Huawei Ascend Mate 7 Besar, ELegan, &Menjanjikan
A
A
A
Layar berpenampang luas, prosesor mumpuni, form factor elegan dan mewah, ukuran baterai terbesar di kelasnya, namun harganya kompetitif. Sepintas, Huawei Ascend Mate 7 terlihat sangat menjanjikan.
Benarkah? Kenikmatan menggunakan smartphone berlayar lebar memang menghanyutkan. Rasanya seperti ada keinginan untuk terus mendorong diri, sampai seberapa besar layar sebuah smartphone itu bisa diproduksi. Itu, yang dilakukan Huawei lewat Ascend Mate 7 yang memiliki 6 inci. Ya, smartphone ini hanya beda tipis dengan tablet berukuran terkecil (7 inci).
Karena itu disebut phablet, kategori diantara smartphone dan tablet. Memiliki layar ukuran besar saja dianggap tidak cukup oleh engineer Huawei. Mereka ingin Ascend Mate 7 yang jadi produk flagship itu juga memiliki fitur paling unggul atau setidaknya bersaing dengan kompetitor. Bodinya yang besar itu dibungkus logam, seolah ingin mengusung kemewahan serupa dengan HTC One M8.
Hasilnya, Ascend Mate 7 adalah smartphone berlayar 6 inci dengan tampilan paling mewah dikelasnya. Lalu, baterainya menggunakan 4.100 mAh lithium polymer yang lagilagi terbesar di kelasnya. Sebagai catatan, Galaxy Note 4 hanya memakai 3.220 mAh. Hasilnya terbukti, inilah smartphone paling irit yang pernah saya gunakan. Mampu bertahan 1,5 hari dengan pemakaian normal. Mengisi ulang baterainya pun sangat cepat.
Jauh lebih cepat dibandingkan smartphone yang memiliki ukuran baterai lebih kecil. Tapi, mendadak ada hal negatif yang saya rasakan setelah beberapa hari memakainya. Pergelangan serta jempol saya pegal-pegal. Ketika dirunut lagi, ternyata ini terkait dengan ukuran dan berat Ascend Mate 7 yang “nanggung”. Nanggung karena layar 6 inci akan canggung jika dinavigasikan dengan dua tangan layaknya sebuah tablet.
Tapi, dengan satu tangan itu ponsel ini ditambah kover belakang keluaran Nilkin, terasa sangat berat. Stres terasa di pergelangan tangan kiri yang menjadi tumpuan bebas, serta jempol yang kewalahan menjangkau bagian atas ponsel untuk mengakses menu.
Serba salah! Melihat fakta ini saya menyimpulkan dua hal. Pertama, ukuran 5,5 inci adalah batas ternyaman dalam menikmati sebuah smartphone berlayar besar. Lebih dari itu pasti ada “harga yang harus dibayar”.
Kesimpulan kedua, Anda tidak bisa memiliki semuanya. Baterai besar, bodi logam, serta ukuran layar yang besar berkontribusi pada berat yang secara keseluruhan akan sangat mengganggu. Saya rasa LG G3 adalah juara dalam membuat ponsel yang ringan dan bezel tipis. Memang, terlepas dari beratnya ini, saya nyaris tidak memiliki komplain terhadap Ascend Mate7. Fitur-fiturnya bisa dibilang sangat baik. Chipset Kirin 925 SoC sangat efektif.
Performanya cepat, tapi juga hemat daya karena prosesor hanya akan bekerja sesuai kebutuhan. Sistem juga akan medeteksi otomatis aplikasi mana yang aktif dan menguras energi. Tapi yang paling saya suka adalah sensor sidik jari one-touch di belakang smartphone yang dapat mengaktifkan layar dari kondisi mati dengan sangat akurat.
Fitur ini terus menerus saya gunakan karena lebih cepat dibanding mengetik password. Canggih! EMUI 3.0 juga elegan dan memiliki antarmuka yang cantik dan tidak membosankan. Pengoperasiannya sederhana. Jika bosan, ada puluhan themes yang bisa diunduh secara cuma-cuma dengan tidak mengurangi karakter EMUI 3.0. Ini jadi nilai plus. Untuk kamera termasuk baik, walaupun bukan yang terbaik.
Terutama di saat gelap, dimana masih mudah mendapatkan grainy. Saya juga suka sekali dengan suaranya yang keras, jernih, tapi tidak pecah. Begitupun etika dikoneksikan dengan earphone. Tidak disangka teknologi Huawei di bidang sound ini sangat canggih. Harga Mate7, jika dibandingkan dengan kompetitornya yang mencapai Rp8,5 jutaan, cukup kompetitif. Yakni hanya Rp6,5 juta.
