Kondisi Kantor Pengaruhi Kesehatan
A
A
A
Tingginya aktivitas menyebabkan rentan terhadap penyakit seperti flu dan batuk. Selain itu menurunnya daya tahan tubuh juga bisa disebabkan karena sick building syndrome.
Dalam kesehariannya, Keenan Pearce, creative entrepreneur, selalu disibukkan dengan urusan pekerjaan. Pekerjaannya di industri kreatif menuntutnya untuk selalu aktif dan berkarya. “Bagi saya, bekerja di industri kreatif tidak pernah berhenti untuk terus menghasilkan karya unik. Saya bekerja sering tidak mengenal waktu dan sering sekali ruangan yang digunakan tidak pernah berganti udara dari pagi sampai malam,” kata kakak dari artis Pevita Pearce ini.
Usai jam kerja, aktivitas Keenan masih terus berlanjut. Kegiatan yang beragam dan nonstop membuatnya rentan mengalami gangguan kesehatan seperti flu dan batuk. Keenan hanyalah mewakili profil kaum urban yang setiap harinya disibukkan dengan rutinitas. Kebanyakan mereka yang berada dalam usia produktif (20-35), umumnya memang memiliki kesibukan kerja yang sangat tinggi, diikuti dengan kehidupan sosial yang aktif.
Tingkat berkegiatan yang tinggi ini sangat memungkinkan mereka menjadi rentan terhadap penyakit. “Penyebab turunnya produktivitas sangat dekat dengan lingkungan kerja sehari-hari. Salah satu penyakit yang sering kali muncul karena imunitas yang sedang rendah adalah flu dan batuk. Saat musim sakit flu, sekitar 1/3 lingkungan kantor diendapi kuman penyebab sakit flu.
Terlebih lagi ruangan kantor yang sirkulasi udaranya buruk, ditambah dengan interaksi antarkaryawan yang sangat intens,” kata dr Nusye E Zamsiar MS SpOK, Ketua Umum Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (Perdoki), dalam acara talkshow “Maksimalkan Produktivitas sebagai Aktualisasi Diri”di Jakarta, yang disenggarakan Bayer. Meski begitu, lanjut Nusye, sebesar 80% pekerja bersikeras untuk tetap pergi bekerja ketika mereka sakit.
Kondisi ini justru menjadikan lingkungan kerja lebih mudah terkena virus dan bakteri. Dalam kesempatan tersebut, Nusye juga menerangkan mengenai sick building syndrome. Menurut dia, tubuh yang rentan terhadap penyakit, bukan saja karena daya tahan tubuh menurun, juga bisa karena kondisi gedung dan ruang kantor yang kurang baik.
Sick building syndrome mengacu pada sekumpulan gejala penyakit akibat bangunan yang kurang sehat. ”Terdapat empat faktor dari sick building syndrome, yakni faktor fisik, psikososial, kimia, dan ergonomi,” ujar Nusye. Adapun faktor fisik atau biologis terdiri atas kondisi fisik gedung atau ruang tempat karyawan bekerja.
Contohnya sinar lampu atau pencahayaan yang tidak pas untuk bekerja, suhu ruangan, radiasi, dan sebagainya. Sementara faktor kimia, di antaranya pemakaian pendingin udara. Perawatan pendingin udara yang tidak rutin akan menimbulkan banyak jamur dan tidak baik untuk kesehatan. Kemudian untuk faktor ergonomi adalah tata kerja dan juga alat yang digunakan.
Misalnya kursi yang digunakan pegawai haruslah yang nyaman dan alat kerja yang aman. Adapun faktor psikososial berhubungan dengan suasana lingkungan kerja yang baik. ”Hubungan antarrekan sekerja dan atasan juga harus terjalin dengan baik,” imbuh Nusye. Karena itu, ia mengimbau agar kalangan pekerja mewaspadai kondisi gedung atau ruangan tempat bekerja dengan selalu menjaga daya tahan tubuh.
”Gejala penyakit yang disebabkan sick building syndrome ini tergolong ringan, seperti flu, batuk, badan pegalpegal, sedikit demam, jadi sering diremehkan,” sebut Nusye. Menurut penelitian Perdoki, terjadi penurunan produktivitas 30% pada pekerja yang mengalami gejala sick building syndrome. Sick building syndrome dialami sekurangnya 50% pegawai perkantoran.
