Jazz Ngisor Ringin sampai Kedai Susu Kambing
A
A
A
SUATU masa pada 2001 sekelompok jetset, ada direktur bank, pengusaha, dan pensiunan tapi kaya, berkumpul di Hotel Kemang Jakarta.
Komunitas banyak uang yang suka dansa-dansi ini menggelar acara jazz menghadirkan hampir semua musisi jazz senior Indonesia.
Dahsyat! Selesai acara musik jazz jam 22.30 langsung grup rock n roll beraksi mengiringi mereka melantai. Saat komunitas jetset berdansa, para musisi jazz berkemas pulang karena sudah selesai tugasnya. Namun, tidak ada Indra Lesmana dan musisi seangkatanya dalam panggung jazz malam itu.
Maka muncul pertanyaan, adakah jarak antara yang senior dan junior dalam kehidupan musik jazz di Indonesia? Hanya mereka yang bisa menjawab. Sementara pada saat yang sama, sore hari, sekelompok kecil anak belia duduk di lantai sudut garasi mobil, di gang sempit kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, mendengarkan Beben Supendi Mulyana bercerita tentang musik jazz.
Selain cerita jazz, mereka belajar bermain musik jazz, kemudian menonton film tentang legenda jazz. Kegiatan ini dikenal dengan nama Komunitas Jazz Kemayoran (KJK) dan sampai sekarang kegiatan di gang sempit itu masih berjalan secara rutin. Jumlah yang hadir juga semakin banyak sehingga Beben harus menggelar di beberapa tempat untuk memudahkan para pemula ikutan berjazz.
Beben Supendi usianya sekarang 48 tahun, awalnya adalah atlet nasional bulutangkis lulusan SMA Ragunan. Tidak banyak yang tahu ceritanya kemudian dia banting setir menekuni musik jazz, bahkan bisa dikatakan total jazz. Hidup Beben seakan hanya untuk jazz. Bukan hanya bermain jazz untuk diri sendiri, juga untuk orang lain dengan mengajar bagaimana bermain musik jazz dan sejarah jazz.
Dalam setiap penampilan di panggung atau di mana pun hadir, Beben berusaha menyelipkan cerita sejarah lagu yang dimainkan, aliran musiknya, pencipta, sampai chord yang dipakai. Cara ini langka dilakukan musisi jazz lainnya dan semakin membuat anak muda yang menonton menjadi tertarik pada jazz. Pada kemudian hari anggota KJK semakin banyak dan meluas ke luar Jakarta, terdiri atas pelajar, dokter, sampai seorang Umar, anggota Brimob yang rajin datang menenteng gitar memainkan jazz standar di KJK, menjuluki Beben dengan Beben Jazz.
Apa yang bisa dilihat dari upaya total seorang Beben Jazz adalah tanpa dirasakan, diakui atau tidak, semakin banyak komunitas jazz tumbuh di kotakota kecil luar Jakarta dan Bandung. Beben tidak segan diundang, kadang tanpa bayar, ke kota-kota kecil untuk mengajar dan bicara jazz di depan komunitas kampung.
Beben seakan tidak terganggu ingar-bingar acara jazz di kalangan para senior dan memilih, apa yang disebut dengan ,”main pinggir”. Kenyataannya, saat ini perkembangan musik jazz tidak melulu berada di pusat kota atau Jakarta, justru marak dan hidup lewat desa-desa kemudian merangsek ke Jakarta. Kehidupan komunitas jazz seperti yang dilakukan Beben bisa dilihat, seperti di Semarang ada komunitas jazz Sor Ringin (ngisor ringin atau di bawah pohon beringin), Jazz Ben Senen Yogya (Saben Senen atau setiap Senin), Jazz Ringin Condong, Jombang, Korek Jazz (komunitas arek jazz) Surabaya, dan masih banyak lainnya.
