Pekerjaan Besar Musik Jazz
![Pekerjaan Besar Musik...](https://a-cdn.sindonews.net/dyn/732/content/2015/03/08/152/973535/pekerjaan-besar-musik-jazz-hTt-thumb.jpg)
Pekerjaan Besar Musik Jazz
A
A
A
Java Jazz Festival 2015 dibanjiri penggemar musik jazz yang ada di Nusantara. Di sisi lain, dukungan terhadap industri rekaman musik jazz di Indonesia terkesan berjalan di tempat.
Ajang Java Jazz Festival saat ini sudah jadi surga, tidak hanya bagi penikmat musik jazz, juga kalangan baru yang berusaha menikmati sensasi musik jazz. Di ajang ini musisi jazz lintas generasi berusaha meramaikan ajang yang rutin digelar setiap setahun sekali itu. Pengunjung pun melimpah ruah selama perhelatan dua hari ajang tersebut.
Geliat mereka menunjukkan betapa masyarakat saat ini sangat antusias menjadi pendengar dan penonton musik jazz. Besarnya jumlah pengunjung pada hari pertama dan kedua, tentu membuat target 150.000 pengunjung yang dicanangkan panitia Java Jazz selama tiga hari bukan hal yang mustahil. Jumlah pengunjung Java Jazz Festival yang sangat besar inilah yang dimanfaatkan musisi jazz dan non-jazz utuk mempromosikan album baru mereka.
Ambil contoh Tohpati dan Rini Wulandari yang masing-masing meluncurkan album “Guitar Fantasy” dan “RINNI”. Tingginya jumlah pengunjung yang datang ke Java Jazz Festival dijadikan momentum untuk menyebarkan informasi album terbaru mereka. Pada saat yang bersamaan, mereka berupaya meraup pasar baru. Hanya ibarat teori ekonomi, pengunjung Java Jazz terbagi dua, yakni pengunjung potensial dan pengunjung nonpotensial.
Di dunia ekonomi, pembeli potensial adalah pembeli yang memiliki daya beli dan sebaliknya pembeli nonpotensial ialah pembeli yang tidak memiliki daya beli. Sementara, di Java Jazz Festival , pengunjung potensial adalah penikmat musik jazz, sedangkan pengunjung nonpotensial hanyalah sebatas penonton musik jazz.
Bedakah keduanya? Pendengar musik jazz adalah penikmat musik jazz yang memang serius menikmati musik jazz. Tidak hanya mencermati musik jazz, juga memberikan dukungan kepada para musisinya dengan cara membeli album fisik musik jazz yang mereka sukai. Sementara, penonton musik jazz adalah orang-orang yang ingin menjadi bagian musik jazz guna mencitrakan diri sebagai golongan kelas sosial tertentu.
Citra ini diproyeksikan dengan ikut terlibat dalam kegiatan musik jazz, termasuk menonton Java Jazz Festival . Bahwa musik jazz saat ini memiliki kelas sosial tersendiri di masyarakat, memang tidak perlu dinafikan. Citra mewah, intelek, dan berkelas sudah kadung identik dengan musik jazz saat ini.
Di tengah masa narsistik akut saat ini, citra seperti ini justru jadi buruan. Seolaholah ada adagium baru yang mengatakan, “Saya menonton jazz, maka saya adalah golongan kelas sosial tertentu”. Sayangnya, hal tersebut sebatas simbolisme belaka. Mereka hanya menonton dan pulang.
Mereka lebih memilih membeli merchandise Java Jazz ketimbang membeli album baru yang diluncurkan di ajang yang sama. Alhasil, setelah tenda-tenda Java Jazz ditutup pada hari terakhir, mereka menanti dengan sabar event yang sama datang lagi pada tahun depan.
Fenomena penonton inilah yang membuat dukungan industri rekaman musik jazz terkesan berjalan di tempat. Mereka yang membeli dan menikmati karya-karya fisik para musisi jazz terkesan “4 L” alias “Lu Lagi Lu Lagi”. Inilah yang membuat Ahmad Dhani pernah sesumbar bahwa musik jazz tidak akan pernah mengalahkan musik pop.
“Di seluruh dunia, tidak ada penyanyi jazz yang penjualan albumnya melebih musisi pop,” sesumbarnya waktu itu. Benarkah? Percaya atau tidak, album musik jazz yang paling laris di dunia hingga saat ini adalah album “Kind of Blue” milik Miles Davis.
