DOLAR VS BBM

Jum'at, 28 November 2014 - 11:34 WIB
DOLAR VS BBM
DOLAR VS BBM
A A A
Dalam beberapa bulan ini, masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa ketika dihadapi dua masalah finansial yang menimpa semua orang Indonesia dan tak ada satu pun yang luput, dari yang paling kaya se-Indonesia raya, sampai yang paling papa, dari yang tinggal di Menteng sama yang berada di pelosok terdalam, yakni tingginya nilai tukar rupiah dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Persentase kenaikan nilai tukar dolar dan BBM yang cukup fantastis mungkin terlihat dalam angka yang kecil buat sebagian orang, tapi efek dominonya sungguhlah terasa bagi konsumen. Saya yakin lima puluh juta penduduk Indonesia harus merasakan efek domino dari kenaikan dolar dan BBM karena sebagian besar barang konsumsi adalah barang impor dan banyak barang impor tadi adalah barang yang tidak ada substitusinya atau paling tidak, tidak banyak substitusinya.

Ada juga barang yang harus tetap dikonsumsi berapa pun harganya, misalnya obat-obatan dan barang-barang elektronik. Susu formula, diapers, pembalut, dan gandum merupakan contoh sebagian kecil yang terkena dampaknya. Sungguh tragis kan jika kita harus mengganti susu formula dengan air tajin atau pembalut perempuan dengan pembalut kuno yang terbuat dari kain popok.

Banyak banget barang, yang dulunya bukan kebutuhan pokok, sekarang jadi kebutuhan pokok, misalnya handphone beserta pulsanya, berbagai jenis gadget lain dan juga kebutuhan internet. Kalau makan, minum, jajan, dan kosmetik mungkin bisa ada substitusinya dengan mengganti barang-barang lokal, tapi tetap saja pasti berat menurunkan gaya hidup. Tidak semua orang begitu mudahnya mengganti standar hidup dari biasa memakai kosmetik impor, eh sekarang harus ganti kosmetik lokal. Pasti harus berpikir 1.000 kali, termasuk urusan gengsi.

Tidak mudah rasanya mengubah gaya hidup dari biasa keluar setiap minggu pada akhir pekan bersama keluarga, makan, jalan, nonton , bawa anak-anak bermain di taman bermain. Eh sekarang harus terpaksa cari cara mengalihkan perhatian anak agar tidak merengek pada akhir pekan. Mungkin orang tua bisa dengan mudah berhemat mengetatkan ikat pinggang walau tidak ada efek melangsingkan badan. Namun, kalau sudah urusan untuk anak, orang tua jadi cenderung memaksakan diri.

Beberapa teman saya yang sebenarnya tidak “kaya-kaya” amat, tapi tetap memaksakan diri menyekolahkan anak di sekolah internasional yang lagi hits . Atas nama kurikulum yang lebih baik dan gengsi keluarga, sekarang banyak yang sudah mulai ketar-ketir dengan urusan uang sekolah yang naik gilagilaan hanya karena dolar naik, tapi pernah ada tanda-tanda akan turun dan tidak ada seorang pun yang dapat dan berani memprediksinya.

Nah yang juga tragis banget, saat seorang teman saya yang pencinta dan kolektor kucing, pastinya bukan kucing kampung dong, dan kucing-kucing yang sangat dia banggakan, sampai punya Instagram sendiri buat kucingkucingnya, sudah mulai pusing dengan peliharaannya gara-gara mahalnya makanan kering untuk kucing yang semuanya barang impor.

Belum lama ini dia menawarkan kucing-kucingnya kepada sahabat-sahabatnya untuk diadopsi. Bukan hal yang asyik kan meskipun Anda eksekutif bank, tapi biaya makanan kucing, dokter, dan vaksin untuk kucing saja, hampir Rp10 juta setiap bulan. Saya pribadi tidaklah sulit dan tidak juga gengsian untuk menurunkan gaya hidup. Saya tidak “branded freak” dan juga tidak pernah berkeberatan memakai baju yang saya beli di Matahari atau memakai kosmetik impor.