Itupun mereka masih harus meyakinkan pasar bahwa Ascend Mate7 memang menjadi produk premium. Bahwa Huawei tidak hanya menjual modem dan ponsel low end. Melainkan memiliki produk dengan teknologi canggih dan unggul seperti Ascend Mate7 ini.
Danang arradian
Benarkah? Kenikmatan menggunakan smartphone berlayar lebar memang menghanyutkan. Rasanya seperti ada keinginan untuk terus mendorong diri, sampai seberapa besar layar sebuah smartphone itu bisa diproduksi. Itu, yang dilakukan Huawei lewat Ascend Mate 7 yang memiliki 6 inci. Ya, smartphone ini hanya beda tipis dengan tablet berukuran terkecil (7 inci).
Karena itu disebut phablet, kategori diantara smartphone dan tablet. Memiliki layar ukuran besar saja dianggap tidak cukup oleh engineer Huawei. Mereka ingin Ascend Mate 7 yang jadi produk flagship itu juga memiliki fitur paling unggul atau setidaknya bersaing dengan kompetitor. Bodinya yang besar itu dibungkus logam, seolah ingin mengusung kemewahan serupa dengan HTC One M8.
Hasilnya, Ascend Mate 7 adalah smartphone berlayar 6 inci dengan tampilan paling mewah dikelasnya. Lalu, baterainya menggunakan 4.100 mAh lithium polymer yang lagilagi terbesar di kelasnya. Sebagai catatan, Galaxy Note 4 hanya memakai 3.220 mAh. Hasilnya terbukti, inilah smartphone paling irit yang pernah saya gunakan. Mampu bertahan 1,5 hari dengan pemakaian normal. Mengisi ulang baterainya pun sangat cepat.
Jauh lebih cepat dibandingkan smartphone yang memiliki ukuran baterai lebih kecil. Tapi, mendadak ada hal negatif yang saya rasakan setelah beberapa hari memakainya. Pergelangan serta jempol saya pegal-pegal. Ketika dirunut lagi, ternyata ini terkait dengan ukuran dan berat Ascend Mate 7 yang “nanggung”. Nanggung karena layar 6 inci akan canggung jika dinavigasikan dengan dua tangan layaknya sebuah tablet.
Tapi, dengan satu tangan itu ponsel ini ditambah kover belakang keluaran Nilkin, terasa sangat berat. Stres terasa di pergelangan tangan kiri yang menjadi tumpuan bebas, serta jempol yang kewalahan menjangkau bagian atas ponsel untuk mengakses menu.
Serba salah! Melihat fakta ini saya menyimpulkan dua hal. Pertama, ukuran 5,5 inci adalah batas ternyaman dalam menikmati sebuah smartphone berlayar besar. Lebih dari itu pasti ada “harga yang harus dibayar”.
Kesimpulan kedua, Anda tidak bisa memiliki semuanya. Baterai besar, bodi logam, serta ukuran layar yang besar berkontribusi pada berat yang secara keseluruhan akan sangat mengganggu. Saya rasa LG G3 adalah juara dalam membuat ponsel yang ringan dan bezel tipis. Memang, terlepas dari beratnya ini, saya nyaris tidak memiliki komplain terhadap Ascend Mate7. Fitur-fiturnya bisa dibilang sangat baik. Chipset Kirin 925 SoC sangat efektif.
Performanya cepat, tapi juga hemat daya karena prosesor hanya akan bekerja sesuai kebutuhan. Sistem juga akan medeteksi otomatis aplikasi mana yang aktif dan menguras energi. Tapi yang paling saya suka adalah sensor sidik jari one-touch di belakang smartphone yang dapat mengaktifkan layar dari kondisi mati dengan sangat akurat.
Fitur ini terus menerus saya gunakan karena lebih cepat dibanding mengetik password. Canggih! EMUI 3.0 juga elegan dan memiliki antarmuka yang cantik dan tidak membosankan. Pengoperasiannya sederhana. Jika bosan, ada puluhan themes yang bisa diunduh secara cuma-cuma dengan tidak mengurangi karakter EMUI 3.0. Ini jadi nilai plus. Untuk kamera termasuk baik, walaupun bukan yang terbaik.
Terutama di saat gelap, dimana masih mudah mendapatkan grainy. Saya juga suka sekali dengan suaranya yang keras, jernih, tapi tidak pecah. Begitupun etika dikoneksikan dengan earphone. Tidak disangka teknologi Huawei di bidang sound ini sangat canggih. Harga Mate7, jika dibandingkan dengan kompetitornya yang mencapai Rp8,5 jutaan, cukup kompetitif. Yakni hanya Rp6,5 juta.
Itupun mereka masih harus meyakinkan pasar bahwa Ascend Mate7 memang menjadi produk premium. Bahwa Huawei tidak hanya menjual modem dan ponsel low end. Melainkan memiliki produk dengan teknologi canggih dan unggul seperti Ascend Mate7 ini.
Danang arradian
(ars)