Kisah Nyata Pengembang Bank di Indonesia

Sabtu, 28 Februari 2015 - 10:45 WIB
Kisah Nyata Pengembang...
Kisah Nyata Pengembang Bank di Indonesia
A A A
Film karya Benny Setiawan ini diadaptasi dari buku laris karya Dahlan Iskan Tidak Ada yang Tidak Bisa. Isinya kisah kehidupan dan perjuangan Kwee Tjie Hoei atau Karmaka Surjaudaja, pengembang Bank NISP yang berasal dari China, tapi sejak umur 10 bulan sudah dibawa ibunya untuk tinggal di Bandung.

Kisah hidup Hoei sangat dramatis dan filmis hingga memang cocok jika diceritakan dalam format layar lebar. Hoei bukanlah anak yang berasal dari keluarga berada. Cita-citanya untuk menjadi insinyur terpaksa kandas karena orang tuanya hanya mampu membiayai kuliah satu anak saja. Karena sibuk sekolah sambil bekerja, kelulusan Hoei berbarengan dengan adiknya, Kwee Tjie Ong.

Hoei pun memilih mengalah dan membiarkan Ong untuk kuliah di fakultas kedokteran UI. Hanya lulus SMA, Hoei yang sesungguhnya cerdas lantas bekerja keras menjalani banyak pekerjaan, mulai dari guru, buruh pabrik, hingga pengajar les privat. Uang gajinya dipakai untuk membantu kebutuhan keluarga dan biaya kuliah adiknya.

Kerja keras dan sikap santun Hoei rupanya menarik perhatian salah satu murid les privatnya, Lim Kwee Ing (Laura Basuki). Hoei pun sebenarnya menyukai Ing, tapi karena status guru-murid dan riwayat Ing yang masuk golongan keluarga kaya raya, Hoei memilih menjaga jarak. Namun, namanya jodoh, Hoei dan Ing pun pada akhirnya menikah juga.

Hoei mungkin dianggap beruntung dan terangkat derajatnya, tapi justru dari sinilah kehidupannya mulai dijungkirbalikkan. Saat mertuanya tertahan di luar negeri, Hoei pun tibatiba ditunjuk untuk menggantikan posisi mertuanya sebagai pemegang saham di bank. Saat itu, bank milik mertua Hoei sudah bagai kapal yang siap tenggelam, digerogoti korupsi dan terlilit banyak utang.

Dengan masalah sebanyak itu, Hoei yang hanya lulusan SMA dituntut untuk mampu menyelesaikannya, demi kehormatan keluarga. Ada yang berbeda dengan Love and Faithdibanding film-film biopik Indonesia yang rilis belakangan ini. Meski kisahnya dramatis, film ini tak terjebak dalam adegan-adegan dramatisasi yang berlebihan demi menguras air mata penonton.

Benni Setiawan memilih untuk menceritakannya senatural mungkin, meski masih ada satudua adegan yang terlihat dieksploitasi berlebihan. Dengan pilihan bercerita yang dibuat cukup natural, Love and Faithmemang jadi cenderung bertempo lambat. Namun, Benni berusaha menyiasatinya dengan editingyang dibuat lebih cekatan, terutama di bagian-bagian saat Hoei kelimpungan dan nyaris putus asa menangani bank warisan mertuanya.

Satu lagi yang menjadi catatan penting, Benni juga berani menampilkan Hoei yang tidak melulu sebagai sosok superhero yang menginspirasi. Love and Faith berani menggambarkan sisi gelap Hoei atau masa-masa saat Hoei benar-benar putus asa dan nyaris gila. Langkah ini patut dihargai karena selama ini film biopik kerap menempatkan tokoh utamanya sebagai manusia super yang tak punya cacat sedikit pun.

Hal yang mungkin disayangkan dari film ini, yaitu skenarionya yang terlalu fokus pada peristiwa-peristiwa penting hingga karakter Hoei dan Ing kurang didalami. Ini membuat akting Rio Dewanto dan Laura Basuki jadi agak kikuk dan di bawah standar akting mereka yang biasanya.

Pilihan Benni untuk menutup cerita saat sebenarnya kisah Hoei baru mencapai klimaks, sesungguhnya adalah pilihan yang sangat disayangkan. Seolah-olah Benni sudah menyuruh kita pulang, padahal hidangan utama baru saja diletakkan di atas meja.

Herita endriana
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0983 seconds (0.1#10.140)