Setidaknya kota kecil seperti Blitar, Sidoarjo, Banyuwangi, Purwokerto, Pekalongan, Tulungagung, Solo, dan masih banyak lainnya sampai ke seberang pulau Jawa di Makasar, Manado, Medan, Bangka memiliki komunitas jazz yang aktif dan “terkoneksi” dengan sesama komunitas lainnya. Bukan hanya komunitas yang hidup, tetapi festival tahunan di kota jauh dari Jakarta juga terus berjalan dan rutin, seperti Jazz Gunung, Ngayog Jazz, Banyuwangi Jazz, dan lainnya.
Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa musik jazz di Indonesia semakin berkembang. Beben merupakan salah satu tokoh yang layak mendapat bintang, terlepas dia tidak menyadari hal itu karena berangkat dari kecintaan dan bukan proses instan. Sungguh menarik mencermati kehidupan komunitas jazz di daerah. Mereka menjungkirbalikkan dunia jazz modern yang selama ini terkesan elite menjadi biasa saja dan tetap akrab.
Ini bisa dilihat dari nama-nama kegiatan mereka yang tidak umum, nyleneh, seperti Jazz Ngisor Ringin, Saben Senen, Ringin Condong, dan sebagainya. Jika di kota besar kehidupan musik jazz dikaitkan dengan menonton sambil minum bir di pub atau hotel, jazz pinggir ini meniadakan bir dan mengganti minuman dengan teh tubruk, kopi, jahe hangat, sampai beras kencur.
Etawa Jazz di Yogyakarta misalnya, lama main di Kedai Susu Kambing, kawasan ring road , sebelum kemudian pindah ke Warung Demit (warung hantu). Adakah minuman para jazzer pinggir itu bisa dipesan di kafé jazz Jakarta? Bicara kemampuan permainan musik jazz komunitas luar Jakarta termasuk juga KJK tentulah relatif. Harus bijak memahami mereka, sebab juga tidak mudah mendapatkan pendidikan musik jazz di kota-kota kecil secara langsung.
Keberadaan internet sangat membantu, tetapi pelajaran efektif adalah jika bisa bertemu guru yang paham atau sang bintang dari kota besar apalagi luar negeri. Namun, juga tidak bisa dipungkiri pianis seperti Yohanes Gondo dari Yogya yang berguru kepada Bubi Chen di Surabaya atau saxophonist Aswin Dzulfikar dari Jombang dan beberapa lainnya memiliki permainan cukup bagus dalam jazz.
Sayang, mereka belum dilirik musisi senior Jakarta untuk diajak main sehingga masih sekadar main untuk komunitasnya atau acara khusus. Jika musik jazz ingin semakin berkembang dan lebih baik, memang, kepedulian musisi senior tidak bisa dipungkiri, mereka perlu menyapa musisi muda. Kelemahan yang juga terjadi adalah para pemusik jazz luar Jakarta sering terkesan minder berkenalan dan bermain dengan nama besar atau jazz senior. Ini sebuah masalah yang harus dihilangkan.
Beben Jazz sering sebagai jembatan, tetapi tentu tidak bisa selalu dan semua. Padahal, musisi besar seperti Idang Rasidi, Benny Likumahua, Benny Musatafa, Jefry Tahalele, dan lainnya terbuka kepada anak muda. Hal itu bisa dilihat di Java Jazz Festival mereka tampil di panggung dengan musisi muda. Pihak Java Jazz Festival dan festival lainnya semestinya juga punya perhatian kepada kehidupan komunitas-komunitas jazz di kota-kota kecil di Indonesia.
Betul bahwa festival mereka besar, faktanya banyak dihadiri penonton, tetapi keberadaan komunitas kecil tetap ikut membantu memperkenalkan musik jazz kepada masyarakat, kemudian mereka datang menonton.
Selain menggelar festival, ada baiknya juga menyelenggarakan diskusi-diskusi di kalangan komunitas jazz menghadirkan musisi senior atau mereka yang bisa menjelaskan tentang jazz. Memberikan panggung khusus untuk komunitas jazz Indonesia di festival agar bersemangat dan jazz semakin hidup merupakan langkah terpuji. Meskipun hanya panggung kecil di sudut arena.
