Mesin Waktu di Tangan Anak SMA
A
A
A
Jika Anda berhasil membuat mesin waktu pada masa SMA dan bisa mundur sedikit ke masa lampau, apa yang ingin Anda lakukan? Memperbaiki nilai ulangan yang jeblok? Menjadi kaya dengan ikut undian lotre? Mengerjai si tukang bully?
Datang ke konser musik paling keren? Atau mungkin menciptakan momen romantis untuk bisa “menembak” calon pacar? Semua hal ini dilakukan oleh remaja pintar, tapi pemalu David Raskin (Jonny Weston). Bersama dua sahabatnya, Adam (Allen Evangelista) dan Quinn (Sam Lerner) serta adiknya, Christina (Virginia Gardner). Mereka merakit sebuah mesin waktu berdasarkan cetak biru yang ditinggalkan almarhum ayah David.
Setelah uji coba berkali-kali, keempatnya berhasil pergi ke masa lalu, lebih tepatnya kembali ke hari kemarin. Supaya lebih seru, di detik-detik terakhir, ikut juga bersama mereka gadis paling cantik di sekolah sekaligus yang ditaksir David, Jessie (Sofia Black D’Elia). Adapun yang terjadi selanjutnya, yaitu kegiatan-kegiatan menyenangkan sekaligus gila yang biasanya dilakukan para remaja yang hormonnya dipenuhi gejolak itu.
Meski begitu, agar semuanya tetap berjalan di jalurnya, David membuat peraturan. Pertama, pergi ke masa lalu dengan mesin waktu hanya boleh dilakukan bersama-sama. Kedua, lompatan tidak boleh terlalu jauh, maksimal hanya 3 minggu ke belakang. Namun, peraturan dibuat memang untuk dilanggar. David pula yang melanggarnya. Semuanya cuma karena urusan asmara.
Urusan sepele yang akhirnya memengaruhi takdir banyak orang. Menonton Project Almanac sedikit banyak mengingatkan pada film Chronicle (2012). Sama-sama film remaja, bergaya found footage , tokohnya punya “kekuatan super”, dan karakter protagonisnya berkembang menjadi tidak simpatik. Namun, film besutan Dean Israelite ini tak sehebat pendahulunya itu. Pada paruh pertama film berdurasi 106 menit ini, Project Almanac memang film yang sangat menghibur.
Humor dan ceritanya sama-sama mengalir lancar. Namun pada paruh kedua, saat konflik makin meningkat dan keseruan yang sesungguhnya akan segera dimulai, skenario buatan Jason Harry Pagan dan Andrew Deutschman tampak seperti ingin buru-buru menyelesaikan konflik. Hasilnya, sebelum adrenalin meningkat, film tiba-tiba saja selesai. Kesan buru-buru ini begitu terasa, karena pada paruh pertama, beberapa adegan tampak dipanjang-panjangkan.
Misalnya saat adegan percobaan di basement rumah David. Juga pada momen “bersenang-senang” dan mengambil manfaat dari adanya mesin waktu ini. Singkatnya, Project Almanac lebih banyak membuat tertawa dibanding membuat tegang dengan adegan-adegan mendebarkannya.
Satu catatan lagi, walau film ini sudah menggambarkan bahwa remaja pria geek adalah remaja yang juga keren (dulu, film remaja menggambarkan pria keren adalah yang tampan, jago olahraga, atau anak band), sayangnya peran dua aktrisnya masih sebatas pemanis yang cenderung dieksploitasi tubuhnya.
Mereka hadir bukan sebagai solusi, tapi malah pembuat masalah. Meski banyak catatan, sebagai sebuah film, Project Almanac harus diakui adalah film yang menghibur. Jika hari Anda melelahkan, menonton film ini adalah pilihan yang tepat.
Herita endriana
Datang ke konser musik paling keren? Atau mungkin menciptakan momen romantis untuk bisa “menembak” calon pacar? Semua hal ini dilakukan oleh remaja pintar, tapi pemalu David Raskin (Jonny Weston). Bersama dua sahabatnya, Adam (Allen Evangelista) dan Quinn (Sam Lerner) serta adiknya, Christina (Virginia Gardner). Mereka merakit sebuah mesin waktu berdasarkan cetak biru yang ditinggalkan almarhum ayah David.
Setelah uji coba berkali-kali, keempatnya berhasil pergi ke masa lalu, lebih tepatnya kembali ke hari kemarin. Supaya lebih seru, di detik-detik terakhir, ikut juga bersama mereka gadis paling cantik di sekolah sekaligus yang ditaksir David, Jessie (Sofia Black D’Elia). Adapun yang terjadi selanjutnya, yaitu kegiatan-kegiatan menyenangkan sekaligus gila yang biasanya dilakukan para remaja yang hormonnya dipenuhi gejolak itu.
Meski begitu, agar semuanya tetap berjalan di jalurnya, David membuat peraturan. Pertama, pergi ke masa lalu dengan mesin waktu hanya boleh dilakukan bersama-sama. Kedua, lompatan tidak boleh terlalu jauh, maksimal hanya 3 minggu ke belakang. Namun, peraturan dibuat memang untuk dilanggar. David pula yang melanggarnya. Semuanya cuma karena urusan asmara.
Urusan sepele yang akhirnya memengaruhi takdir banyak orang. Menonton Project Almanac sedikit banyak mengingatkan pada film Chronicle (2012). Sama-sama film remaja, bergaya found footage , tokohnya punya “kekuatan super”, dan karakter protagonisnya berkembang menjadi tidak simpatik. Namun, film besutan Dean Israelite ini tak sehebat pendahulunya itu. Pada paruh pertama film berdurasi 106 menit ini, Project Almanac memang film yang sangat menghibur.
Humor dan ceritanya sama-sama mengalir lancar. Namun pada paruh kedua, saat konflik makin meningkat dan keseruan yang sesungguhnya akan segera dimulai, skenario buatan Jason Harry Pagan dan Andrew Deutschman tampak seperti ingin buru-buru menyelesaikan konflik. Hasilnya, sebelum adrenalin meningkat, film tiba-tiba saja selesai. Kesan buru-buru ini begitu terasa, karena pada paruh pertama, beberapa adegan tampak dipanjang-panjangkan.
Misalnya saat adegan percobaan di basement rumah David. Juga pada momen “bersenang-senang” dan mengambil manfaat dari adanya mesin waktu ini. Singkatnya, Project Almanac lebih banyak membuat tertawa dibanding membuat tegang dengan adegan-adegan mendebarkannya.
Satu catatan lagi, walau film ini sudah menggambarkan bahwa remaja pria geek adalah remaja yang juga keren (dulu, film remaja menggambarkan pria keren adalah yang tampan, jago olahraga, atau anak band), sayangnya peran dua aktrisnya masih sebatas pemanis yang cenderung dieksploitasi tubuhnya.
Mereka hadir bukan sebagai solusi, tapi malah pembuat masalah. Meski banyak catatan, sebagai sebuah film, Project Almanac harus diakui adalah film yang menghibur. Jika hari Anda melelahkan, menonton film ini adalah pilihan yang tepat.
Herita endriana
(bbg)