Kebijaksanaan ala Pendekar

Sabtu, 13 Desember 2014 - 13:38 WIB
Kebijaksanaan ala Pendekar
Kebijaksanaan ala Pendekar
A A A
Pendekar Tongkat Emas adalah film yang ambisius. Pembuatnya tak ingin sekadar membuat film silat yang para tokohnya main gebuk dengan tongkat, juga ingin menyisipkan nilai kebijakan.

Visualnya ada di atas ratarata film Indonesia. Keinginan untuk membuat film ini menjadi bukan sekadar film laga sudah terlihat sejak film dibuka. Sebelum adeganadegan laga dipertontonkan, narasi panjang berisi kalimat-kalimat bijak penuh perenungan dibacakan Cempaka (Christine Hakim). Ini menjadi bahan bagi penonton untuk melihat seperti apakah karakter Cempaka, sekaligus membaca apa yang mungkin terjadi selanjutnya.

Cempaka dulunya adalah pendiri perguruan Tongkat Emas. Namun, seiring usia, mencabut nyawa musuh dan mendapat kekuasaan di dunia persilatan bukan lagi jadi ambisinya. Layaknya para tetua yang bijak, baginya kesempurnaan hidup sebagai pendekar adalah dengan menekan ego bertarung dan membayar dosa-dosanya pada masa lalu. Karena itulah, dia membubarkan perguruan, dan hidup terpencil di gubuk yang reyot layaknya pertapa.

Muridnya pun hanya tersisa empat orang. Mereka yaitu Biru (Reza Rahadian), Gerhana (Tara Basro), Dara (Eva Celia), dan Angin (Aria Kusumah). Keempatnya diajarkan untuk tidak menggunakan ilmu silat yang mereka miliki untuk bertarung atau untuk kerenkerenan. Ilmu silat hanya untuk mempertahankan diri.

Dan, inilah fakta menarik yang dibeberkan sedari awal; keempat muridnya tersebut adalah anak-anak dari orang tua yang dibunuh oleh Cempaka. Merawat dan mengajarkan mereka ilmu silat adalah bagian dari membayar dosa masa lalunya. Tapi ini pula yang langsung akan menggiring penonton untuk menebaknebak, murid-murid ini pasti akan jadi masalah nantinya.

Dan ini pula yang terjadi. Saat Cempaka memilih salah satu muridnya untuk menjadi penggantinya, murid yang lain tak terima. Dan terjadilah pengkhianatan besar. Keputusan untuk membingkai film ini dengan “kebijaksanaan” tampaknya memang menjadi impian sutradara Ifa Isfansyah dan produser Mira Lesmana.

Sebagai penggemar komik silat, keduanya, terutama Ifa, mengenang komik silat bukan sebagai perayaan kekerasan, melainkan petuah tentang yang benar pasti akan menemukan jalan kemenangan. Mungkin karena itu pula, keduanya merasa perlu menekankan hal tersebut kepada penonton sejak awal film dibuka.

Mungkin pula, karena alasan itu pula, adegan-adegan silat di film ini dibuat dalam kategori yang masih tergolong “sopan”. Tak ada adegan laga yang benar-benar membuat bulu bergidik. Variasi gerakan silat pun tak banyak, termasuk alat yang digunakan. Sepanjang film, hanya ada tongkat dan pedang yang digunakan. Juga satu kali penggunaan kain sebagai senjata.

Namun, melihat aktor-aktor lokal beradu laga layaknya bintang-bintang laga Hong Kong, tetap mengasyikkan. Aktor-aktor utama berakting dengan apik, membuat kita sebagai penonton merasa yakin dengan gerakan-gerakan silat yang mereka pertontonkan. Dan di sini pula kita kembali bisa melihat Nicholas Saputra memerankan tokoh dengan karakter yang dingin.

Rangga AADC dalam balutan baju pendekar. Visual juga menjadi kekuatan paling utama dalam film ini. Lanskap Sumba Timur yang menjadi lokasi syuting, detail lekuk bulan dan matahari, awan putih yang terang, semuanya terekam sempurna dan memberi nyawa lebih pada adegan-adegan film ini.

Ditambah ilustrasi musik karya Erwin Gutawa yang kadang sendu, kadang bertalu-talu, membuat kita ikutan gemas saat adegan perkelahian pamungkas terjadi di layar. Singkatnya, menyaksikan film ini menjadi sebuah nostalgia indah bagi pencinta film silat klasik. Dan semoga saja, Miles Films sudi membuat sekuelnya.

Herita endriana
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0791 seconds (0.1#10.140)