Teknologi Baru Atasi Gangguan Irama Jantung
A
A
A
Kini telah hadir metode baru yang dapat mendiagnosis sekaligus mengobati gangguan irama dengan teknologi tiga dimensi. Dengan alat canggih ini, dokter makin mudah melihat sumber kerusakan listrik jantung dengan sangat tepat.
Organ jantung normalnya berdenyut 60-100 kali per menit dengan irama teratur. Hal ini bisa diketahui dengan menyentuh urat nadi pada pergelangan tangan seseorang. Namun, irama jantung terkadang ada yang tidak mengikuti irama normal, misalnya hanya berdenyut di bawah 60-100 per menit atau malah berdetak lebih cepat, disertai sesak napas, pusing, letih, dan nyeri dada.
Jika hal ini terjadi, perlu diwaspadai karena bisa jadi merupakan indikasi gangguan fibrilasi atrium. Fibrilasi atrium merupakan gangguan irama jantung yang banyak ditemui di klinik-klinik dan rumah sakit di Indonesia. Kondisi ini juga dialami oleh lebih dari 6 juta orang di Eropa, lebih dari 2,3 juta populasi Amerika Serikat, dan lebih dari 800.000 orang di Jepang.
Pada pasien gangguan irama jantung (fibrilasi atrium), denyut jantung yang tidak teratur membuat mereka rentan mengalami penggumpalan darah di dalam atrium yang dapat bergerak menuju otak dan berpotensi menyebabkan serangan stroke. Stroke dapat menyebabkan kerusakan pada otak serta mengakibatkan kecacatan fisik dan gangguan perilaku, atau bahkan kematian.
Ahli jantung dari Mount Elizabeth Novena Hospital, Singapura, Dr Reginald Liew MA MBBS PhD FRCP FESC FACC menjelaskan, fibrilasi atrium adalah bentuk yang paling umum dari aritmia. Artimia adalah gangguan jantung di mana kecepatan irama detak jantung mengalami gangguan, bisa terlalu cepat, terlalu lambat, atau iramanya tidak teratur.
Untuk memahami penyakit ini harus dipahami tentang sistem listrik jantung. Sistem listrik jantung berfungsi mengendalikan irama dan detak jantung. Setiap sekali jantung berdenyut, kata dia, sinyal listrik akan menyebar dari atas ke bawah jantung. Ketika sinyal listrik merambat, jantung akan berkontraksi, dan darah terpompa.
Jika terjadi kerusakan pada sistem listrik jantung ini sehingga irama jantung atau denyut jantung tidak beraturan dapat membawa risiko kesehatan serius, misalnya saja stroke. Hal ini karena darah tidak terpompa sempurna sehingga sebagian masih tertinggal di rongga-rongga jantung dan rawan terjadi penggumpalan darah. Gumpalan darah ini atau disebut blood clot, jika terbawa ke otak, menyebabkan stroke.
Peluang terjadinya stroke lima kali lebih besar daripada bukan penderita fibrilasi atrium. “Gangguan irama jantung ini kadang disertai juga dengan gangguan jantung yang lain, kelemahan otot jantung, bahkan gagal jantung. Oleh karena itu, terapi harus secara menyeluruh,” tutur Liew dalam acara Pre-ASM Cardio Symposium Mount Elizabeth Novena Hospitals Annual Medical Seminar di Confrence Room Level 9 Mount Elizabeth Novena Hospital, Singapura, belum lama ini.
Liew mengutarakan, gejalagejala fibrilasi atrium, di antaranya detak jantung yang terlalu cepat, napas memendek, mudah lelah, atau nyeri dada. Namun, sebagian besar penderita penyakit ini tidak merasakan gejala apa pun. Kejadian fibrilasi atrium meningkat seiring bertambahnya usia. “Rata-rata penderita penyakit mematikan ini berusia di atas 65 tahun,” sebutnya.
Saat ini, ungkap dia, telah ada teknologi baru untuk mendiagnosis sekaligus mengobati fibrilasi atrium dengan teknologi tiga dimensi yang disebut dengan 3D Mapping System. Dengan sistem ini, dokter jantung dapat melihat dengan sangat tepat sumber-sumber kerusakan listrik jantung yang biasanya ada di beberapa titik di organ penting ini. Ibaratnya, teknologi ini mampu memetakan sinyal-sinyal listrik jantung dalam tiga dimensi sehingga sangat meningkatkan peluang kesuksesan prosedur terapi, yaitu ablasi.
Ablasi merupakan tindakan untuk mengatasi aritmia dengan menggunakan kateter yang dimasukkan ke dalam ruang dalam jantung. Kateter dihubungkan dengan mesin khusus yang memberikan energi listrik untuk memutus atau membakar jalur konduksi tambahan ataupun fokus-fokus aritmia yang menyebabkan ketidaknormalan irama jantung.
