu yang memiliki level toleransi laktosa yang berbeda.
Dalam sebuah komentar, Mary Schooling of the City University of New York School of Public Health menyatakan peran susu dalam kematian harus diteliti lebih lanjut karena konsumsi susu akan meningkat seiring perkembangan ekonomi.
“Kajian ini menciptakan lebih banyak pertanyaan ketimbang memberikan jawaban,” ujar Catherine Collins, kepala ahli diet di St George's Hospital, London.
Dalam kajian yang dilakukan peneliti di Swedia, wanita yang terlibat dalam penelitian itu dan mengonsumsi setidaknya tiga gelar susu sehari memiliki peluang akan lebih cepat meninggal dunia dibandingkan mereka yang minum kurang dari satu gelas sehari. Selain itu, kajian itu juga menemukan risiko kerapuhan tulang bagi wanita meningkat begitu konsumsi susu mereka juga bertambah.
Penyebabnya adalah galaktosa, gula yang ditemukan di dalam susu. “Senyawa itu mungkin menginduksi tekanan oksidatif dan peradangan, dan tipe radang itu bisa mempengaruhi kelangsungan hidup dan keretakan tulang. Lucunya kalau galaktosa itu diberikan kepada binatang penelitian, mereka akan tewas lebih cepat akibat induksi tekanan oksidatif dan peradangan,” papar Karl Michaelsson, dosen di Uppsala University yang juga salah satu penulis kajian itu kepada Live Science.
Karena adanya efek berbahaya galaktosa terhadap binatang, Michaelsson dan timnya menghipotesa konsumsi susu yang lebih tinggi terhadap manusia akan diasosiasikan dengan tekanan oksidatif yang lebih tinggi dan juga risiko keretakan tulang dan kematian yang lebih besar.
Kajian ini melibatkan 61.433 wanita berusia antara 39—74 tahun yang dimonitor selama 20 tahun dan 45.339 pria berusia 45—79 tahun. Seluruh peserta kajian melaporkan diet dan gaya hidup mereka, berat badan, kebiasaan merokok, frekuensi olahraga, tingkat pendidikan dan status pernikahan pada awal kajian dilakukan.
Pada akhir masa kajian, 15.451 wanita meninggal dunia dan 17.252 lainnya menderita keretakan tulang, termasuk 4.259 retak tulang pinggang. Sementara pada sukarelawan pria, yang dimonitor sekitar 11 tahun, tidak ada kaitan antara kematian atau keretakan tulang dengan konsumsi susu.
Mungkin, tanpa diperkirakan, konsumsi susu yang lebih tinggi terkait peningkatan kerapuhan tulang, termasuk keretakan tulang pinggang. Meski belum jelas mekanisme apa yang mendasari kaitan ini, bisa jadi konsumsi galakstosa yang lebih besar meningkatkan level tekanan dan peradangan di dalam tubuh, yang menyebabkan risiko keretakan tulang.
Meski begitu, para periset menemukan bahwa produk susu fermentasi —seperti keju dan yogurt yang mengandung sedikit atau tidak memiliki kandungan galaktosa—memiliki efek berseberangan. Wanita yang makan atau minum produk susu fermentasi tidak mengalami kematian atau keretakan tulang selama jangka waktu kajian dilakukan. Kematian dan risiko keretakan tulang wanita justru turun dari 10 menjadi 15% dengan konsumsi harian.
Tapi, Michaelsson menyatakan, orang tidak perlu mengubah kebiasaan mereka untuk mengonsumsi susu, meski dia mengakui telah berhenti minum susu dua tahun lalu dan menggantinya dengan yogurt.
Para periset juga menyatakan mustahil menarik kesimpulan atau membuat rekomentasi atas konsumsi susu sampai ada penelitan lebih lanjut. Hasil penelitian ini mungkin tidak cocok bagi orang dari etnis tertentu yang memiliki level toleransi laktosa yang berbeda.
Dalam sebuah komentar, Mary Schooling of the City University of New York School of Public Health menyatakan peran susu dalam kematian harus diteliti lebih lanjut karena konsumsi susu akan meningkat seiring perkembangan ekonomi.
“Kajian ini menciptakan lebih banyak pertanyaan ketimbang memberikan jawaban,” ujar Catherine Collins, kepala ahli diet di St George's Hospital, London.
(alv)