Pola Konsumsi Anak,Mengkhawatirkan!

Jum'at, 09 Januari 2015 - 10:20 WIB
Pola Konsumsi Anak,Mengkhawatirkan!
Pola Konsumsi Anak,Mengkhawatirkan!
A A A
Selama libur Natal sampai libur tahun baru, saya mendedikasikan waktu saya seutuhnya buat menyenangkan the krucilz.

Sebutan buat ketiga pangeran kecil saya yang lagi pulang liburan ke Indonesia. Selama tiga minggu ini, saya lebih banyak menemani mereka dibandingkan bekerja. Kebetulan semua pekerjaan saya juga sudah selesai, jadi saya bisa santai. Selain punya waktu bercengkeraman dengan anak-anak, saya juga jadi punya waktu yang lumayan panjang buat mengamati perilaku orang-orang di sekitar, termasuk perilaku konsumennya.

Seperti yang saya pernah tulis di buku Miss Jinjing Jakarta, Jakarta memang kurang ruangan terbuka dengan udara segar minim polusi udara dan suara buat hiburan keluarga, baik untuk bersantai maupun berolahraga. Alhasil, ujungujungnya kita harus ke mencari ‘’hiburan’’ ke mal. Tapi hal seperti ini harus diakui memang sudah menjadi budaya keluarga urban di Kota Jakarta.

Budaya ini memang tidak hanya menjadi budaya orang tuanya, orang dewasa, tapi juga anak-anak. Kalau kita mau jujur, sebenarnya, yang terjadi di Jakarta ini sudah sungguh sangat mengkhawatirkan dan memicu budaya konsumerisme yang sangat berlebihan. Kalau sudah begini, yang kasihan itu bukan saja orang tuanya, juga anak-anaknya. Coba deh perhatikan, pemandangan yang sangat biasa melihat anak-anak SD, bahkan TK, berangkat ke sekolah (sekolah internasional, sekolah plus , apa pun istilahnya ) ditemani ‘’nanny’’-nya sambil menenteng iPhone.

BlackBerry sepertinya sudah so last seasondi kalangan mereka. Mereka jalan masuk ke sekolahnya sambil pegang handphone,sementara sang nanny berjalan di belakang mereka sambil membawa tas sekolah dan biolanya. Saya sering meetingdi sebuah kedai kopi yang di belakangnya ada sekolah internasional di daerah Kemang. Coba deh Anda sekali-kali berkunjung pada saat bubaran jam sekolah, kedai kopi yang tidak murah itu, penuh anak sekolah yang lagi jajan.

Tidak hanya minum, juga sekalian makan siang. Saya jadi bertanya-tanya, kira-kira berapa ya uang jajan anakanak itu setiap harinya, setiap bulannya? Terus kalau Anda mengintip tas-tas sekolah mereka, Anda bisa terpesona melihat mereka sekolah pakai tas imut nilon Marc Jacobs, Kate Spade, dan Coach yang harganya tidak imut.

Kadang saya membayangkan, apa jadinya kalau orang tuanya memiliki tiga anak, seperti saya. Berapa yang harus dikeluarkan setiap bulannya untuk memenuhi kebutuhan dasar anak-anak, selain uang sekolah, sandang dan pangan.

Kalau uang sekolahnya saya tahu, puluhan juta setahunnya, dan pastinya bukan anak orang “biasa” yang bisa sekolah di sana. Beberapa bulan lalu, saya sempat menjadi juri lomba menulis anak (7-12 tahun) di sebuah toko buku internasional. Tulisan yang dilombakan adalah tulisan tentang kisah perjalanan anak-anak.

Semua naskah yang masuk via e-mailke saya, dan pesertanya dari beberapa kota besar di Indonesia, membludak dan ratusan tulisan harus saya baca. Saya sempat terkaget-kaget saat membacanya. Cerita liburannya bisa membuat orang dewasa sirik sampai mengais-ngais aspal depan rumah.

Cerita berlibur ke Bali rasanya sudah tidak ada di listmereka. Berlibur ke Korea pun jadi hal yang biasa, saking banyaknya yang menuliskan kisah liburannya ke Korea. Saya sempat tercengang membaca kisah liburan musim dingin yang superseru sampai patah kaki di Alpen, kisah turun salju di Lebanon, kisah ikut mama shoppingke Paris, dan berbagai kisah indah yang tampaknya lebih seru dari dongeng Cinderella.

