Memahami Musik Jazz Dahulu dan Sekarang

Minggu, 08 Maret 2015 - 09:50 WIB
Memahami Musik Jazz Dahulu dan Sekarang
Memahami Musik Jazz Dahulu dan Sekarang
A A A
Dunia begitu cepat berkembang. Dulu, tidak pernah terbayangkan betapa akan mudah mempelajari sesuatu seperti saat ini. Manusia ingin tahu sesuatu, cukup sentuh alat digital di tangannya.

Dalam hitungan detik muncul penjelasan yang diinginkan. Begitu juga jika ingin mengetahui tentang musik jazz, cukup sentuh layar komputer, maka semua tentang jazz dari sejarah sampai musisinya muncul dengan sangat sempurna. Bahkan, ingin mengetahui seperti apa bentuk musik swing, bebob, fusion, dan bahkan era sebelum jazz keluar dari new orleands, bisa didengar serta ditonton.

Begitu mudah mengenal jazz pada masa sekarang. Karena itu, tidak ada alasan untuk seseorang mengatakan sulit mengenal musik jazz. Lagu-lagu yang dimainkan dalam jazz pun, saat ini tidak melulu lagu “keriting”. Itu karena lewat para musisi muda kreatif, banyak lagu pop yang sudah dikenal luas kemudian diolah lewat jazz.

Ini juga salah satu cara mempermudah seseorang mengenal musik jazz yang dianggap susah dicerna, njlimet, dan bikin pusing kepala. Padahal, semestinya musik adalah bentuk media hiburan. Tidak perlu jauh bicara sulitnya mengenal jazz pada era tahun 1960-an dan sebelumnya. Pada tahun 1980-an pun tidak mudah mencari literatur atau hal terkait mengenal dan memahami musik jazz di Indonesia.

Siaran luar negeri seperti Suara Amerika (VOA) atau Radio Australia (ABC) merupakan sumber paling ditunggu dan berharga oleh para penggemar musik jazz di Indonesia. Terutama mereka yang tinggal di daerah. Sebab di Jakarta orang masih bisa menonton dan berdiskusi dengan Jack Lesmana dan kawan-kawan.

Selain juga surat kabar masih bisa ditemui walau tidak semeriah sekarang. Sumber yang juga sangat membantu, pada masa itu, adalah jika bisa memiliki album piringan hitam (PH) artis jazz, karena di sampul belakang atau bagian kosong halaman sering dicantumkan resensi musik jazz.

Sebagai contoh, album piringan hitam “The Greates Jazz Concert in The World” terbitan Pablo Record, Jerman, tahun 1975, berisi rekaman live dari legendaris jazz, seperti Duke Ellington, Ella Fitzgerald, Oscar Peterson, Benny Carter, Zoot Sims dan lain-lainnya adalah sebuah keberuntungan mendapatkannya.

Pada halaman dalam dan belakang sampul yang berisi empat piringan hitam itu tercantum cerita dan ulasan pengamat musik jazz, seperti Benny Grren, mengenai apa dan siapa, serta bagaimana permainan musik jazz para maestro tersebut. Juga dilengkapi foto para musisi jazz yang rekamannya ada dalam album sehingga penggemar musik jazz bisa mengenal wajah mereka.

Kepuasan tersendiri bisa memiliki foto bintang jazz yang pada masa itu masih berwarna hitam putih. Namun, perlu diingat, alat pemutar piringan hitam bukan barang murah pada masa itu dan tidak mudah juga mencari piringan hitam di kota-kota luar Jakarta. Keberuntungan dalam dunia musik jazz adalah sesama penggemar saling berkomunikasi dengan akrab, saling berkabar siapa mendapat pengetahuan apa dan mengabarkan.

Pinjam meminjam album piringan hitam jazz adalah salah satu cara berdiskusi. Itu keuntungannya. Kerugiannya, karena piringan hitam berputar ke banyak orang, pinjam sana-sini, tidak heran kemudian itu barang tiba-tiba terlihat di pasar loak Jalan Surabaya. Maka sering kita melihat piringan hitam di pasar loak, bentuknya sudah amat kusam, amburadul.

Tetapi sering masih laku, diburu dan dibeli orang sebagai bagian dari nostalgia karena pada masa dulu tidak mampu memiliki. Tentu bagian dari koleksi langka. Tahun 1980-an merupakan era menguntungkan penggemar musik jazz dan musisinya. Sebab pertunjukan musik jazz mulai ramai dan relatif mudah ditemui. Banyak hotel berbintang dan klub jazz di Jakarta serta kota besar lainnya menyodorkan menu jazz dalam hiburannya.

Karena itu penggemar jazz semakin mudah mengenal dan jumlahnya bertambah banyak. Berita mengenai pertunjukan musik jazz mulai banyak ada di koran dan majalah menyusul masuknya era jazz fusion. Bentuk baru dari musik jazz tersebut cenderung diterima kalangan muda pada masa itu karena ada unsur musik rock di dalamnya.

