Bonus Demografi Bakal Untungkan Dunia Perfilman
A
A
A
JAKARTA - Bisnis perfilman yang belakangan terlihat semakin "lesu" diharapkan mampu bangkit kembali dengan adanya bonus demografi. Kondisi ini diperkirakan akan terjadi pada kurun 2020—2030.
Menurut Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar, momentum ini diharapkan mampu menghidupkan kembali gairah perfilman nasional.
"Bonus Demografi ini kan terjadi mayoritas di desa-desa, warga desa akan semakin didominasi penduduk produktif di masa yang akan datang," ungkap Marwan, saat menghadiri Gala Premiere Kok Putusin Gue?, yang dibintangi duo The Virgin di Epicentrum XXI, Kuningan Jakarta Selatan, Senin (9/3/2015) malam.
Indonesia diprediksi akan mendapat bonus demografi di tahun 2020-2030. Saat itu, penduduk dengan umur produktif sangat besar sementara usia muda semakin kecil dan usia lanjut belum banyak. Dilihat dari jumlahnya, penduduk usia produktif mencapai sekitar 180 juta, sementara non-produktif 60 juta.
Bonus demografi akan menghadapkan penduduk usia angkatan kerja (15—64 tahun) mencapai 70%. Sisanya, 30%, adalah penduduk yang tidak produktif (di bawah 15 tahun dan diatas 65 tahun).
Oleh karena itu, lanjut Marwan, kondisi tersebut seyogyanya bisa dimanfaatkan dengan menambah frekuensi penyanangan film di desa-desa dengan membuka layar tancap. "Saya sangat setuju dengan layar tancap. Itu sebagai cara utk menaikkan gairah perfilman nasional. Kenapa ibu-ibu sekarang suka nonton sinetron? Karena tidak ada pilihan lain," ujarnya.
Menurut dia, untuk memutar sebuah film tidak harus digelar secara permanen di pusat-pusat perbelanjaan seperti yang tersedia di kota-kota besar. Pasalnya, pemutaran film juga bisa dilakukan melalui layar tancap di desa.
"Ada mal atau tidak ada mal itu tak ada kaitannya dengan film. Apalagi bonus demograsi itu adanya di desa-desa atau daerah. Saya saat kecil di kecamatan saya ada dua bioskop, dan keduanya ramai dikunjungi warga," kenang Marwan.
Marwan berpendapat, produksi perfilman nasional belakangan ini cenderung mengalami kemunduran, baik dari segi bisnis maupun kualitas. Karena itu, dia juga berharap agar ke depan para pebisnis perfilman dapat menyajikan hasil karya yang dapat memberikan pembejalaran positif bagi masyarakat luas.
"Saya sendiri merasa kurang puas karena perkembangan industri perfilman yang lambat dan belum ada film spektakuler, seperti dulu ada film Cut Nyak Dien yang spektakuler. Jangan hanya film horor, harus ada edukasi yang terus menerus dikembangkan secara positif kepada masyarakat," papar Marwan.
Selain dapat menumbuhkan kembali gairah perfilman, penayangan film hingga tingkat desa juga diyakini mampu menyerap tenaga kerja yang secara otomatis akan menaikkan ekonomi masyarakat desa.
"Selain menyajikan hiburan bagi masyarakat desa, juga bisa menaikkan pendapatan bagi warga desa setempat. Karena itu, saya kira positif juga dibangun di daerah. Di sisi lain nanti juga sangat membantu sosialisasi program pemerintah," pungkas dia.
Menurut Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar, momentum ini diharapkan mampu menghidupkan kembali gairah perfilman nasional.
"Bonus Demografi ini kan terjadi mayoritas di desa-desa, warga desa akan semakin didominasi penduduk produktif di masa yang akan datang," ungkap Marwan, saat menghadiri Gala Premiere Kok Putusin Gue?, yang dibintangi duo The Virgin di Epicentrum XXI, Kuningan Jakarta Selatan, Senin (9/3/2015) malam.
Indonesia diprediksi akan mendapat bonus demografi di tahun 2020-2030. Saat itu, penduduk dengan umur produktif sangat besar sementara usia muda semakin kecil dan usia lanjut belum banyak. Dilihat dari jumlahnya, penduduk usia produktif mencapai sekitar 180 juta, sementara non-produktif 60 juta.
Bonus demografi akan menghadapkan penduduk usia angkatan kerja (15—64 tahun) mencapai 70%. Sisanya, 30%, adalah penduduk yang tidak produktif (di bawah 15 tahun dan diatas 65 tahun).
Oleh karena itu, lanjut Marwan, kondisi tersebut seyogyanya bisa dimanfaatkan dengan menambah frekuensi penyanangan film di desa-desa dengan membuka layar tancap. "Saya sangat setuju dengan layar tancap. Itu sebagai cara utk menaikkan gairah perfilman nasional. Kenapa ibu-ibu sekarang suka nonton sinetron? Karena tidak ada pilihan lain," ujarnya.
Menurut dia, untuk memutar sebuah film tidak harus digelar secara permanen di pusat-pusat perbelanjaan seperti yang tersedia di kota-kota besar. Pasalnya, pemutaran film juga bisa dilakukan melalui layar tancap di desa.
"Ada mal atau tidak ada mal itu tak ada kaitannya dengan film. Apalagi bonus demograsi itu adanya di desa-desa atau daerah. Saya saat kecil di kecamatan saya ada dua bioskop, dan keduanya ramai dikunjungi warga," kenang Marwan.
Marwan berpendapat, produksi perfilman nasional belakangan ini cenderung mengalami kemunduran, baik dari segi bisnis maupun kualitas. Karena itu, dia juga berharap agar ke depan para pebisnis perfilman dapat menyajikan hasil karya yang dapat memberikan pembejalaran positif bagi masyarakat luas.
"Saya sendiri merasa kurang puas karena perkembangan industri perfilman yang lambat dan belum ada film spektakuler, seperti dulu ada film Cut Nyak Dien yang spektakuler. Jangan hanya film horor, harus ada edukasi yang terus menerus dikembangkan secara positif kepada masyarakat," papar Marwan.
Selain dapat menumbuhkan kembali gairah perfilman, penayangan film hingga tingkat desa juga diyakini mampu menyerap tenaga kerja yang secara otomatis akan menaikkan ekonomi masyarakat desa.
"Selain menyajikan hiburan bagi masyarakat desa, juga bisa menaikkan pendapatan bagi warga desa setempat. Karena itu, saya kira positif juga dibangun di daerah. Di sisi lain nanti juga sangat membantu sosialisasi program pemerintah," pungkas dia.
(alv)