Sri noviarni
Dalam kesehariannya, Keenan Pearce, creative entrepreneur, selalu disibukkan dengan urusan pekerjaan. Pekerjaannya di industri kreatif menuntutnya untuk selalu aktif dan berkarya. “Bagi saya, bekerja di industri kreatif tidak pernah berhenti untuk terus menghasilkan karya unik. Saya bekerja sering tidak mengenal waktu dan sering sekali ruangan yang digunakan tidak pernah berganti udara dari pagi sampai malam,” kata kakak dari artis Pevita Pearce ini.
Usai jam kerja, aktivitas Keenan masih terus berlanjut. Kegiatan yang beragam dan nonstop membuatnya rentan mengalami gangguan kesehatan seperti flu dan batuk. Keenan hanyalah mewakili profil kaum urban yang setiap harinya disibukkan dengan rutinitas. Kebanyakan mereka yang berada dalam usia produktif (20-35), umumnya memang memiliki kesibukan kerja yang sangat tinggi, diikuti dengan kehidupan sosial yang aktif.
Tingkat berkegiatan yang tinggi ini sangat memungkinkan mereka menjadi rentan terhadap penyakit. “Penyebab turunnya produktivitas sangat dekat dengan lingkungan kerja sehari-hari. Salah satu penyakit yang sering kali muncul karena imunitas yang sedang rendah adalah flu dan batuk. Saat musim sakit flu, sekitar 1/3 lingkungan kantor diendapi kuman penyebab sakit flu.
Terlebih lagi ruangan kantor yang sirkulasi udaranya buruk, ditambah dengan interaksi antarkaryawan yang sangat intens,” kata dr Nusye E Zamsiar MS SpOK, Ketua Umum Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (Perdoki), dalam acara talkshow “Maksimalkan Produktivitas sebagai Aktualisasi Diri”di Jakarta, yang disenggarakan Bayer. Meski begitu, lanjut Nusye, sebesar 80% pekerja bersikeras untuk tetap pergi bekerja ketika mereka sakit.
Kondisi ini justru menjadikan lingkungan kerja lebih mudah terkena virus dan bakteri. Dalam kesempatan tersebut, Nusye juga menerangkan mengenai sick building syndrome. Menurut dia, tubuh yang rentan terhadap penyakit, bukan saja karena daya tahan tubuh menurun, juga bisa karena kondisi gedung dan ruang kantor yang kurang baik.
Sick building syndrome mengacu pada sekumpulan gejala penyakit akibat bangunan yang kurang sehat. ”Terdapat empat faktor dari sick building syndrome, yakni faktor fisik, psikososial, kimia, dan ergonomi,” ujar Nusye. Adapun faktor fisik atau biologis terdiri atas kondisi fisik gedung atau ruang tempat karyawan bekerja.
Contohnya sinar lampu atau pencahayaan yang tidak pas untuk bekerja, suhu ruangan, radiasi, dan sebagainya. Sementara faktor kimia, di antaranya pemakaian pendingin udara. Perawatan pendingin udara yang tidak rutin akan menimbulkan banyak jamur dan tidak baik untuk kesehatan. Kemudian untuk faktor ergonomi adalah tata kerja dan juga alat yang digunakan.
Misalnya kursi yang digunakan pegawai haruslah yang nyaman dan alat kerja yang aman. Adapun faktor psikososial berhubungan dengan suasana lingkungan kerja yang baik. ”Hubungan antarrekan sekerja dan atasan juga harus terjalin dengan baik,” imbuh Nusye. Karena itu, ia mengimbau agar kalangan pekerja mewaspadai kondisi gedung atau ruangan tempat bekerja dengan selalu menjaga daya tahan tubuh.
”Gejala penyakit yang disebabkan sick building syndrome ini tergolong ringan, seperti flu, batuk, badan pegalpegal, sedikit demam, jadi sering diremehkan,” sebut Nusye. Menurut penelitian Perdoki, terjadi penurunan produktivitas 30% pada pekerja yang mengalami gejala sick building syndrome. Sick building syndrome dialami sekurangnya 50% pegawai perkantoran.
Sri noviarni
(bbg)