Saya pernah bertemu satu keluarga Indonesia yang bapaknya mengaku pegawai negeri, berlibur bersama istri dan kelima anak-anaknya di Jepang. Kalau biaya tur satu orang ke Jepang Rp25 juta, berarti kalau bertujuh Rp150 juta, belum termasuk biaya kenalan dong. Ayo kita tebaktebakkan, berapa gaji pegawai negeri pada tahun 2015? Kalau sudah melihat hal-hal seperti ini, rasanya korupsi itu bisa jadi hal yang bisa dimengerti di negeri ini.

Saat saya lagi highlightdi sebuah salon paling hitsse-Indonesia raya, di samping saya duduk anak perempuan sendirian tanpa didampingi siapa-siapa saat itu. Saya yakin banget pasti usianya tidak lebih dari sepuluh tahun. Gaya duduknya sudah mirip madam-madam dalam ukuran mini. Saya sempat terkesima saat melihat dia ternyata lagi di highlight, yang mengerjakan dua orang therapistdan bersamaan satu orang therapistmanicure dan satu orang lagi therapist pedicure.

Kesannya buat yang memandangnya, bukan jadi girlydan imut, ini anak jadi enggak enak banget dilihat. Tarif haircolouringdi salon itu mulai Rp1 juta, manicureRp250.000, dan pedicure Rp300.000, belum termasuk tambahan ini dan itu plus tip. Kebayangdong biaya ‘’kenakalan’’ anak ini setiap bulannya? Saleakhir tahun, sepertinya selalu menggoda.

Coba deh perhatikan kalau lagi jalan-jalan ke mal, sekarang butikbutik high street brandyang hits, banyak loh pembelinya sekelompok anak SMP atau SMA yang histeris datang beramairamai (segeng–saya menyebutnya), dari sekadar PPD (pegang-pegang doang) sampai shopping beneran.

Anehnya, mereka ini loh yang kalau bertemu saya di mal, yang rajin menyapa saya dengan manisnya, Onti MJ! Malah pernah loh, ada yang dengan ‘’angelic face” minta bantuinsaya memilihkan baju untuknya. Katanya dia mau pergi ke pesta ulang tahun sahabatnya. Kadang saya bertanya dalam hati, kenapa penggemar setia saya justru anak-anak kecil ya? Kan buku saya bukan buku bacaan anak kecil.

Kalau sudah begini, kebayangdong rasanya punya anak perempuan zaman sekarang? Ketiga pangeran saya juga unik. Saat hari Natal, mereka menerima hadiah sejumlah uang yang cukup lumayan dari kakeknya, ayah saya. Ternyata cara mereka bertiga dalam memaknai pemberian ‘’Grand Pa’’-nya berbeda-beda loh. Anak yang paling besar, Aless (15 tahun ), yang sudah beberapa hari mouse-nya rusak, langsung mengajak saya menemani membeli mousedi toko buku.

Saya kaget banget waktu dia membeli mouseseharga lebih dari tiga ratus ribu rupiah. Saya mencoba “complain” dengan harga tersebut. Tapi dia mencoba meyakinkan saya bahwa ini salah satu mouseyang paling bagus. Anak saya yang kedua, Carlo (13 tahun), begitu sampai di rumah, langsung menyimpan rapat uangnya di dalam toples kaca bersegel. Si bungsu, Matteo (10 tahun), lain lagi ceritanya.

Dia langsung menyerahkan uangnya ke mamanya dan dengan ‘’angelic face’’-nya berkata, “Kalau mama perlu, pakai saja uangku”, dan mamanya langsung meleleh seketika. Pola pendidikan anak kan baliknya pasti ke kebijakan orang tuanya masingmasing.

Tapi saya percaya, buah apel itu pasti jatuh tidak pernah jauh dari pohonnya, pohon apel pasti buahnya apel. Jadi, kalau anak Anda konsumtif, jangan buru-buru langsung menyalahkannya. Penuh Cinta Selalu!

MISS JINJING
Konsultan Fashion
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0912 seconds (0.1#10.140)