Awas Kredit Macet KPR
A
A
A
Kenaikan BI Rate ke level 7,75% akan berimbas pada kenaikan suku bunga perbankan termasuk KPR. Diperkirakan, suku bunga KPR akan naik menjadi 13,5% - 14%.
Dengan kenaikan suku bunga ini dipastikan pula daya beli akan tergerus dengan cicilan KPR yang semakin meningkat. Sebagai ilustrasi bila sebelum kenaikan suku bunga konsumen mencicil kira-kira Rp1 juta - Rp1,3 juta per bulan untuk rumah Rp100 juta- Rp150 jutaan, ketika suku bunga naik maka cicilan akan meningkat menjadi Rp1,6 juta - Rp1,8 juta per bulan atau naik rata-rata 30%.
Ini sangat memberatkan konsumen menengah bawah. Penetapan suku bunga floating akan mulai dirasakan pada awal 2015. Kondisi ini terjadi karena umumnya pada dua tahun terakhir pihak perbankan mengenakan tingkat suku bunga yang relatif rendah dengan gimmick fixed selama dua tahun dengan kisaran suku bunga waktu itu 6,5% - 8%. Nah , tahun depan para nasabah ini sudah tidak dapat menikmati fasilitas bunga fixed tersebut bersamaan dengan kenaikan suku bunga KPR yang ada.
Saat ini kalangan perbankan mulai khawatir dengan mulai banyaknya nasabah KPR yang mulai menunggak. Meskipun tingkat kredit macet (non performing loan ) relatif masih aman di bawah 3%, namun kecenderungan meningkatnya kredit macet mulai terasa. Ternyata potensi macet tidak hanya berasal dari konsumen segmen menengah bawah.
Segmen menengah atas pun mulai dibayangi tunggakan karena mereka banyak yang mempunyai KPR lebih dari 1 bahkan sampai 5 atau 7 akun KPR. Yang membuat dampaknya akan semakin besar ketika rumah-rumah yang mereka beli dengan KPR saat ini kesulitan untuk dijual kembali karena kemungkinan harga ketika dibeli telah terlalu tinggi. Pada saat yang bersamaan pasar perumahan sedang melambat.
Karena itu, pihak perbankan harus lebih berhati-hati dalam mengelola aset kredit KPR-nya dengan pengelolaan risk management yang baik. Suka atau tidak, potensi kredit macet KPR akan mewarnai sistem perbankan nasional.
Kebijakan loan to value (LTV) dari Bank Indonesia yang telah berlaku sejak 2012 diperkirakan telah berhasil menekan motif spekulasi yang ada dalam pembelian properti. Meskipun Indonesia Property Watch menilai aturan ini terlambat diberlakukan, secara umum tetap berdampak dalam menekan harga properti untuk tidak naik terlalu tinggi lagi. Alasan terlambat karena sebenarnya pertumbuhan harga tertinggi telah terjadi di tahun 2009 - 2011 seperti yang telah diperkirakan sebelumnya.
Dengan aturan ini, motif spekulasi yang terjadi di pasar properti relatif menurun dan harga yang telah jenuh pun menjadi alasan pertumbuhan harga tidak naik terlalu tinggi lagi. Berdasarkan survei yang dilakukan motif spekulasi dalam pembelian properti menurun dari 45% pada 2009-2012 menjadi 30% saja pada 2013-2014.
Motif ini memang relatif masih besar, namun dengan berjalannya waktunya akan mempunyai titik jenuh menyusul harga terlalu tinggi. Jadi bila masih ada pembeli yang membeli dengan harga yang sudah terlalu tinggi, mereka akan kesulitan untuk menjualnya dalam bentuk spekulasi. Akhirnya mereka akan menahan properti tersebut dalam waktu kira-kira lima tahun lagi untuk dapat dijual dengan gain yang cukup bagus.
