Bayi Tabung Sukses dengan PGS
A
A
A
PEMILIHAN embrio sangat menentukan keberhasilan program bayi tabung. Namun dengan teknologi Pre Implantation Genetic Screening (PGS), persoalan itu bisa diatasi.
Di Indonesia, masalah infertilitas memengaruhi 1 dari 10 pasangan yang berupaya mempunyai keturunan. Saat ini diperkirakan ada 3 juta pasangan di Indonesia yang mengalami kesulitan mempunyai anak. Bayi tabung atau in vitro fertilization(IVF) biasanya dipilih sebagai solusinya.
Saat ini angka keberhasilan program bayi tabung memang mencapai angka yang cukup baik yang berkisar 40%. Berbagai teknologi baru terus dibuat untuk menunjang perbaikan sistem kultur embrio. Namun, dengan sistem yang terbaik sekalipun diketahui bahwa angka keberhasilan program masih terbatas. Masih ada risiko kegagalan yang disebabkan adanya permasalahan dengan kelainan kromosom pada embrio.
Seperti diketahui bahwa sekitar 80% dari telur yang diproduksi manusia bersifat aneuploid yang berarti mempunyai kelainan pada kromosomnya yang berakhir pada embrio yang tidak normal yang berdampak pada kegagalan kehamilan atau terjadinya keguguran. “Jadi, tidak heran jika pasangan suami-istri pada bulan pertamanya tidak langsung hamil semua,” kata Direktur Pengembangan Produk dan Teknologi PT BundaMedik Healthcare System, Dr Ivan R Sini SpOG saat menjelaskan mengenai teknologi PGS di RS Bunda, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Cara yang berlaku umum di laboratorium embriologi dalam menentukan embrio yang “normal” adalah dengan menganalisis bentuk/morfologi embrio. Dengan cara ini pun embrio yang dikatakan goodatau excellenthanya mempunyai kemungkinan implantasi sekitar 30%–40%. Selain itu, jika terjadi kehamilan, masih ada kemungkinan terjadinya keguguran, kematian bayi, atau kelahiran bayi dengan kelainan kromosom.
Lalu ditemukanlah cara biopsi sel untuk mengetahui dengan pasti apakah embrio yang akan ditanamkan mempunyai kelainan kromosom atau tidak. Teknologi untuk melakukan pemeriksaan analisa kromosom (karyotype) ini sudah dicoba para ahli sejak 30 tahun yang lalu. Namun, hanya bisa mendeteksi 3 kromosom yaitu 13, 18, dan 21. Itu pun dibutuhkan waktu yang cukup lama. Padahal, manusia mempunyai 23 pasang kromosom dan 1 kromosom seks.
Nah permasalahan itu akhirnya bisa diatasi dengan adanya teknologi array- Comparative Genomic Hybridization (aCGH). Teknologi ini bisa mendeteksi 24 kromosom itu pada manusia. Teknik ini juga memungkinkan laboratorium untuk mendapatkan jawaban analisis kromosom dari satu sampel sel. Proses analisis pun bisa dilakukan dengan cepat, dalam hitungan jam sampai maksimal 24 jam.
Proses ini dikenal sebagai Pre Implantation Genetic Screening(PGS). Menurut Dr Ivan, keunggulan dari teknik PGS ini bisa menganalisis langsung pada embrionya. Dengan adanya teknologi ini memungkinkan untuk menganalisis dari 1 sel pun bisa diketahui bahwa kromosom dari embrio itu normal atau tidak sebelum ditanamkan. Jadi, bisa lebih selektif terhadap embrio.
Tujuan dari dilakukannya PGS ini adalah untuk meningkatkan angka implantasi (penempelan embrio pada rahim) sehingga dapat menurunkan angka keguguran serta meningkatkan angka kelahiran bayi hidup. Pada studi RCT (Randomized Control Trial) yang membandingkan embrio yang baik secara morfologi (bentuk) dibandingkan dengan embrio yang baik setelah dilakukan pemeriksaan PGS, maka terjadi peningkatan angka implantasi dan kehamilan dari 42% menjadi 69%–70%.
“Perkembangan PGS ini sebenarnya sudah cukup lama, dulu sangat limited dan harganya mahal. Sekarang dengan PGS itu bisa membantu kita menganalisis satu sel dan sangat memudahkan sekali. Harapannya, akan membantu untuk menentukan mana embrio yang baik sebelum kita tanamkan,” lanjut Dr Ivan.
Dr Ivan berharap dengan adanya teknologi ini tentunya akan semakin membantu para dokter kandungan untuk mengetahui dan menentukan apakah ada kelainan kromosom pada embrio pasien yang akan ditanamkan.
Cara ini diharapkan bisa meningkatkan presentasi keberhasilan kehamilan serta memperkecil risiko terlahirnya bayi-bayi yang memiliki kelainan kromosom. Hasilnya, proses bayi tabung bisa melahirkan bayi-bayi yang sehat.
