Ketika Coding Berkolaborasi dengan Seni

Selasa, 24 Maret 2015 - 11:39 WIB
Ketika Coding Berkolaborasi dengan Seni
Ketika Coding Berkolaborasi dengan Seni
A A A
SELAMA ini coding atau pemograman komputer dianggap sebagai hal yang rumit untuk dikerjakan. Melalui #WeSpeakCode, Microsoft Indonesia berupaya mengubah paradigma masyarakat awam terhadap hal itu.

Di era serba digital, masyarakat perlu tahu bahwa coding dapat dikolaborasikan dengan bidang non-teknologi. Mereka juga dapat menciptakan karya melalui coding, tidak sekadar jadi penikmat. Hal itu dibuktikan oleh Ayu Dyah Andari, seorang fashion designer, dan Dwika Putra, musisi dari AkustikAsik untuk membuat karya seni yang dikolaborasikan dengan coding hanya dalam 15 jam.

Hasilnya adalah Technoethnic, sebuah aplikasi yang menampilkan ragam pola untuk gaun dan SongFlake, aplikasi real-time yang dapat membentuk visualisasi tertentu sesuai alat musik yang dimainkan. Ayu, ibu dua anak itu, mulanya tidak pernah terbayang bagaimana profesinya sebagai fashion designer dapat dilebur dengan kegiatan coding yang biasa dilakukan oleh pengembang aplikasi itu.

Apalagi, perempuan cantik berhijab itu sama sekali tidak mempunyai latar belakang pendidikan ilmu teknologi informasi. ”Coding adalah hal baru bagi saya,” katanya. Ide membuat Technoethnic sendiri lahir dari problem yang dialaminya sehari-hari. Sebagai desainer ia direpotkan ketika harus menyesuaikan keinginan costumer yang spesifik, misalnya desain bordir di baju yang dipesan.

Apalagi ketika model bordir yang diinginkan memerlukan ukuran yang besar atau kecil. Maka harus digambar dulu secara manual, kemudian dicetak di satu skala, ditata dibajunya, lalu difoto dan diberikan kepada konsumen.

”Cukup memakan waktu,” katanya. Walau Technoethnic masih belum sempurna, namun secara fungsi efektif karena memberikan keleluasaan konsumen dalam menentukan pola sesuai yang diinginkan di gaunnya. ”Konsumen bisa menampilkan desainnya di busana yang diinginkan,” katanya.

Berbeda dengan Ayu, Dwika Putra yang lulusan teknologi informasi sudah akrab dengan coding. Tapi, ia tidak pernah serius karena lebih fokus pada karir di dunia musik. ”Tidak pernah terpikir bisa melebur coding dengan musik,” kata pria yang juga dikenal sebagai comic itu.

Aplikasi karyanya, SongFlake, mampu memberikan visualisasi dari musik yang sedang didengar. Diakui Dwika, ternyata coding tidak selalu untuk menghasilkan suatu yang berhubungan dengan IT. ”Orang yang tidak tersentuh dunia IT pun bisa melakukannya. Lewat coding kita dapat mengekspresikan ide,” katanya.

Co-Founder Coding Indonesia Wahyudi yang mendampingi Ayu dan Dwika melakukan coding 15 jam mengatakan bahwa coding adalah menciptakan imajinasi dan memecahkan masalah. ”Tanpa disadari setiap hari kita sudah melakukan coding, terutama untuk memecahkan masalah. Karena coding itu 70 persen berpikir dan hanya 30 persen menulis,” katanya.

Ia juga berharap anggapan coding hanya dilakukan oleh orang yang pintar matematika dan lulusan jurusan komputer dihapuskan. ”Karena kita melakukan coding sama dengan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari,” kata Wahyudi.

Community Affairs Manager Microsoft Indonesia Esther Sianipar menilai, Microsoft Indonesia telah mensosialisasikan manfaat coding bagi masyarakat sejak 2014 melalui code.org, sebuah website non-profit yang didedikasikan untuk memperluas partisipasi masyarakat dalam mempelajari ilmu komputer.

Hasil akhir yang dihasilkan dari project tersebut, yakni membuka jalan bahwa sebenarnya coding tidak hanya berhubungan dengan IT, tapi dengan berbagai macam bidang, termasuk seni.

Binti mufarida
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8871 seconds (0.1#10.140)