Jangan Ragu Vaksinasi
A
A
A
MASIH saja banyak anggapan keliru yang beredar di masyarakat terkait pemberian vaksinasi pada bayi dan anak. Padahal, seperti sudah banyak dijelaskan, vaksinasi bermanfaat dan penting untuk merangsang kekebalan spesifik pada tubuh si kecil dan tidak dapat digantikan dengan hal lain.
Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya hidup sehat, cerdas, dan tumbuh kembang secara optimal. Salah satu jalan untuk mewujudkan hal tersebut, yaitu dengan pemberian vaksinasi atau imunisasi. Dewasa ini, berkembang sejumlah isu atau mitos terkait vaksinasi yang dapat meresahkan orang tua, terutama kaum ibu.
Padahal, imunisasi berperan penting dalam merangsang peningkatan kekebalan spesifik untuk melawan kuman atau racun yang masuk ke dalam tubuh bayi dan anak. Perkembangan vaksin memberikan kekebalan dan keselamatan selama 20 tahun lebih telah meminimalisasi penyakit, seperti DPT, BCG, hepatitis, tetanus, polio, batuk rejan, difteri, dan campak dari dunia kesehatan.
“Jangan mudah percaya dengan berita pada era media digital yang tidak bertanggung jawab, harus dikonfirmasikan dahulu kepada pakar yang menguasai,” ujar dr Piprim B Yanuarso SpA (K), dokter spesialis anak yang juga Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) kepada KORAN SINDO di Jakarta, belum lama ini.
Piprim menjelaskan, vaksinasi adalah suatu upaya memasukkan antigen ke dalam tubuh agar tubuh membentuk kekebalan spesifik terhadap penyakit tertentu. Antigen bisa dibuat dari virus yang dilemahkan, bakteri yang telah mati, komponen dari virus, atau komponen dari bakteri. Intinya secara garis besar, lanjut dia, jenis kekebalan tubuh manusia terdapat dua macam.
Pertama, kekebalan umum atau nonspesifik. Kedua, kekebalan spesifik. Kekebalan umum misalnya keringat, air liur, rambut-rambut getar, kotoran telinga, kulit, atau air susu ibu (ASI). Untuk mengatasi penyakit yang tidak ganas, sebenarnya memiliki kekebalan umum ini cukup. “Namun, ketika datang penyakit berbahaya yang bisa menularkan wabah dan sangat mematikan, tubuh membutuhkan kekebalan spesifik,” tutur Piprim.
Kekebalan spesifik ini, kata dia, sejatinya telah ada dalam tubuh baik berupa antibodi maupun sel T yang alami. Hanya, kekebalan ini akan aktif ketika tubuh diserang penyakit ganas. Misalnya pada anak yang menderita cacar air. Setelah anak terkena cacar air dan kumannya datang, kekebalan spesifiknya baru terbentuk. Pada serangan berikutnya, baru anak tersebut kebal.
Vaksinasi meniru proses penyakit membahayakan tersebut sehingga setelah disuntik, seolah-olah kekebalan spesifik anak sudah terangsang dan pada kesempatan berikutnya menjadi siap. “Jadi, seperti latihan perang-perangan dengan bibit penyakit ganas dengan menggunakan vaksin yang merangsang kekebalan spesifik tanpa membuat sakit. Tidak mau kan anak kita sakit polio dulu, lumpuh dulu, baru kebal terhadap polio,” imbuh Piprim.
Bagaimana dengan madu atau ASI eksklusif untuk meningkatkan kekebalan tubuh anak? Menurut Piprim, keduanya tidak cukup karena kekebalan spesifik baru timbul ketika kita memasukkan antigen. Dalam ASI tidak ada antigen, hanya antibodi.
ASI laksana memasukkan tentara bayaran dari luar ke dalam tubuh anak. Pada periode tertentu, fungsinya akan habis. “Beda dengan vaksin. Vaksin membangkitkan kekebalan sendiri anak. Sifatnya kekebalan aktif. Madu atau ASI sifatnya kekebalan pasif, yang akan hilang seiring dengan waktu,” ungkapnya.
Sejarah vaksinasi, ujar dia, ditemukan oleh Edward Jenner yang menggunakan nanah sapi yang terkena cacar sapi yang digoreskan ke kulit manusia sehingga timbul kekebalan spesifik pada tubuh. Kejadian tersebut terjadi pada 1796. Sejak itu, ketika terjadi wabah cacar bopeng (smallpox ) atau disebut juga dengan variola beberapa puluh tahun kemudian, kematian dan kecacatan akibat penyakit tersebut menurun drastis.
Itu membuktikan, setelah ditemukannya imunisasi, kasus penyakit yang ganas dan berbahaya jauh menurun, bahkan hilang sama sekali. “Cacar itu sudah dinyatakan hilang oleh WHO sejak 1979. Sementara Indonesia bebas polio sejak Maret 2014. Itu salah satu prestasi vaksinasi yang secara nyata menurunkan kematian dan kecacatan penyakit ganas,” tuturnya.