Namun, tetap saja ada beberapa hal yang sulit tergantikan, misalnya sampo, obat perawatan rambut, dan krim perawatan muka. Nah yang terakhir ini, kalau salah, damage cost -nya besar banget. Bukan hanya biaya perbaikannya, juga bete -nya harus bolakbalik ke dokter kulit. Rasanya, mau dolar naik pun, memaksakan diri tetap terpaksa dilakukan. Sudah hukum alam, menaikkan gaya hidup itu jauh lebih gampang daripada menurunkan gaya hidup.

Berhemat itu adalah wacana yang sering didengungkan setiap ada situasi ekonomi yang tidak mengenakkan. Itu karena memang sudah terlalu banyak pemborosan yang dilakukan orang Indonesia. Punya mobil lebih dari satu adalah hal yang biasa banget sama dengan biasanya punya pembantu lebih dari satu, serta punya rumah lebih dari satu. Pemborosan dalam gaya hidup orang Indonesia yang tampaknya sering “too much” dan sering tidak wajar di mata orang asing, bahkan dari negara yang paling kaya sekalipun.

Misalnya membawa baby sitter lebih dari satu untuk menjaga seorang anak, baik saat berlibur Natal bersama orang tuanya ke Korea. Buat yang “berduit”, pasti berargumen, “Lah duit kan duit gue, terserah gue dong”. Selapis tipis golong masyarakat “the have” yang benarbenar kaya, memang masih terlihat imun terhadap dua isu ini. Mereka masih belanja di Chanel, masih membeli home theatre , Ferrari, masih berlibur musim dingin bersama keluarga ke Korea.

Hari ini saya jalan-jalan ke Senayan City. Gucci, Bottega, dan YSL lagi sale akhir tahun. Butik-butik ini menjadi lebih ramai daripada biasanya. Meskipun tidak seramai sale sebelumnya yang bisa sampai antre sampai luar, seperti yang biasa terjadi di Gucci dan Bottega, Senayan City.

Belanjanya juga tidak lagi sehisteris dulu. Pada hari yang sama, saya juga berjalan-jalan ke pameran craft di JHCC, pemandangannya juga sama, tidak lagi seramai sebelum-sebelumnya. Wajar jika konsumsi barang mewah jadi berkurang dalam situasi seperti ini. Namun, jika konsumsi barang lokal pun menurun, artinya memang ada usaha pengendalian diri dalam berkonsumsi secara besar-besaran dari masyarakat.

Selama seminggu pascakenaikan harga BBM, saya memang menyediakan waktu mengamati traffic pengunjung mal-mal besar seperti Senayan City, Grand Indonesia, Pacific Place, Ambassador, Plaza Indonesia, dan Lippo Mall Kemang. Jelas terlihat penurunan traffic , apalagi saat saya berkunjung pada akhir pekan. Biasanya susah banget deh cari parkir di mal, bahkan mau valet saja biasanya antre banget.

Sekarang jadi lengang dan sangat menyenangkan. Enak banget deh kalau bisa setiap saat seperti ini. Namun, tanpa kemacetan, tanpa antrean, rasanya ada yang salah sama Jakarta, bukan? No traffic, no business . Enggak mau macet, hidup saja di hutan! Sepertinya seminggu pertama, masih banyak orang yang shock temporer. Mungkin karena kurangnya sosialisasi kenaikan harga BBM.

Saya selalu berharap ini shock temporer belaka, bukan permanen! Artinya, Indonesia kan memang tidak “madesu-madesu bangetlah”, karena angka populasinya sungguh menggoda dan tradisi berkonsumsi orang Indonesia yang “juara” banget.

Sudah dua kali Indonesia selamat dari krisis ekonominya, baik karena krisis dalam negeri maupun terimbas krisis dunia tahun 1998 dan 2008, karena konsumsi orang Indonesia yang luar biasa, yang masih sanggup memutar roda perekonomiannya sendiri. Mudah-mudahan nasib baik masih berpihak kepada kita ya !.

Miss Jinjing
Konsultan Fashion
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4664 seconds (0.1#10.140)