Jakarta dan Social Housing
A
A
A
Kota Jakarta bagi sebagian pemukimnya memang memberi fasilitas yang memudahkan untuk hidup layak. Di sisi lain, seperti dalam mitologi Roma kuno tentang Dewa Janus, diceritakan kehadiran masa transisi dengan paradoks keberuntungan sekaligus kemalangan.
Kota Jakarta memiliki ketidak beruntungan dengan areal lahan yang makin sedikit, kepadatan penduduk, dan urbanisasi menggila. Kawasan Jakarta-Jabodetabek, menurut lembaga populasi Demographia World Urban Areas di Illionis, Amerika Serikat, sebagai salah satu areal dengan tingkat populasi tertinggi di dunia yang dihuni 29.959.000 orang pada 2014.
Kawasan ini hanya dikalahkan oleh mega cities Tokyo-Yokohama di Jepang di urutan nomor wahid dengan populasi 37.555.000. Sementara ke-3 ada pada India dengan kawasan Delhi dengan megalopolis kota-kota satelitnya yang dimukimi 24.134.000 orang. Statistik ini mengombinasikan data sensus nasional masing-masing negara dan riset dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sementara itu, kita mengingat buku beraura pesimistis karya Mike Davis dengan “Planet of Slum (2004)” bahwa makin banyak manusia tinggal di kota, namun di daerah kumuh (slum ).
Kampung kumuh Kota Jakarta diperbandingkan dengan Quarantine di Beirut, sampai ke wilayah Santa Cruz di Mumbai, distrik Favela di Rio de Janeiro, juga Kota Kairo sebagai “City of the Dead” yang 500.000-an orang menggunakan kompleks makam tua Mameluke sebagai tempat tinggal.
Davis meledek bahwa gedung perumahan bukan dari kaca-kaca indah dan baja yang diusulkan oleh generasi awal para urbanis, malahan realitasnya sebagian besar dibangun dari bata mentah, jerami, plastik daur ulang, blok semen dan kayu bekas, bahkan kartonkarton di bantaran sungai.
Suketu Mehta, seorang jurnalis, penulis dari Amerika Serikat yang lahir dan menghabiskan masa mudanya di Bombay (sekarang Mumbai), India, juga menulis buku yang menyentuh, “Maximum City: Bombay Lost and Found” (2004) yang memberi inspirasi kurator seni di Jakarta Biennale 2011 dengan menyamakan kondisi Mumbai yang padat, melelahkan dan chaos dengan tema Maximum City. Seperti juga Mehta, para kurator menilai Jakarta adalah mimpi buruk dengan lebih dari 12 juta orang yang berdesakan.
Kampung Vertikal untuk Social House
Perumahan vertikal adalah solusi menghadapi sesaknya kota. Social housing atau perumahan yang dibangun untuk kepentingan penduduk kurang mampu dan masyarakat kampung di tengah kota adalah sebuah mimpi pada masa depan.
Para urbanis, arsitek, dan ahli tata kota ditantang membuat desaindesain yang visioner. Baru-baru ini dalam pameran The Atlas of the Unbuilt World di Bartlett School of Architecture di London, Inggris, seorang arsitek Indonesia bernama Budi Pradono memperkenalkan ide revolusioner tentang “Inverted Pyramid” (2013) atau piramida terbalik untuk kampung vertikal di Manggarai. Ia menyajikan pendefinisian ulang kampung kumuh di Jakarta menjadi sebuah perumahan untuk kampung kontemporer vertikal.
Kampung kerap dimengerti sebagai permukiman yang informal dan tidak teratur, serta sering kali padat penduduk. Piramida terbalik menggunakan prinsip sama yang memungkinkan ruang sosial secara acak di rongga kosongnya, selain menyerap kepadatan penduduk karena sifat alami vertikal tersebut.
Bentuk geometri piramida yang mengerucut solid dengan basis poligonal telah digunakan berabadabad oleh bangsa Mesir kuno dan Maya yang menggunakannya sebagai makam raja-raja, tempat ibadah dan penyimpanan makanan untuk musim paceklik. Piramida terbalik gaya Budi ini kelihatannya merupakan proposal impian “out of the box” dengan membalik persepsi piramida sebagai tempat eksklusif pada masa silam dengan memberi kesetaraan akses lebih luas model anyar.
Nah yang memikat kerucut terbaliknya memberikan ruang publik serta menampung air dan matahari untuk energi bagi piramida yang tak bisa ditemui di kampung tradisional yang horizontal. Ruang lain bisa untuk lahan pertanian dan perikanan, serta membuat ruang anjungan bagi unit bisnis kecil dan informal, seperti menjahit pakaian, memperbaiki barang listrik, dan sebagainya.
Hal tersebut mendukung sektor informal yang akan menjaga keseimbangan iklim ekonomi di sekitarnya. Konsep unik ini berupaya mempertahankan budaya dan gaya hidup yang sudah berakar di kampung tradisional. Memungkinkan individu dan keluarga membangun kembali/merenovasi rumah mereka sendiri dengan tipologi yang berbeda dari pintu, jendela, dan bagian lainnya.
Membuat kunci tumbuhnya semangat kebersamaan dalam keragaman di permukiman. Tentu saja Kampung Deret yang diwariskan Jokowi selama menjabat gubernur DKI bisa diteruskan oleh penggantinya dengan mengombinasikan visi luar biasa perumahan Kampung Vertikal ala Piramida Terbalik ini.
