Tinggalkan RBT Beralihlah ke Streaming
A
A
A
Penyanyi, band, maupun label musik Indonesia harus mulai bersiap untuk fokus disini: YouTube dan layanan streaming musik. Dua channel tersebut diperkirakan menjadi bisnis model menjanjikan bagi industri musik di masa depan.
Ketika produksi fisik seperti kaset, CD, dan VCD penjualannya semakin menurun, mau tidak mau industri harus beralih ke format digital. Format digital yang saat ini dinilai paling menjanjikan bagi label, musisi, juga operator seluler adalah ring back tone(RBT).
Begitu besarnya minat dan nilai pasar RBT di Indonesia, hingga industri musik seolah diterjang tsunami ketika pada Oktober 2011 pemerintah memutuskan untuk menghentikan layanan konten seluler yang dikenal dengan tragedi ”Black October”. Dua tahun setelah kejadian tersebut, bisnis nada sambung pribadi hampir pulih seperti semula.
Apalagi ketika band seperti Noah dan penyanyi Raisa merilis album baru. Konsumsi RBT di operator seluler melonjak drastis. Meski demikian, RBT yang hanya sukses di negara seperti Indonesia, Filipina, dan Korea Selatan itu seharusnya bukanlah solusi jangka panjang industri musik Tanah Air.
Bahkan, dalam jangka panjang dampaknya justru tidak sehat. Mengapa? Pertama, karena RBT bukanlah format mendengarkan musik yang ”tepat”. Secara kenyamanan hampir tidak ada. Dan secara estetika hanya didengarkan sepihak (oleh penelpon). Kedua, RBT juga bukan menjadi solusi yang tepat sebagai media yang bisa memangkas jumlah pembajakan musik digital yang semakin merajalela di Indonesia.
”RBT diminati karena menjadi ekspresi pribadi seseorang. Misalnya ketika ia sedang sedih, senang, atau menyukai lagu tertentu,” ungkap Managing Director label Pelangi Records Aka Zakaria. Namun, Aka berpendapat bahwa RBT justru membawa dampak kurang sehat terhadap industri musik secara keseluruhan.
Alasannya, karena format tersebut lebih banyak dikonsumsi oleh segmen C dan D. Sementara segmen menengah keatas (A dan B) nyaris tidak tersentuh. ”Para musisi akan lari ke genre yang dianggap laris jadi RBT karena berpotensi mendapatkan uang. Yakni, genre pop melayu. Sementara musikus jazz, R&B, dan aliran lain yang lebih banyak dikonsumsi segmen A dan B kurang diminati lantaran pasarnya relatif kecil,” katanya.
Dampaknya, industri musik Indonesia berpotensi menjadi monoton, statis, dan tidak kreatif. Lalu, bagaimana solusinya? Sebenarnya ada beberapa cara berjualan konten digital yang walau saat ini masih terbilang kecil, tapi kedepannya sangat menjanjikan karena sifatnya yang dapat menjangkau segman A-B hingga C-D. Cara pertama adalah layanan musik streaming dan digital download.
Pada 2014, nilai industri streaming global menurut asosiasi rekaman dunia IFPI sudah mencapai USD1 miliar atau tumbuh 51,3% dibanding tahun 2013. Kendati layanan unduh musik digital masih mengakomodir 67% total pendapatan di sektor tersebut, tapi sejak tahun lalu pertumbuhannya sudah stagnan. Maka sudah bisa ditebak, di masa depan streaming akan menjadi cara akses musik yang paling diminati.
Di Indonesia, layanan streaming seperti Guvera atau streaming sekaligus digital download seperti Langit Musik mendapatkan traksi yang cukup baik. Aplikasi Langit Musik yang diluncurkan pada Mei 2013, misalnya, telah diunduh sebanyak 100.000 kali. Saat ini dalam seminggu pengguna Langit Musik mengonsumsi 50-60 lagu per orang, baik download maupun streaming, dengan pertumbuhan 20 persen setiap minggunya.
“Pengguna di Indonesia sudah mulai teredukasi dengan layanan streaming,” kata VP Digital Lifestyle Telkomsel Marina Kacaribu. Marina berharap, layanan musik digital seperti ini kedepannya dapat memberikan harapan dan menjadi wadah bagi musisi Indonesia untuk mendistribusikan karya mereka.
Solusi kedua, pelaku industri musik dapat memanfaatkan layanan OTT seperti YouTube, yang memberikan revenue sharing melalui iklan. ”Saat ini YouTube telah menjadi media untuk mengkonsumsi musik,” ujar Managing Director label Pelangi Records Aka Zakaria.
Data yang dirilis oleh YouTube sendiri menyebut bahwa 40 persen pengakses mereka datang dari perangkat mobile. Sedangkan lamanya waktu yang digunakan untuk menonton YouTube naik 50%. Aka mengatakan, YouTube saat ini telah menjadi sumber pendapatan baru bagi musisi ataupun label. Ia mengatakan, YouTube memang memberi kesempatan bagi label untuk membuat saluran/channel musik sendiri.
Menurut Aka, kontribusi dari You-Tube ini bisa mencapai 10 persen dari total pendapatan sebuah label. Bahkan, angkanya bisa lebih jika sebuah label memiliki banyak katalog video. Karena itu, mulai sekarang sudah saatnya label maupun musisi menyiapkan strategi baru untuk menyambut perubahan di industri musik digital yang bergulir dengan cepat dan drastis.