Iman firmansyah
Di Indonesia, masalah infertilitas memengaruhi 1 dari 10 pasangan yang berupaya mempunyai keturunan. Saat ini diperkirakan ada 3 juta pasangan di Indonesia yang mengalami kesulitan mempunyai anak. Bayi tabung atau in vitro fertilization(IVF) biasanya dipilih sebagai solusinya.
Saat ini angka keberhasilan program bayi tabung memang mencapai angka yang cukup baik yang berkisar 40%. Berbagai teknologi baru terus dibuat untuk menunjang perbaikan sistem kultur embrio. Namun, dengan sistem yang terbaik sekalipun diketahui bahwa angka keberhasilan program masih terbatas. Masih ada risiko kegagalan yang disebabkan adanya permasalahan dengan kelainan kromosom pada embrio.
Seperti diketahui bahwa sekitar 80% dari telur yang diproduksi manusia bersifat aneuploid yang berarti mempunyai kelainan pada kromosomnya yang berakhir pada embrio yang tidak normal yang berdampak pada kegagalan kehamilan atau terjadinya keguguran. “Jadi, tidak heran jika pasangan suami-istri pada bulan pertamanya tidak langsung hamil semua,” kata Direktur Pengembangan Produk dan Teknologi PT BundaMedik Healthcare System, Dr Ivan R Sini SpOG saat menjelaskan mengenai teknologi PGS di RS Bunda, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Cara yang berlaku umum di laboratorium embriologi dalam menentukan embrio yang “normal” adalah dengan menganalisis bentuk/morfologi embrio. Dengan cara ini pun embrio yang dikatakan goodatau excellenthanya mempunyai kemungkinan implantasi sekitar 30%–40%. Selain itu, jika terjadi kehamilan, masih ada kemungkinan terjadinya keguguran, kematian bayi, atau kelahiran bayi dengan kelainan kromosom.
Lalu ditemukanlah cara biopsi sel untuk mengetahui dengan pasti apakah embrio yang akan ditanamkan mempunyai kelainan kromosom atau tidak. Teknologi untuk melakukan pemeriksaan analisa kromosom (karyotype) ini sudah dicoba para ahli sejak 30 tahun yang lalu. Namun, hanya bisa mendeteksi 3 kromosom yaitu 13, 18, dan 21. Itu pun dibutuhkan waktu yang cukup lama. Padahal, manusia mempunyai 23 pasang kromosom dan 1 kromosom seks.
Nah permasalahan itu akhirnya bisa diatasi dengan adanya teknologi array- Comparative Genomic Hybridization (aCGH). Teknologi ini bisa mendeteksi 24 kromosom itu pada manusia. Teknik ini juga memungkinkan laboratorium untuk mendapatkan jawaban analisis kromosom dari satu sampel sel. Proses analisis pun bisa dilakukan dengan cepat, dalam hitungan jam sampai maksimal 24 jam.
Proses ini dikenal sebagai Pre Implantation Genetic Screening(PGS). Menurut Dr Ivan, keunggulan dari teknik PGS ini bisa menganalisis langsung pada embrionya. Dengan adanya teknologi ini memungkinkan untuk menganalisis dari 1 sel pun bisa diketahui bahwa kromosom dari embrio itu normal atau tidak sebelum ditanamkan. Jadi, bisa lebih selektif terhadap embrio.
Tujuan dari dilakukannya PGS ini adalah untuk meningkatkan angka implantasi (penempelan embrio pada rahim) sehingga dapat menurunkan angka keguguran serta meningkatkan angka kelahiran bayi hidup. Pada studi RCT (Randomized Control Trial) yang membandingkan embrio yang baik secara morfologi (bentuk) dibandingkan dengan embrio yang baik setelah dilakukan pemeriksaan PGS, maka terjadi peningkatan angka implantasi dan kehamilan dari 42% menjadi 69%–70%.
“Perkembangan PGS ini sebenarnya sudah cukup lama, dulu sangat limited dan harganya mahal. Sekarang dengan PGS itu bisa membantu kita menganalisis satu sel dan sangat memudahkan sekali. Harapannya, akan membantu untuk menentukan mana embrio yang baik sebelum kita tanamkan,” lanjut Dr Ivan.
Dr Ivan berharap dengan adanya teknologi ini tentunya akan semakin membantu para dokter kandungan untuk mengetahui dan menentukan apakah ada kelainan kromosom pada embrio pasien yang akan ditanamkan.
Cara ini diharapkan bisa meningkatkan presentasi keberhasilan kehamilan serta memperkecil risiko terlahirnya bayi-bayi yang memiliki kelainan kromosom. Hasilnya, proses bayi tabung bisa melahirkan bayi-bayi yang sehat.
Iman firmansyah
(ars)