Secara tidak langsung mereka termasuk dalam motif investasi. Harga properti yang relatif masih tinggi di beberapa lokasi diperkirakan karena konsumen masih belum paham mengenai harga properti yang sudah terlalu tinggi, belum lagi para pengembang membuat strategi cicilan bertahap bahkan sampai 120 kali. Namun, yang penting diperhatikan Bank Indonesia adalah pembelian properti melalui kredit untuk menghindari besarnya kredit macet.
Sedangkan di luar kredit, biarkanlah mekanisme pasar yang akan mengaturnya. Dampak aturan LTV yang ada ternyata tidak hanya berimbas pada motif spekulasi karena untuk motif investasi atau bahkan end user pun merasakan dampaknya. Bayangkan saat ini rumah dengan harga Rp1 miliar sudah dikategorikan sebagai segmen menengah dan banyak end user yang mencari rumah dengan harga Rp500 juta - Rp1 miliar terkait kenaikan segmen menengah perkotaan.
Selain itu, sebenarnya tidak ada yang salah ketika orang tua mau berinvestasi untuk kemudian diberikan ke anak-anaknya. Yang kurang benar adalah bila saat ini properti dijadikan ajang spekulasi. Karena itu, pasar ini yang seharusnya perlu ditingkatkan dan bukan sematamata menekan spekulasi.
Karena perlu ada kelonggaran untuk aturan LTV, melihat kondisi yang ada, lebih baik bila aturan LTV dibatasi untuk harga properti segmen menengah atas minimal Rp2 miliar ke atas. Di segmen ini rentan aksi spekulasi. Sedangkan untuk harga properti di bawah ini relatif komposisi end user dan investor jangka panjang lebih banyak dari motif spekulasi.
Yang perlu diperhatikan Bank Indonesia adalah ketika properti segmen menengah bawah sangat terpukul akibat menurunnya daya beli sehingga uang muka akan sangat memberatkan.
Indonesia Property Watch mengusulkan uang muka untuk rumah murah dapat 0% mengingat perbankan tidak akan dirugikan dengan aset tanah yang tidak bisa dipindahkan dan harga yang akan terus naik sehingga sebagai agunan akan sangat terjamin meskipun tanpa uang muka.
Ali Tranghanda
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch
Dengan kenaikan suku bunga ini dipastikan pula daya beli akan tergerus dengan cicilan KPR yang semakin meningkat. Sebagai ilustrasi bila sebelum kenaikan suku bunga konsumen mencicil kira-kira Rp1 juta - Rp1,3 juta per bulan untuk rumah Rp100 juta- Rp150 jutaan, ketika suku bunga naik maka cicilan akan meningkat menjadi Rp1,6 juta - Rp1,8 juta per bulan atau naik rata-rata 30%.
Ini sangat memberatkan konsumen menengah bawah. Penetapan suku bunga floating akan mulai dirasakan pada awal 2015. Kondisi ini terjadi karena umumnya pada dua tahun terakhir pihak perbankan mengenakan tingkat suku bunga yang relatif rendah dengan gimmick fixed selama dua tahun dengan kisaran suku bunga waktu itu 6,5% - 8%. Nah , tahun depan para nasabah ini sudah tidak dapat menikmati fasilitas bunga fixed tersebut bersamaan dengan kenaikan suku bunga KPR yang ada.
Saat ini kalangan perbankan mulai khawatir dengan mulai banyaknya nasabah KPR yang mulai menunggak. Meskipun tingkat kredit macet (non performing loan ) relatif masih aman di bawah 3%, namun kecenderungan meningkatnya kredit macet mulai terasa. Ternyata potensi macet tidak hanya berasal dari konsumen segmen menengah bawah.
Segmen menengah atas pun mulai dibayangi tunggakan karena mereka banyak yang mempunyai KPR lebih dari 1 bahkan sampai 5 atau 7 akun KPR. Yang membuat dampaknya akan semakin besar ketika rumah-rumah yang mereka beli dengan KPR saat ini kesulitan untuk dijual kembali karena kemungkinan harga ketika dibeli telah terlalu tinggi. Pada saat yang bersamaan pasar perumahan sedang melambat.