Eddy Koko
Penikmat Musik Jazz
Komunitas banyak uang yang suka dansa-dansi ini menggelar acara jazz menghadirkan hampir semua musisi jazz senior Indonesia.
Dahsyat! Selesai acara musik jazz jam 22.30 langsung grup rock n roll beraksi mengiringi mereka melantai. Saat komunitas jetset berdansa, para musisi jazz berkemas pulang karena sudah selesai tugasnya. Namun, tidak ada Indra Lesmana dan musisi seangkatanya dalam panggung jazz malam itu.
Maka muncul pertanyaan, adakah jarak antara yang senior dan junior dalam kehidupan musik jazz di Indonesia? Hanya mereka yang bisa menjawab. Sementara pada saat yang sama, sore hari, sekelompok kecil anak belia duduk di lantai sudut garasi mobil, di gang sempit kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, mendengarkan Beben Supendi Mulyana bercerita tentang musik jazz.
Selain cerita jazz, mereka belajar bermain musik jazz, kemudian menonton film tentang legenda jazz. Kegiatan ini dikenal dengan nama Komunitas Jazz Kemayoran (KJK) dan sampai sekarang kegiatan di gang sempit itu masih berjalan secara rutin. Jumlah yang hadir juga semakin banyak sehingga Beben harus menggelar di beberapa tempat untuk memudahkan para pemula ikutan berjazz.
Beben Supendi usianya sekarang 48 tahun, awalnya adalah atlet nasional bulutangkis lulusan SMA Ragunan. Tidak banyak yang tahu ceritanya kemudian dia banting setir menekuni musik jazz, bahkan bisa dikatakan total jazz. Hidup Beben seakan hanya untuk jazz. Bukan hanya bermain jazz untuk diri sendiri, juga untuk orang lain dengan mengajar bagaimana bermain musik jazz dan sejarah jazz.
Dalam setiap penampilan di panggung atau di mana pun hadir, Beben berusaha menyelipkan cerita sejarah lagu yang dimainkan, aliran musiknya, pencipta, sampai chord yang dipakai. Cara ini langka dilakukan musisi jazz lainnya dan semakin membuat anak muda yang menonton menjadi tertarik pada jazz. Pada kemudian hari anggota KJK semakin banyak dan meluas ke luar Jakarta, terdiri atas pelajar, dokter, sampai seorang Umar, anggota Brimob yang rajin datang menenteng gitar memainkan jazz standar di KJK, menjuluki Beben dengan Beben Jazz.
Apa yang bisa dilihat dari upaya total seorang Beben Jazz adalah tanpa dirasakan, diakui atau tidak, semakin banyak komunitas jazz tumbuh di kotakota kecil luar Jakarta dan Bandung. Beben tidak segan diundang, kadang tanpa bayar, ke kota-kota kecil untuk mengajar dan bicara jazz di depan komunitas kampung.
Beben seakan tidak terganggu ingar-bingar acara jazz di kalangan para senior dan memilih, apa yang disebut dengan ,”main pinggir”. Kenyataannya, saat ini perkembangan musik jazz tidak melulu berada di pusat kota atau Jakarta, justru marak dan hidup lewat desa-desa kemudian merangsek ke Jakarta. Kehidupan komunitas jazz seperti yang dilakukan Beben bisa dilihat, seperti di Semarang ada komunitas jazz Sor Ringin (ngisor ringin atau di bawah pohon beringin), Jazz Ben Senen Yogya (Saben Senen atau setiap Senin), Jazz Ringin Condong, Jombang, Korek Jazz (komunitas arek jazz) Surabaya, dan masih banyak lainnya.