Album yang dibuat pada 1959 silam itu dinobatkan oleh Recording Industry Association of America (RIAA) sebagai album jazz paling laris dengan catatan quadruple platinum . Dan, dari sekian banyak musisi yang meraih quadruple platinum, hanya Miles Davis yang datang dari genre musik jazz.
Wahyu sibarani
Ajang Java Jazz Festival saat ini sudah jadi surga, tidak hanya bagi penikmat musik jazz, juga kalangan baru yang berusaha menikmati sensasi musik jazz. Di ajang ini musisi jazz lintas generasi berusaha meramaikan ajang yang rutin digelar setiap setahun sekali itu. Pengunjung pun melimpah ruah selama perhelatan dua hari ajang tersebut.
Geliat mereka menunjukkan betapa masyarakat saat ini sangat antusias menjadi pendengar dan penonton musik jazz. Besarnya jumlah pengunjung pada hari pertama dan kedua, tentu membuat target 150.000 pengunjung yang dicanangkan panitia Java Jazz selama tiga hari bukan hal yang mustahil. Jumlah pengunjung Java Jazz Festival yang sangat besar inilah yang dimanfaatkan musisi jazz dan non-jazz utuk mempromosikan album baru mereka.
Ambil contoh Tohpati dan Rini Wulandari yang masing-masing meluncurkan album “Guitar Fantasy” dan “RINNI”. Tingginya jumlah pengunjung yang datang ke Java Jazz Festival dijadikan momentum untuk menyebarkan informasi album terbaru mereka. Pada saat yang bersamaan, mereka berupaya meraup pasar baru. Hanya ibarat teori ekonomi, pengunjung Java Jazz terbagi dua, yakni pengunjung potensial dan pengunjung nonpotensial.
Di dunia ekonomi, pembeli potensial adalah pembeli yang memiliki daya beli dan sebaliknya pembeli nonpotensial ialah pembeli yang tidak memiliki daya beli. Sementara, di Java Jazz Festival , pengunjung potensial adalah penikmat musik jazz, sedangkan pengunjung nonpotensial hanyalah sebatas penonton musik jazz.
Bedakah keduanya? Pendengar musik jazz adalah penikmat musik jazz yang memang serius menikmati musik jazz. Tidak hanya mencermati musik jazz, juga memberikan dukungan kepada para musisinya dengan cara membeli album fisik musik jazz yang mereka sukai. Sementara, penonton musik jazz adalah orang-orang yang ingin menjadi bagian musik jazz guna mencitrakan diri sebagai golongan kelas sosial tertentu.
Citra ini diproyeksikan dengan ikut terlibat dalam kegiatan musik jazz, termasuk menonton Java Jazz Festival . Bahwa musik jazz saat ini memiliki kelas sosial tersendiri di masyarakat, memang tidak perlu dinafikan. Citra mewah, intelek, dan berkelas sudah kadung identik dengan musik jazz saat ini.
Di tengah masa narsistik akut saat ini, citra seperti ini justru jadi buruan. Seolaholah ada adagium baru yang mengatakan, “Saya menonton jazz, maka saya adalah golongan kelas sosial tertentu”. Sayangnya, hal tersebut sebatas simbolisme belaka. Mereka hanya menonton dan pulang.
Mereka lebih memilih membeli merchandise Java Jazz ketimbang membeli album baru yang diluncurkan di ajang yang sama. Alhasil, setelah tenda-tenda Java Jazz ditutup pada hari terakhir, mereka menanti dengan sabar event yang sama datang lagi pada tahun depan.
Fenomena penonton inilah yang membuat dukungan industri rekaman musik jazz terkesan berjalan di tempat. Mereka yang membeli dan menikmati karya-karya fisik para musisi jazz terkesan “4 L” alias “Lu Lagi Lu Lagi”. Inilah yang membuat Ahmad Dhani pernah sesumbar bahwa musik jazz tidak akan pernah mengalahkan musik pop.
“Di seluruh dunia, tidak ada penyanyi jazz yang penjualan albumnya melebih musisi pop,” sesumbarnya waktu itu. Benarkah? Percaya atau tidak, album musik jazz yang paling laris di dunia hingga saat ini adalah album “Kind of Blue” milik Miles Davis.
Album yang dibuat pada 1959 silam itu dinobatkan oleh Recording Industry Association of America (RIAA) sebagai album jazz paling laris dengan catatan quadruple platinum . Dan, dari sekian banyak musisi yang meraih quadruple platinum, hanya Miles Davis yang datang dari genre musik jazz.
Wahyu sibarani
(bbg)