Virtual Reality, Masa Depan Film
A
A
A
Ada yang unik dari Festival Film Sundance tahun ini. Kemeriahan film tidak hanya datang dari film-film independen berkualitas dari seluruh dunia yang diputar di layar lebar. Melainkan juga layar kecil yang dipakai dimuka.
Untuk kali pertama, festival film tersebut bersinggungan dengan teknologi virtual reality (VR). Festival film di Park City, Utah, AS, itu memutar 11 film yang menggunakan teknologi VR. Kategorinya pun baru. Diberi nama New Frontier (Pendatang Baru). Film-film tersebut tidak ditonton di layar bioskop biasa. Melainkan di sebuah layar kecil di headset yang dipakai dikepala.
Dampaknya, pengguna dapat melihat konten dalam panorama 360 derajat. Sehingga seolah-olah mereka sedang berada di dalam filmnya. Teknologi ini memang akan merubah bagaimana cara kita untuk menonton film. Meski, masih butuh waktu yang tidak sedikit sampai perangkat headset yang digunakan untuk menontonnya itu tersedia dan dapat dibeli dengan harga yang terjangkau.
Kalaupun tidak sabar, sudah ada beberapa pilihan. Samsung Galaxy Gear VR yang disandingkan dengan Galaxy Note 4 dibanderol USD389. Google Cardboard VR yang menggunakan bahan kardus bisa dibeli seharga USD11 di toko online. Situs Banggood .com pun menjual perangkat VR dengan harga semurah Rp120.000.
VR dipastikan menjadi bagian dari perubahan dinamika industri perfilman di masa depan seiring banyak sineas Hollywood maupun studio bereksperimen dengan virtual reality. ”Mulanya sinema bukan fokus kami. Tapi, kini berubah jadi fokus utama,” ungkap chief executive Oculus Brendan Iribe.
Tapi, mengapa para sineas ingin sekali mengeksplorasi teknologi ini? Kenapa harus mengubah cara menonton film yang sudah berpuluh-puluh tahun sama? Jawabnya, bisa jadi ada dua. Sensasi dan interaksi. Virtual reality memungkinkan sineas membuat penonton merasakan sensasi benar-benar ada di sebuah film dan berinteraksi langsung dengan konten yang mereka nikmati.
Dua hal yang tidak pernah dilakukan di industri film. Herders adalah film pendek arahan duo sineas Felix dan Paul, memposisikan penonton berada di tengah-tengah keluarga Mongolia. Sedangkan di Strangers: A Moment with Patrick Wilson penonton duduk dan mengamati musisi yang sedang bekerja di studio.
Sineas Felix Lajeunesse mengatakan bahwa teknologi virtual reality berpadu sempurna dengan film-film yang menyuguhkan cerita nyata. Karena membuat penonton lebih mudah terhubung ke cerita. Hal itu disetujui oleh sineas Chris Milk yang bersama Vice News mendokumentasikan kejadian New York Millions March pada Desember 2014 dimana ia menggunakan kamera 360 derajat di tengah-tengah demo di Manhattan.
”Sebagai penonton, Anda seperti merasakan langsung apa yang sedang terjadi. Anda yang jadi sudut pandang kameranya,” ungkap Milk.
Danang Arradian
Untuk kali pertama, festival film tersebut bersinggungan dengan teknologi virtual reality (VR). Festival film di Park City, Utah, AS, itu memutar 11 film yang menggunakan teknologi VR. Kategorinya pun baru. Diberi nama New Frontier (Pendatang Baru). Film-film tersebut tidak ditonton di layar bioskop biasa. Melainkan di sebuah layar kecil di headset yang dipakai dikepala.
Dampaknya, pengguna dapat melihat konten dalam panorama 360 derajat. Sehingga seolah-olah mereka sedang berada di dalam filmnya. Teknologi ini memang akan merubah bagaimana cara kita untuk menonton film. Meski, masih butuh waktu yang tidak sedikit sampai perangkat headset yang digunakan untuk menontonnya itu tersedia dan dapat dibeli dengan harga yang terjangkau.
Kalaupun tidak sabar, sudah ada beberapa pilihan. Samsung Galaxy Gear VR yang disandingkan dengan Galaxy Note 4 dibanderol USD389. Google Cardboard VR yang menggunakan bahan kardus bisa dibeli seharga USD11 di toko online. Situs Banggood .com pun menjual perangkat VR dengan harga semurah Rp120.000.
VR dipastikan menjadi bagian dari perubahan dinamika industri perfilman di masa depan seiring banyak sineas Hollywood maupun studio bereksperimen dengan virtual reality. ”Mulanya sinema bukan fokus kami. Tapi, kini berubah jadi fokus utama,” ungkap chief executive Oculus Brendan Iribe.
Tapi, mengapa para sineas ingin sekali mengeksplorasi teknologi ini? Kenapa harus mengubah cara menonton film yang sudah berpuluh-puluh tahun sama? Jawabnya, bisa jadi ada dua. Sensasi dan interaksi. Virtual reality memungkinkan sineas membuat penonton merasakan sensasi benar-benar ada di sebuah film dan berinteraksi langsung dengan konten yang mereka nikmati.
Dua hal yang tidak pernah dilakukan di industri film. Herders adalah film pendek arahan duo sineas Felix dan Paul, memposisikan penonton berada di tengah-tengah keluarga Mongolia. Sedangkan di Strangers: A Moment with Patrick Wilson penonton duduk dan mengamati musisi yang sedang bekerja di studio.
Sineas Felix Lajeunesse mengatakan bahwa teknologi virtual reality berpadu sempurna dengan film-film yang menyuguhkan cerita nyata. Karena membuat penonton lebih mudah terhubung ke cerita. Hal itu disetujui oleh sineas Chris Milk yang bersama Vice News mendokumentasikan kejadian New York Millions March pada Desember 2014 dimana ia menggunakan kamera 360 derajat di tengah-tengah demo di Manhattan.
”Sebagai penonton, Anda seperti merasakan langsung apa yang sedang terjadi. Anda yang jadi sudut pandang kameranya,” ungkap Milk.
Danang Arradian
(ftr)