Danang arradian
Ketika produksi fisik seperti kaset, CD, dan VCD penjualannya semakin menurun, mau tidak mau industri harus beralih ke format digital. Format digital yang saat ini dinilai paling menjanjikan bagi label, musisi, juga operator seluler adalah ring back tone(RBT).
Begitu besarnya minat dan nilai pasar RBT di Indonesia, hingga industri musik seolah diterjang tsunami ketika pada Oktober 2011 pemerintah memutuskan untuk menghentikan layanan konten seluler yang dikenal dengan tragedi ”Black October”. Dua tahun setelah kejadian tersebut, bisnis nada sambung pribadi hampir pulih seperti semula.
Apalagi ketika band seperti Noah dan penyanyi Raisa merilis album baru. Konsumsi RBT di operator seluler melonjak drastis. Meski demikian, RBT yang hanya sukses di negara seperti Indonesia, Filipina, dan Korea Selatan itu seharusnya bukanlah solusi jangka panjang industri musik Tanah Air.
Bahkan, dalam jangka panjang dampaknya justru tidak sehat. Mengapa? Pertama, karena RBT bukanlah format mendengarkan musik yang ”tepat”. Secara kenyamanan hampir tidak ada. Dan secara estetika hanya didengarkan sepihak (oleh penelpon). Kedua, RBT juga bukan menjadi solusi yang tepat sebagai media yang bisa memangkas jumlah pembajakan musik digital yang semakin merajalela di Indonesia.
”RBT diminati karena menjadi ekspresi pribadi seseorang. Misalnya ketika ia sedang sedih, senang, atau menyukai lagu tertentu,” ungkap Managing Director label Pelangi Records Aka Zakaria. Namun, Aka berpendapat bahwa RBT justru membawa dampak kurang sehat terhadap industri musik secara keseluruhan.
Alasannya, karena format tersebut lebih banyak dikonsumsi oleh segmen C dan D. Sementara segmen menengah keatas (A dan B) nyaris tidak tersentuh. ”Para musisi akan lari ke genre yang dianggap laris jadi RBT karena berpotensi mendapatkan uang. Yakni, genre pop melayu. Sementara musikus jazz, R&B, dan aliran lain yang lebih banyak dikonsumsi segmen A dan B kurang diminati lantaran pasarnya relatif kecil,” katanya.
Dampaknya, industri musik Indonesia berpotensi menjadi monoton, statis, dan tidak kreatif. Lalu, bagaimana solusinya? Sebenarnya ada beberapa cara berjualan konten digital yang walau saat ini masih terbilang kecil, tapi kedepannya sangat menjanjikan karena sifatnya yang dapat menjangkau segman A-B hingga C-D. Cara pertama adalah layanan musik streaming dan digital download.
Pada 2014, nilai industri streaming global menurut asosiasi rekaman dunia IFPI sudah mencapai USD1 miliar atau tumbuh 51,3% dibanding tahun 2013. Kendati layanan unduh musik digital masih mengakomodir 67% total pendapatan di sektor tersebut, tapi sejak tahun lalu pertumbuhannya sudah stagnan. Maka sudah bisa ditebak, di masa depan streaming akan menjadi cara akses musik yang paling diminati.
Di Indonesia, layanan streaming seperti Guvera atau streaming sekaligus digital download seperti Langit Musik mendapatkan traksi yang cukup baik. Aplikasi Langit Musik yang diluncurkan pada Mei 2013, misalnya, telah diunduh sebanyak 100.000 kali. Saat ini dalam seminggu pengguna Langit Musik mengonsumsi 50-60 lagu per orang, baik download maupun streaming, dengan pertumbuhan 20 persen setiap minggunya.
“Pengguna di Indonesia sudah mulai teredukasi dengan layanan streaming,” kata VP Digital Lifestyle Telkomsel Marina Kacaribu. Marina berharap, layanan musik digital seperti ini kedepannya dapat memberikan harapan dan menjadi wadah bagi musisi Indonesia untuk mendistribusikan karya mereka.
Solusi kedua, pelaku industri musik dapat memanfaatkan layanan OTT seperti YouTube, yang memberikan revenue sharing melalui iklan. ”Saat ini YouTube telah menjadi media untuk mengkonsumsi musik,” ujar Managing Director label Pelangi Records Aka Zakaria.
Data yang dirilis oleh YouTube sendiri menyebut bahwa 40 persen pengakses mereka datang dari perangkat mobile. Sedangkan lamanya waktu yang digunakan untuk menonton YouTube naik 50%. Aka mengatakan, YouTube saat ini telah menjadi sumber pendapatan baru bagi musisi ataupun label. Ia mengatakan, YouTube memang memberi kesempatan bagi label untuk membuat saluran/channel musik sendiri.
Menurut Aka, kontribusi dari You-Tube ini bisa mencapai 10 persen dari total pendapatan sebuah label. Bahkan, angkanya bisa lebih jika sebuah label memiliki banyak katalog video. Karena itu, mulai sekarang sudah saatnya label maupun musisi menyiapkan strategi baru untuk menyambut perubahan di industri musik digital yang bergulir dengan cepat dan drastis.
Danang arradian
(bbg)