Bajigur Mak Uneh, Penghangat Tubuh di Dinginnya Kota Bandung
A
A
A
BANDUNG - Di kios sederhana di pinggir jalan Pusdai itu, sepasang pria dan wanita berusia lanjut sedang menanti pelanggan. Di hadapan mereka, terpapar aneka gorengan mengepulkan asap tipis. Gorengan itu tampaknya baru saja matang dan sedang hangat-hangatnya.
Di tengah dinginnya kota Bandung yang baru saja diguyur hujan, memasuki kios itu bak menemukan secuil kehangatan. Segera, saya memesan segelas bajigur. Satu teguk saya minum. Rasa gula kawungnya yang kuat dan gurihnya kelapa bajigur itu sungguh berbeda. Bagi saya, inilah bajigur terenak yang pernah saya coba.
Kios sederhana tersebut milik pasangan Awidah, 59 dan Enah Saenah, 55, mereka berjualan sejak tahun 1979 di depan kantor MUI dekat dengan mesjid Istiqomah, kemudian pindah ke jalan Supratman, lalu ke jalan Suci dan akhirnya ke jalan Pusdai. "Kami berpindah-pindah tempat karena tergusur pelebaran jalan," tutur Awidah sembari menghisap rokok kreteknya dalam-dalam.
Enah Saenah atau yang biasa dipanggil mak Uneh mengatakan, pada tahun 1979 jalan yang ramai dilalui hanya jalan Supratman, mereka berinisiatif berdagang di depan RRI, waktu itu jalan Suci hanya jalan kampung. Langganan pun semakin lama semakin banyak, ada yang sengaja datang dari Cimahi, Cileunyi, dan berbagai tempat lainnya. "Malah sempat diliput oleh televisi sehingga pada jaman itu penghasilan sangat lumayan," kenang dia.
Seiring pelebaran jalan Supratman, kios mereka pun harus berpindah ke Jalan Suci. Mereka lalu musti memulai lagi dari awal, langganan baru sedikit demi sedikit mulai bertambah. Sayangnya, mereka tak bertahan lama. Pada tahun 2005, mereka kembali tergusur.
Di jalan yang menghubungkan Jalan Sudirman dan Suci tersebut kini kios mereka berdiri. Pasangan ini adalah pemilik kios pertama yang berjualan di kawasan ini, sampai akhirnya sekarang sudah berjejer kios makan menemani mereka.
Pada awal berdagang, mereka menjual gorengan dengan harga Rp25 sedangkan Bajigur dan bandrek seharga Rp100. ketika masa jaya mereka sanggup menjual gorengan sebanyak 125 buah setiap harinya kalau dirata-ratakan, sedangkan sekarang bisa menjual 50 buah pun sudah lumayan.
Rasa yang mereka jaga sejak dulu memang bukan isapan jempol, pernah satu kali Uneh mengurangi gula kawung dan menggantinya dengan gula buatan. Langsung ketahuan oleh suaminya dan ditegur keras. "Hayang payu teu dagangan, mun hanyang payu tong jiga kitu (mau laku tidak dagangan, kalau mau jangan seperti itu)," papar Uneh.
Mereka mulai berjualan dengan memasang tenda pada pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 23.00 WIB. Setelah tutup, mereka kemudian membawa gerobak dagangan ke kontrakan mereka di belakang pasar Suci yang jaraknya kurang lebih 500 meter.
Di antara gorengan khas yang dijajakan tampak juga katimus, panganan khas Pasundan yang sudah jarang ditemukan. Dengan menikmati bajigur dan katimus, waktu menunggu hujan reda sungguh menjadi pengalaman nostalgia yang mengasyikan.
Di tengah dinginnya kota Bandung yang baru saja diguyur hujan, memasuki kios itu bak menemukan secuil kehangatan. Segera, saya memesan segelas bajigur. Satu teguk saya minum. Rasa gula kawungnya yang kuat dan gurihnya kelapa bajigur itu sungguh berbeda. Bagi saya, inilah bajigur terenak yang pernah saya coba.
Kios sederhana tersebut milik pasangan Awidah, 59 dan Enah Saenah, 55, mereka berjualan sejak tahun 1979 di depan kantor MUI dekat dengan mesjid Istiqomah, kemudian pindah ke jalan Supratman, lalu ke jalan Suci dan akhirnya ke jalan Pusdai. "Kami berpindah-pindah tempat karena tergusur pelebaran jalan," tutur Awidah sembari menghisap rokok kreteknya dalam-dalam.
Enah Saenah atau yang biasa dipanggil mak Uneh mengatakan, pada tahun 1979 jalan yang ramai dilalui hanya jalan Supratman, mereka berinisiatif berdagang di depan RRI, waktu itu jalan Suci hanya jalan kampung. Langganan pun semakin lama semakin banyak, ada yang sengaja datang dari Cimahi, Cileunyi, dan berbagai tempat lainnya. "Malah sempat diliput oleh televisi sehingga pada jaman itu penghasilan sangat lumayan," kenang dia.
Seiring pelebaran jalan Supratman, kios mereka pun harus berpindah ke Jalan Suci. Mereka lalu musti memulai lagi dari awal, langganan baru sedikit demi sedikit mulai bertambah. Sayangnya, mereka tak bertahan lama. Pada tahun 2005, mereka kembali tergusur.
Di jalan yang menghubungkan Jalan Sudirman dan Suci tersebut kini kios mereka berdiri. Pasangan ini adalah pemilik kios pertama yang berjualan di kawasan ini, sampai akhirnya sekarang sudah berjejer kios makan menemani mereka.
Pada awal berdagang, mereka menjual gorengan dengan harga Rp25 sedangkan Bajigur dan bandrek seharga Rp100. ketika masa jaya mereka sanggup menjual gorengan sebanyak 125 buah setiap harinya kalau dirata-ratakan, sedangkan sekarang bisa menjual 50 buah pun sudah lumayan.
Rasa yang mereka jaga sejak dulu memang bukan isapan jempol, pernah satu kali Uneh mengurangi gula kawung dan menggantinya dengan gula buatan. Langsung ketahuan oleh suaminya dan ditegur keras. "Hayang payu teu dagangan, mun hanyang payu tong jiga kitu (mau laku tidak dagangan, kalau mau jangan seperti itu)," papar Uneh.
Mereka mulai berjualan dengan memasang tenda pada pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 23.00 WIB. Setelah tutup, mereka kemudian membawa gerobak dagangan ke kontrakan mereka di belakang pasar Suci yang jaraknya kurang lebih 500 meter.
Di antara gorengan khas yang dijajakan tampak juga katimus, panganan khas Pasundan yang sudah jarang ditemukan. Dengan menikmati bajigur dan katimus, waktu menunggu hujan reda sungguh menjadi pengalaman nostalgia yang mengasyikan.
(alv)