Jazz fusion bisa dikatakan merupakan era kebangkitan musik jazz setelah semaput dilindas kedahsyatan musik rock n roll. Meskipun berita jazz mulai banyak, sampai tahun 1990-an masih sulit mencari referensi tentang musik ini. Majalah Down Beat merupakan salah satu yang sangat membantu memberikan pengetahuan tentang jazz di Tanah Air. Namun tidak mudah mendapatkan majalah yang terbit setiap bulan ini, mahal dan datang ke Indonesia tidak jelas kapan?

Sebagai contoh, edisi Januari bisa masuk Jakarta tiga bulan kemudian dan itu pun hanya beberapa eksemplar. Alasan salah satu agen di pertokoan Melawai Jakarta ketika itu, selain mahal, belum tentu laku. Rugi menjual jazz! Pendeknya, untuk mengenal dan memahami musik jazz pada masa dulu, sungguh tidak mudah. Dibutuhkan pergaulan dan kecintaan dalam jazz sejati.

Sebab untuk mengenal musik jazz, tidak cukup hanya mendengar permainan musiknya, juga mengenal sejarah, termasuk para musisinya. Dengan memahami hal tersebut, maka akan bisa membaca seorang pemain musik jazz pada masa sekarang tidak lepas dari pengaruh permainan musisi legendaris masa sebelumnya.

Seperti yang diakui Dave Koz bahwa permainannya juga dipengaruhi gaya dari musikus David Sanborn. Sementara jika mempelajari perjalanan Sanborn, dia pun dipengaruhi Hank Crawford, peniup alto saksofon kelahiran Memphis tahun 1934. Zaman Mudah Sekarang, dunia sungguh berubah dan bergerak dengan sangat luar biasa. Sangat mencengangkan.

Terutama dalam pandangan mereka yang mengalami sulitnya mencari informasi tentang jazz pada masa dulu. Betapa tidak, sekarang seorang yang ingin mengenal musik jazz tinggal klik komputer, maka muncul semua yang ingin diketahui. Tidak perlu menunggu kedatangan majalah Down Beat , tidak perlu memburu piringan hitam hanya untuk membaca cerita seorang pemain musik jazz.

Bahkan, tidak perlu membeli pita rekaman kaset atau pada masa sekarang berbentuk cakram (CD). Lebih dahsyat lagi, bisa menyaksikan Louis Armstong, Nat King Cole, Duke Ellington, dan legendaris lainnya bernyanyi dengan hidup lewat YouTube. Mudah bukan? Jasa Ireng Maulana membangun festival jazz dikenal dengan nama JakJazz pada tahun 1988 perlu mendapat penghargaan pencinta musik jazz.

Dipastikan, festival semacam ini terselenggara karena kecintaan seseorang terhadap dunia musik jazz yang total. Kita tidak tahu bagaimana jalan Ireng membangun festival dari mendapatkan kepercayaan sponsor sampai meyakinkan bintang jazz luar negeri bersedia hadir di Jakarta.

Pada masa itu, JakJazz dan tahun kemudian merupakan agenda paling ditunggu pencinta musik jazz dan yang ingin mengenal jazz. Upaya Ireng juga tidak beda dengan Java Jazz Festival yang digagas Peter F Gontha termasuk tokoh yang juga menyukai jazz. Sebelumnya, Peter juga dikenal pernah membangun kedai jazz Jamz di Jakarta dan Bandung, cukup dikenal para penggemar musik jazz, termasuk musisinya pada masa itu.

Banyak bintang jazz dunia hadir lewat Jamz, seperti Phil Perry, Lee Ritenaur, Jon Patituci, dan banyak lagi lainnya, sekaligus merupakan masa itu menjadi masa indah dunia jazz Indonesia. Kali ini, seperti juga JakJazz , hadir festival bertaraf internasional Java Jazz Festival (JJF ).

Keberadaan festival seperti JJF ini merupakan ruang berharga bagi mereka yang ingin mengenal dan pencinta musik jazz karena bisa melihat penampilan bintang jazz dunia. Tentu tetap perlu “ngobrol” dengan teman yang paham jazz agar tidak salah sangka terhadap aliran bukan jazz. Sebab, harus diakui, Java Jazz Festival juga banyak menghadirkan bintang musik yang pada permainan musiknya bukan pada ranah jazz.

Sesat di awal, maka bisa salah mengenal jazz kemudian. Kemajuan transportasi dan alat komunikasi pada saat ini juga merupakan sarana mempermudah memahami jazz. Ingin diskusi dengan Idang Rasyidi, Benny Likumahua, Ireng Maulana, dan lainnya, termasuk sekarang ada anak muda “gila jazz”, Beben Jazz, bisa tinggal datang atau jika jauh bisa via e-mail atau telepon.

Mereka musisi jazz yang memiliki kecintaan total dan mudah diajak berdiskusi. Bahkan, Beben Jazz, begitu dia dikenal, rutin menggelar diskusi jazz, main jazz, belajar jazz setiap hari Kamis di rumahnya, Kemayoran Jakarta, yang dikenal dengan nama Komunitas Jazz Kemayoran (KJK). Ratusan anak muda belia hadir. Luar biasa stamina Beben melakukan diskusi ini yang berjalan sudah lebih dari sepuluh tahun secara rutin. Selamat menikmati musik jazz dan menonton festival jazz di Indonesia. Jazz itu enak dan mudah kok.

Eddy Koko
Penikmat Musik Jazz
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3875 seconds (0.1#10.140)