Empati pada Jenius Yang Kesepian

Sabtu, 24 Januari 2015 - 14:55 WIB
Empati pada Jenius Yang...
Empati pada Jenius Yang Kesepian
A A A
The Imitation Game diadaptasi dari kisah Alan Turing, profesor yang berhasil memecahkan kode rahasia Nazi dan membuat sekutu memenangkan Perang Dunia II. Ceritanya mendebarkan, juga dramatis.

Alan Turing (Benedict Cumberbatch) adalah reinkarnasi Sherlock Holmes pada abad ke-20. Layaknya Sherlock, dia eksentrik, suka tantangan, benci basa-basi, dan punya ciriciri layaknya pengidap sindrom asperger. Namun, Turing bukanlah detektif. Dia adalah profesor matematika, logician, cryptanalyst, pemecah kode Enigma milik Nazi, dan pembuat Turing Machine, mesin yang menjadi cikal-bakal komputer.

Di balik jasa besarnya, hidup Turing justru berakhir tragis. Dia dihukum oleh pemerintah Inggris karena orientasi seksualnya yang dianggap menyimpang. Karakter unik dan kehidupan dramatis Turing lah yang membuat The Imitation Game terasa istimewa. Dibanding membuat film rumit tentang Turing dan sekelompok orang jenius yang sibuk memecahkan kode rahasia, sutradara asal Norwegia Morten Tyldum memilih untuk mengeksplorasi karakter dan kehidupan Turing selama dan setelah dia membantu sekutu saat Perang Dunia II.

Hasilnya, sebuah film dengan sensasi, seperti menonton kisah Mark Zuckerberg dalam The Social Network. Ada ketegangan yang dibangun, ada pula rasa haru yang mengaduk emosi. Bedanya, jika The Social Network sempat memberi gambaran yang antipati terhadap Zuckerberg, The Imitation Game justru menjauhkan Turing dari gambarangambaran buruk.

Film ini berempati penuh pada sosok yang pada akhir hayatnya mengalami hidup yang menyedihkan ini. Dalam pembuka film, Turing seolah-olah bernarasi, mengajak penonton untuk menyimak kisah hidupnya. Bagaimana saat di sekolah dulu dia tak punya teman dan sering di-bully, bagaimana saat bekerja secara rahasia di Bletchley Park, untuk memecahkan kode Enigma milik Nazi, dia juga tak disukai teman-temannya, termasuk Komandan Denniston (Charles Dance) yang menjadi atasannya. Juga bagaimana dia berpacu dengan waktu untuk segera memecahkan kode Enigma agar dirinya tidak dipecat.

Termasuk juga saat akhirnya polisi mengetahui kalau Turing adalah seorang homoseksual, sesuatu yang pada masa itu dianggap sebagai sebuah perbuatan kriminal dan ilegal di Inggris. Morten menceritakan kisah ini tidak dengan gaya yang linear. Dia mengisahkannya secara bolak-balik, maju mundur ke masa lalu dan masa kini, serta mengemasnya sedemikian rupa untuk membangun nuansa thrilling dan dramatis.

Nuansa mendebarkan akan penonton dapatkan saat Turing bekerja keras memecahkan kode Enigma, termasuk juga saat mendapat tentangan dari bos dan anak buahnya. Nuansa dramatis akan didapatkan saat film berkisah tentang masa remaja dan masa tua Turing yang sunyi sepi. Namun di antara dua emosi itu, Morten dan Moore tetap bisa menyelipkan sedikit humor melalui karakter unik Turing.

Pada akhirnya, The Imitation Game memberikan kita gambaran bagaimana seorang jenius bekerja. Juga bagaimana sang jenius harus termakan kutukan karena dianggap “sampah”. Persis seperti sebuah ungkapan bijak, “orang jenius pada masanya akan dianggap gila”. Menyaksikan The Imitation Game akan memberikan kita segurat rasa malu dan pilu, betapa kita sebagai masyarakat bisa berlaku tanpa empati, seperti monster.

Herita endriana
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7490 seconds (0.1#10.140)