Rendra Hanggara
Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya hidup sehat, cerdas, dan tumbuh kembang secara optimal. Salah satu jalan untuk mewujudkan hal tersebut, yaitu dengan pemberian vaksinasi atau imunisasi. Dewasa ini, berkembang sejumlah isu atau mitos terkait vaksinasi yang dapat meresahkan orang tua, terutama kaum ibu.
Padahal, imunisasi berperan penting dalam merangsang peningkatan kekebalan spesifik untuk melawan kuman atau racun yang masuk ke dalam tubuh bayi dan anak. Perkembangan vaksin memberikan kekebalan dan keselamatan selama 20 tahun lebih telah meminimalisasi penyakit, seperti DPT, BCG, hepatitis, tetanus, polio, batuk rejan, difteri, dan campak dari dunia kesehatan.
“Jangan mudah percaya dengan berita pada era media digital yang tidak bertanggung jawab, harus dikonfirmasikan dahulu kepada pakar yang menguasai,” ujar dr Piprim B Yanuarso SpA (K), dokter spesialis anak yang juga Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) kepada KORAN SINDO di Jakarta, belum lama ini.
Piprim menjelaskan, vaksinasi adalah suatu upaya memasukkan antigen ke dalam tubuh agar tubuh membentuk kekebalan spesifik terhadap penyakit tertentu. Antigen bisa dibuat dari virus yang dilemahkan, bakteri yang telah mati, komponen dari virus, atau komponen dari bakteri. Intinya secara garis besar, lanjut dia, jenis kekebalan tubuh manusia terdapat dua macam.
Pertama, kekebalan umum atau nonspesifik. Kedua, kekebalan spesifik. Kekebalan umum misalnya keringat, air liur, rambut-rambut getar, kotoran telinga, kulit, atau air susu ibu (ASI). Untuk mengatasi penyakit yang tidak ganas, sebenarnya memiliki kekebalan umum ini cukup. “Namun, ketika datang penyakit berbahaya yang bisa menularkan wabah dan sangat mematikan, tubuh membutuhkan kekebalan spesifik,” tutur Piprim.
Kekebalan spesifik ini, kata dia, sejatinya telah ada dalam tubuh baik berupa antibodi maupun sel T yang alami. Hanya, kekebalan ini akan aktif ketika tubuh diserang penyakit ganas. Misalnya pada anak yang menderita cacar air. Setelah anak terkena cacar air dan kumannya datang, kekebalan spesifiknya baru terbentuk. Pada serangan berikutnya, baru anak tersebut kebal.
Vaksinasi meniru proses penyakit membahayakan tersebut sehingga setelah disuntik, seolah-olah kekebalan spesifik anak sudah terangsang dan pada kesempatan berikutnya menjadi siap. “Jadi, seperti latihan perang-perangan dengan bibit penyakit ganas dengan menggunakan vaksin yang merangsang kekebalan spesifik tanpa membuat sakit. Tidak mau kan anak kita sakit polio dulu, lumpuh dulu, baru kebal terhadap polio,” imbuh Piprim.
Bagaimana dengan madu atau ASI eksklusif untuk meningkatkan kekebalan tubuh anak? Menurut Piprim, keduanya tidak cukup karena kekebalan spesifik baru timbul ketika kita memasukkan antigen. Dalam ASI tidak ada antigen, hanya antibodi.
ASI laksana memasukkan tentara bayaran dari luar ke dalam tubuh anak. Pada periode tertentu, fungsinya akan habis. “Beda dengan vaksin. Vaksin membangkitkan kekebalan sendiri anak. Sifatnya kekebalan aktif. Madu atau ASI sifatnya kekebalan pasif, yang akan hilang seiring dengan waktu,” ungkapnya.
Sejarah vaksinasi, ujar dia, ditemukan oleh Edward Jenner yang menggunakan nanah sapi yang terkena cacar sapi yang digoreskan ke kulit manusia sehingga timbul kekebalan spesifik pada tubuh. Kejadian tersebut terjadi pada 1796. Sejak itu, ketika terjadi wabah cacar bopeng (smallpox ) atau disebut juga dengan variola beberapa puluh tahun kemudian, kematian dan kecacatan akibat penyakit tersebut menurun drastis.
Itu membuktikan, setelah ditemukannya imunisasi, kasus penyakit yang ganas dan berbahaya jauh menurun, bahkan hilang sama sekali. “Cacar itu sudah dinyatakan hilang oleh WHO sejak 1979. Sementara Indonesia bebas polio sejak Maret 2014. Itu salah satu prestasi vaksinasi yang secara nyata menurunkan kematian dan kecacatan penyakit ganas,” tuturnya.
Rendra Hanggara
(ftr)