Mengatasi Trauma Pascabencana

Jum'at, 02 Januari 2015 - 09:30 WIB
Mengatasi Trauma Pascabencana
Mengatasi Trauma Pascabencana
A A A
DITEMUKANNYA jasad penumpang pesawat AirAsia QZ 8501 yang telah hilang selama tiga hari membawa luka batin tersendiri bagi keluarga korban.

Lantas, apa dampak psikologis yang mungkin timbul dari peristiwa tersebut? Menurut psikolog Melly Puspita Sari Psi M NLPm, peristiwa tenggelamnya pesawat AirAsia dapat menimbulkan secondary trauma pada keluarga korban. Apalagi, setiap orang memiliki penerimaan yang berbeda dalam menghadapi masalah. ”Asosiasi trauma dan stimulus trauma bisa bermacam-macam. Asosiasi trauma maksudnya, bagaimana penerimaan seseorang dalam menghadapi traumanya. Itu bergantung pada individu masingmasing dalam mengasosiasikannya,” katanya.

Untuk mengatasinya, Kepala Seksi Advokasi Bidang Pencegahan BNN Kepulauan Riau ini mengatakan, akan bergantung pada setiap individu. Kembali lagi, hal ini terkait bagaimana mereka menoleransi kejadian tersebut. ”Untuk jangka waktu seseorang mengalami trauma juga bergantung kepada individu masing-masing. Karena untuk masalah psikologis, kita berbicara tentang manusia. Tiap manusia itu unik dan memiliki tingkat toleransi stres masing-masing,” kata Melly.

Untuk menghilangkan trauma, seseorang harus perlu memaknai pengalaman buruknya menjadi pemahaman yang berbeda. Dengan demikian, perasaan trauma itu akan hilang dengan sendirinya. ”Intinya, bagaimana pemaknaan terhadap hidup seseorang, bagaimana pemaknaan terhadap objek-objek yang terjadi dari peristiwa yang dia lihat,” ujarnya.

Melly menjelaskan, trauma bisa diatasi dengan beberapa macam terapi, mulai dari hipnoterapi yang menggunakan konsep hipnotis, terapi-terapi yang menggunakan konsep enaupi, psikoterapi yang merupakan terapi dengan menggunakan konsep psikologis, timeline therapy , atau terapi-terapi seperti forgiveness yang mengajak pasien untuk memaafkan sebagai kunci dari kesembuhan.

Seseorang yang mengalami trauma sebenarnya sadar dengan kondisi tersebut. Apalagi, ada perasaan tidak nyaman yang selalu menyertainya. Namun, menurut dia, sederet terapi tersebut hanya alat yang akan mengubah nasib seseorang kalau yang bersangkutan memang mau berubah.

”Jadi, kesembuhannya tetap berawal dari orang yang bersangkutan. Maukah dia keluar dari lingkaran tersebut untuk masuk ke lingkaran baru dengan harapan baru, atau dia mau di situ terus diam tidak melakukan apa-apa,” tutupnya.

Dwi/ Okezone
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0910 seconds (0.1#10.140)