Karena itu, pihak perbankan harus lebih berhati-hati dalam mengelola aset kredit KPR-nya dengan pengelolaan risk management yang baik. Suka atau tidak, potensi kredit macet KPR akan mewarnai sistem perbankan nasional.
Kebijakan loan to value (LTV) dari Bank Indonesia yang telah berlaku sejak 2012 diperkirakan telah berhasil menekan motif spekulasi yang ada dalam pembelian properti. Meskipun Indonesia Property Watch menilai aturan ini terlambat diberlakukan, secara umum tetap berdampak dalam menekan harga properti untuk tidak naik terlalu tinggi lagi. Alasan terlambat karena sebenarnya pertumbuhan harga tertinggi telah terjadi di tahun 2009 - 2011 seperti yang telah diperkirakan sebelumnya.
Dengan aturan ini, motif spekulasi yang terjadi di pasar properti relatif menurun dan harga yang telah jenuh pun menjadi alasan pertumbuhan harga tidak naik terlalu tinggi lagi. Berdasarkan survei yang dilakukan motif spekulasi dalam pembelian properti menurun dari 45% pada 2009-2012 menjadi 30% saja pada 2013-2014.
Motif ini memang relatif masih besar, namun dengan berjalannya waktunya akan mempunyai titik jenuh menyusul harga terlalu tinggi. Jadi bila masih ada pembeli yang membeli dengan harga yang sudah terlalu tinggi, mereka akan kesulitan untuk menjualnya dalam bentuk spekulasi. Akhirnya mereka akan menahan properti tersebut dalam waktu kira-kira lima tahun lagi untuk dapat dijual dengan gain yang cukup bagus.
Secara tidak langsung mereka termasuk dalam motif investasi. Harga properti yang relatif masih tinggi di beberapa lokasi diperkirakan karena konsumen masih belum paham mengenai harga properti yang sudah terlalu tinggi, belum lagi para pengembang membuat strategi cicilan bertahap bahkan sampai 120 kali. Namun, yang penting diperhatikan Bank Indonesia adalah pembelian properti melalui kredit untuk menghindari besarnya kredit macet.
Sedangkan di luar kredit, biarkanlah mekanisme pasar yang akan mengaturnya. Dampak aturan LTV yang ada ternyata tidak hanya berimbas pada motif spekulasi karena untuk motif investasi atau bahkan end user pun merasakan dampaknya. Bayangkan saat ini rumah dengan harga Rp1 miliar sudah dikategorikan sebagai segmen menengah dan banyak end user yang mencari rumah dengan harga Rp500 juta - Rp1 miliar terkait kenaikan segmen menengah perkotaan.
Selain itu, sebenarnya tidak ada yang salah ketika orang tua mau berinvestasi untuk kemudian diberikan ke anak-anaknya. Yang kurang benar adalah bila saat ini properti dijadikan ajang spekulasi. Karena itu, pasar ini yang seharusnya perlu ditingkatkan dan bukan sematamata menekan spekulasi.
Karena perlu ada kelonggaran untuk aturan LTV, melihat kondisi yang ada, lebih baik bila aturan LTV dibatasi untuk harga properti segmen menengah atas minimal Rp2 miliar ke atas. Di segmen ini rentan aksi spekulasi. Sedangkan untuk harga properti di bawah ini relatif komposisi end user dan investor jangka panjang lebih banyak dari motif spekulasi.
Yang perlu diperhatikan Bank Indonesia adalah ketika properti segmen menengah bawah sangat terpukul akibat menurunnya daya beli sehingga uang muka akan sangat memberatkan.
Indonesia Property Watch mengusulkan uang muka untuk rumah murah dapat 0% mengingat perbankan tidak akan dirugikan dengan aset tanah yang tidak bisa dipindahkan dan harga yang akan terus naik sehingga sebagai agunan akan sangat terjamin meskipun tanpa uang muka.
Ali Tranghanda
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch
(bhr)