Setidaknya kota kecil seperti Blitar, Sidoarjo, Banyuwangi, Purwokerto, Pekalongan, Tulungagung, Solo, dan masih banyak lainnya sampai ke seberang pulau Jawa di Makasar, Manado, Medan, Bangka memiliki komunitas jazz yang aktif dan “terkoneksi” dengan sesama komunitas lainnya. Bukan hanya komunitas yang hidup, tetapi festival tahunan di kota jauh dari Jakarta juga terus berjalan dan rutin, seperti Jazz Gunung, Ngayog Jazz, Banyuwangi Jazz, dan lainnya.
Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa musik jazz di Indonesia semakin berkembang. Beben merupakan salah satu tokoh yang layak mendapat bintang, terlepas dia tidak menyadari hal itu karena berangkat dari kecintaan dan bukan proses instan. Sungguh menarik mencermati kehidupan komunitas jazz di daerah. Mereka menjungkirbalikkan dunia jazz modern yang selama ini terkesan elite menjadi biasa saja dan tetap akrab.
Ini bisa dilihat dari nama-nama kegiatan mereka yang tidak umum, nyleneh, seperti Jazz Ngisor Ringin, Saben Senen, Ringin Condong, dan sebagainya. Jika di kota besar kehidupan musik jazz dikaitkan dengan menonton sambil minum bir di pub atau hotel, jazz pinggir ini meniadakan bir dan mengganti minuman dengan teh tubruk, kopi, jahe hangat, sampai beras kencur.
Etawa Jazz di Yogyakarta misalnya, lama main di Kedai Susu Kambing, kawasan ring road , sebelum kemudian pindah ke Warung Demit (warung hantu). Adakah minuman para jazzer pinggir itu bisa dipesan di kafé jazz Jakarta? Bicara kemampuan permainan musik jazz komunitas luar Jakarta termasuk juga KJK tentulah relatif. Harus bijak memahami mereka, sebab juga tidak mudah mendapatkan pendidikan musik jazz di kota-kota kecil secara langsung.
Keberadaan internet sangat membantu, tetapi pelajaran efektif adalah jika bisa bertemu guru yang paham atau sang bintang dari kota besar apalagi luar negeri. Namun, juga tidak bisa dipungkiri pianis seperti Yohanes Gondo dari Yogya yang berguru kepada Bubi Chen di Surabaya atau saxophonist Aswin Dzulfikar dari Jombang dan beberapa lainnya memiliki permainan cukup bagus dalam jazz.
Sayang, mereka belum dilirik musisi senior Jakarta untuk diajak main sehingga masih sekadar main untuk komunitasnya atau acara khusus. Jika musik jazz ingin semakin berkembang dan lebih baik, memang, kepedulian musisi senior tidak bisa dipungkiri, mereka perlu menyapa musisi muda. Kelemahan yang juga terjadi adalah para pemusik jazz luar Jakarta sering terkesan minder berkenalan dan bermain dengan nama besar atau jazz senior. Ini sebuah masalah yang harus dihilangkan.
Beben Jazz sering sebagai jembatan, tetapi tentu tidak bisa selalu dan semua. Padahal, musisi besar seperti Idang Rasidi, Benny Likumahua, Benny Musatafa, Jefry Tahalele, dan lainnya terbuka kepada anak muda. Hal itu bisa dilihat di Java Jazz Festival mereka tampil di panggung dengan musisi muda. Pihak Java Jazz Festival dan festival lainnya semestinya juga punya perhatian kepada kehidupan komunitas-komunitas jazz di kota-kota kecil di Indonesia.
Betul bahwa festival mereka besar, faktanya banyak dihadiri penonton, tetapi keberadaan komunitas kecil tetap ikut membantu memperkenalkan musik jazz kepada masyarakat, kemudian mereka datang menonton.
Selain menggelar festival, ada baiknya juga menyelenggarakan diskusi-diskusi di kalangan komunitas jazz menghadirkan musisi senior atau mereka yang bisa menjelaskan tentang jazz. Memberikan panggung khusus untuk komunitas jazz Indonesia di festival agar bersemangat dan jazz semakin hidup merupakan langkah terpuji. Meskipun hanya panggung kecil di sudut arena.
Eddy Koko
Penikmat Musik Jazz
(ars)