Liew mengemukakan, teknologi 3D Mapping System sebenarnya sudah dikenal sejak 15 tahun lalu, tetapi saat itu belum banyak penelitian untuk melihat keampuhan atau bukti ilmiahnya.
Rendra hanggara
Organ jantung normalnya berdenyut 60-100 kali per menit dengan irama teratur. Hal ini bisa diketahui dengan menyentuh urat nadi pada pergelangan tangan seseorang. Namun, irama jantung terkadang ada yang tidak mengikuti irama normal, misalnya hanya berdenyut di bawah 60-100 per menit atau malah berdetak lebih cepat, disertai sesak napas, pusing, letih, dan nyeri dada.
Jika hal ini terjadi, perlu diwaspadai karena bisa jadi merupakan indikasi gangguan fibrilasi atrium. Fibrilasi atrium merupakan gangguan irama jantung yang banyak ditemui di klinik-klinik dan rumah sakit di Indonesia. Kondisi ini juga dialami oleh lebih dari 6 juta orang di Eropa, lebih dari 2,3 juta populasi Amerika Serikat, dan lebih dari 800.000 orang di Jepang.
Pada pasien gangguan irama jantung (fibrilasi atrium), denyut jantung yang tidak teratur membuat mereka rentan mengalami penggumpalan darah di dalam atrium yang dapat bergerak menuju otak dan berpotensi menyebabkan serangan stroke. Stroke dapat menyebabkan kerusakan pada otak serta mengakibatkan kecacatan fisik dan gangguan perilaku, atau bahkan kematian.
Ahli jantung dari Mount Elizabeth Novena Hospital, Singapura, Dr Reginald Liew MA MBBS PhD FRCP FESC FACC menjelaskan, fibrilasi atrium adalah bentuk yang paling umum dari aritmia. Artimia adalah gangguan jantung di mana kecepatan irama detak jantung mengalami gangguan, bisa terlalu cepat, terlalu lambat, atau iramanya tidak teratur.
Untuk memahami penyakit ini harus dipahami tentang sistem listrik jantung. Sistem listrik jantung berfungsi mengendalikan irama dan detak jantung. Setiap sekali jantung berdenyut, kata dia, sinyal listrik akan menyebar dari atas ke bawah jantung. Ketika sinyal listrik merambat, jantung akan berkontraksi, dan darah terpompa.
Jika terjadi kerusakan pada sistem listrik jantung ini sehingga irama jantung atau denyut jantung tidak beraturan dapat membawa risiko kesehatan serius, misalnya saja stroke. Hal ini karena darah tidak terpompa sempurna sehingga sebagian masih tertinggal di rongga-rongga jantung dan rawan terjadi penggumpalan darah. Gumpalan darah ini atau disebut blood clot, jika terbawa ke otak, menyebabkan stroke.
Peluang terjadinya stroke lima kali lebih besar daripada bukan penderita fibrilasi atrium. “Gangguan irama jantung ini kadang disertai juga dengan gangguan jantung yang lain, kelemahan otot jantung, bahkan gagal jantung. Oleh karena itu, terapi harus secara menyeluruh,” tutur Liew dalam acara Pre-ASM Cardio Symposium Mount Elizabeth Novena Hospitals Annual Medical Seminar di Confrence Room Level 9 Mount Elizabeth Novena Hospital, Singapura, belum lama ini.
Liew mengutarakan, gejalagejala fibrilasi atrium, di antaranya detak jantung yang terlalu cepat, napas memendek, mudah lelah, atau nyeri dada. Namun, sebagian besar penderita penyakit ini tidak merasakan gejala apa pun. Kejadian fibrilasi atrium meningkat seiring bertambahnya usia. “Rata-rata penderita penyakit mematikan ini berusia di atas 65 tahun,” sebutnya.
Saat ini, ungkap dia, telah ada teknologi baru untuk mendiagnosis sekaligus mengobati fibrilasi atrium dengan teknologi tiga dimensi yang disebut dengan 3D Mapping System. Dengan sistem ini, dokter jantung dapat melihat dengan sangat tepat sumber-sumber kerusakan listrik jantung yang biasanya ada di beberapa titik di organ penting ini. Ibaratnya, teknologi ini mampu memetakan sinyal-sinyal listrik jantung dalam tiga dimensi sehingga sangat meningkatkan peluang kesuksesan prosedur terapi, yaitu ablasi.
Ablasi merupakan tindakan untuk mengatasi aritmia dengan menggunakan kateter yang dimasukkan ke dalam ruang dalam jantung. Kateter dihubungkan dengan mesin khusus yang memberikan energi listrik untuk memutus atau membakar jalur konduksi tambahan ataupun fokus-fokus aritmia yang menyebabkan ketidaknormalan irama jantung.
Liew mengemukakan, teknologi 3D Mapping System sebenarnya sudah dikenal sejak 15 tahun lalu, tetapi saat itu belum banyak penelitian untuk melihat keampuhan atau bukti ilmiahnya.
Rendra hanggara
(bbg)