BAMBANG ASRINI WIDJANARKO
Kurator dan Pengamat Seni
Kota Jakarta memiliki ketidak beruntungan dengan areal lahan yang makin sedikit, kepadatan penduduk, dan urbanisasi menggila. Kawasan Jakarta-Jabodetabek, menurut lembaga populasi Demographia World Urban Areas di Illionis, Amerika Serikat, sebagai salah satu areal dengan tingkat populasi tertinggi di dunia yang dihuni 29.959.000 orang pada 2014.
Kawasan ini hanya dikalahkan oleh mega cities Tokyo-Yokohama di Jepang di urutan nomor wahid dengan populasi 37.555.000. Sementara ke-3 ada pada India dengan kawasan Delhi dengan megalopolis kota-kota satelitnya yang dimukimi 24.134.000 orang. Statistik ini mengombinasikan data sensus nasional masing-masing negara dan riset dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sementara itu, kita mengingat buku beraura pesimistis karya Mike Davis dengan “Planet of Slum (2004)” bahwa makin banyak manusia tinggal di kota, namun di daerah kumuh (slum ).
Kampung kumuh Kota Jakarta diperbandingkan dengan Quarantine di Beirut, sampai ke wilayah Santa Cruz di Mumbai, distrik Favela di Rio de Janeiro, juga Kota Kairo sebagai “City of the Dead” yang 500.000-an orang menggunakan kompleks makam tua Mameluke sebagai tempat tinggal.
Davis meledek bahwa gedung perumahan bukan dari kaca-kaca indah dan baja yang diusulkan oleh generasi awal para urbanis, malahan realitasnya sebagian besar dibangun dari bata mentah, jerami, plastik daur ulang, blok semen dan kayu bekas, bahkan kartonkarton di bantaran sungai.
Suketu Mehta, seorang jurnalis, penulis dari Amerika Serikat yang lahir dan menghabiskan masa mudanya di Bombay (sekarang Mumbai), India, juga menulis buku yang menyentuh, “Maximum City: Bombay Lost and Found” (2004) yang memberi inspirasi kurator seni di Jakarta Biennale 2011 dengan menyamakan kondisi Mumbai yang padat, melelahkan dan chaos dengan tema Maximum City. Seperti juga Mehta, para kurator menilai Jakarta adalah mimpi buruk dengan lebih dari 12 juta orang yang berdesakan.
Kampung Vertikal untuk Social House
Perumahan vertikal adalah solusi menghadapi sesaknya kota. Social housing atau perumahan yang dibangun untuk kepentingan penduduk kurang mampu dan masyarakat kampung di tengah kota adalah sebuah mimpi pada masa depan.
Para urbanis, arsitek, dan ahli tata kota ditantang membuat desaindesain yang visioner. Baru-baru ini dalam pameran The Atlas of the Unbuilt World di Bartlett School of Architecture di London, Inggris, seorang arsitek Indonesia bernama Budi Pradono memperkenalkan ide revolusioner tentang “Inverted Pyramid” (2013) atau piramida terbalik untuk kampung vertikal di Manggarai. Ia menyajikan pendefinisian ulang kampung kumuh di Jakarta menjadi sebuah perumahan untuk kampung kontemporer vertikal.
Kampung kerap dimengerti sebagai permukiman yang informal dan tidak teratur, serta sering kali padat penduduk. Piramida terbalik menggunakan prinsip sama yang memungkinkan ruang sosial secara acak di rongga kosongnya, selain menyerap kepadatan penduduk karena sifat alami vertikal tersebut.
Bentuk geometri piramida yang mengerucut solid dengan basis poligonal telah digunakan berabadabad oleh bangsa Mesir kuno dan Maya yang menggunakannya sebagai makam raja-raja, tempat ibadah dan penyimpanan makanan untuk musim paceklik. Piramida terbalik gaya Budi ini kelihatannya merupakan proposal impian “out of the box” dengan membalik persepsi piramida sebagai tempat eksklusif pada masa silam dengan memberi kesetaraan akses lebih luas model anyar.
Nah yang memikat kerucut terbaliknya memberikan ruang publik serta menampung air dan matahari untuk energi bagi piramida yang tak bisa ditemui di kampung tradisional yang horizontal. Ruang lain bisa untuk lahan pertanian dan perikanan, serta membuat ruang anjungan bagi unit bisnis kecil dan informal, seperti menjahit pakaian, memperbaiki barang listrik, dan sebagainya.
Hal tersebut mendukung sektor informal yang akan menjaga keseimbangan iklim ekonomi di sekitarnya. Konsep unik ini berupaya mempertahankan budaya dan gaya hidup yang sudah berakar di kampung tradisional. Memungkinkan individu dan keluarga membangun kembali/merenovasi rumah mereka sendiri dengan tipologi yang berbeda dari pintu, jendela, dan bagian lainnya.
Membuat kunci tumbuhnya semangat kebersamaan dalam keragaman di permukiman. Tentu saja Kampung Deret yang diwariskan Jokowi selama menjabat gubernur DKI bisa diteruskan oleh penggantinya dengan mengombinasikan visi luar biasa perumahan Kampung Vertikal ala Piramida Terbalik ini.
BAMBANG ASRINI WIDJANARKO
Kurator dan Pengamat Seni
(bbg)