Cerita Baru Hangatkan HUbungan Keluarga
A
A
A
BERTAHUN-TAHUNmenikah tak menjamin suami benar-benar “mengenal” istrinya, begitu pula sebaliknya. Hanya lewat keterbukaan, semua cerita mengenai pasangan dapat terungkap dan itu cuma bisa terjadi bila komunikasi di antara mereka berjalan baik.
Artis Mona Ratuliu dan Indra Brasco sudah menikah hampir 13 tahun. Namun, baru beberapa bulan lalu, Mona tahu kalau sang suami dulu merupakan seorang dancer dan pernah menjuarai sebuah turnamen tari se-Jawa-Bali. Cerita ini terungkap tanpa sengaja ketika putri sulung mereka, Davina, atau akrab dipanggil Mima, mengaku kesulitan melakukan sebuah gerakan tari modern.
“Lalu Yandanya yang memberi contoh, begini loh Mima, bisa kan? Nah, dari situ baru kami tahu kalau Mas Indra dulu seorang dancer . Ya sudah, berhubung kami suka malas berolahraga, akhirnya dance menjadi cara kami melakukan latihan fisik. Kami sekeluarga nge -dance ramai-ramai sebagai pengganti olahraga,” sebut Mona dalam talkshow bertema Sariwangi 15 Menit Cerita Baru di Jakarta, belum lama ini. Momen kebersamaan keluarga Mona dan Indra terjadi hampir tiap hari.
Di selasela kesibukannya bekerja, Indra selalu menyempatkan diri bertemu dan bercengkerama dengan anak-istri. Ditambah lagi, Mona juga terbilang rajin mengumpulkan keluarganya di rumah untuk ngobrol dan berbagi cerita. Salah satu yang terungkap dari aktivitas ini, antara lain, kini Indra dan Mona sadar kalau Mima ternyata memiliki minat serta bakat dalam membuat video sehingga bisa membantu sang putri mengembangkan kemampuannya itu.
Psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani mengatakan, kebersamaan dan komunikasi di dalam keluarga sangat penting demi menjaga keharmonisan keluarga itu sendiri. Namun, komunikasi tersebut harus benar-benar berkualitas, tanpa diinterupsi aktivitas lain, termasuk oleh penggunaan gadget . Psikolog yang akrab disapa Nina itu mengungkapkan, sebuah penelitian menyebut, ketika obrolan keluarga diinterupsi oleh gadget , kualitas hubungan akan terganggu.
“Saat keluarga sudah mau terbuka dan berbagi cerita, tiba-tiba terdengar suara gadget , entah gadget kita ataupun milik anggota keluarga yang lain, pasti akan membuyarkan apa yang mau kita sampaikan. Lupa jadinya. Kalau anak kita ekstrovert, gampang memancingnya untuk bercerita. Nah, kalau dia introvert, enggak bisa dong ceritanya keluar begitu saja. Butuh waktu untuk membuat dia mau bicara lagi,” tutur Nina pada kesempatan yang sama.
Menurut Nina, terkadang budaya ikut menghambat proses komunikasi ini. Ambil contoh masyarakat Batak, bisa dengan mudah berbicara apa saja, tapi tidak dengan orang Jawa yang tipikalnya lebih suka menahan omongan. Atau, bagaimana tanggapan lawan bicara, benar-benar mendengarkan atau tidak? “Kalau tanggapan lawan bicara kita dingin-dingin saja, ya kita jadi malas cerita. Sebaliknya, kalau dia terlihat antusias mendengarkan cerita kita, kita juga semakin terbuka bicaranya,” papar Nina.
Nina menambahkan, makna hear dan listen itu berbeda. Hear bisa dimaknai mendengar orang bercakap-cakap, tapi tidak menyimak apa yang dibicarakan. Sementara listen adalah kondisi seseorang betul-betul menyimak apa yang disampaikan oleh lawan bicaranya.
“Maka, kalau kita mau hubungan keluarga semakin hangat dan harmonis, jadilah seorang active listener. Hal itu bisa ditunjukkan melalui posisi tubuh kita yang mengarah pada lawan bicara. Bisa juga melalui kontak mata. Kontak mata ini penting supaya lawan bicara kita mau terbuka dan dia tahu kita pun siap mendengarkannya,” sebut Nina. Selain hal-hal tersebut, kelancaran komunikasi juga bisa dipengaruhi mindset kita. Kalau belum apa-apa, pikiran kita sudah “tertutup”, maka akan sulit mendengarkan obrolan lawan bicara dan cerita baru pun tidak bakal terungkap.
Lalu, lanjut Nina, jika lawan bicara sedang menceritakan sesuatu, ajukan pertanyaan yang relevan dengan apa yang diceritakannya itu. Bukan sebaliknya. Ambil contoh, ketika anak sedang bercerita tentang perilaku salah seorang temannya di sekolah, jangan lantas kita bertanya sudah mengerjakan PR belum? Pertanyaan itu kurang relevan bukan? Satu hal lagi, kalau si lawan bicara sudah memberikan sign agar ceritanya tidak diungkapkan kepada orang lain, lakukan itu.
“Jadi dia akan percaya sama kita dan mau bercerita lebih banyak lagi,” ujar Nina. Nina setuju meluangkan waktu minimal 15 menit dalam sehari cukup efektif untuk menggali cerita melalui komunikasi.
“Lewat ceritacerita baru yang ditemukan, seperti pengalaman unik, keinginan, hobi, kesukaan, cita-cita, keluarga akan semakin dekat dan harmonis sehingga tercipta komunikasi yang lebih bermakna. Lebih dari itu, anggota keluarga yang membuka diri secara mendalam dapat saling menghargai dan memahami lebih baik antara satu sama lain serta saling mendukung sebagai keluarga yang utuh,” sebut Nina.
Menjaga kehangatan dan keharmonisan keluarga juga menjadi komitmen SariWangi. Tahun ini adalah tahun ketiga kampanye 15 Menit Sehari dijalankan. Untuk tahun ini, SariWangi mendorong tiap keluarga untuk menggali dan berbagi cerita baru melalui komunikasi berkualitas, minimal 15 menit dalam sehari.
Titi s apridawaty
Artis Mona Ratuliu dan Indra Brasco sudah menikah hampir 13 tahun. Namun, baru beberapa bulan lalu, Mona tahu kalau sang suami dulu merupakan seorang dancer dan pernah menjuarai sebuah turnamen tari se-Jawa-Bali. Cerita ini terungkap tanpa sengaja ketika putri sulung mereka, Davina, atau akrab dipanggil Mima, mengaku kesulitan melakukan sebuah gerakan tari modern.
“Lalu Yandanya yang memberi contoh, begini loh Mima, bisa kan? Nah, dari situ baru kami tahu kalau Mas Indra dulu seorang dancer . Ya sudah, berhubung kami suka malas berolahraga, akhirnya dance menjadi cara kami melakukan latihan fisik. Kami sekeluarga nge -dance ramai-ramai sebagai pengganti olahraga,” sebut Mona dalam talkshow bertema Sariwangi 15 Menit Cerita Baru di Jakarta, belum lama ini. Momen kebersamaan keluarga Mona dan Indra terjadi hampir tiap hari.
Di selasela kesibukannya bekerja, Indra selalu menyempatkan diri bertemu dan bercengkerama dengan anak-istri. Ditambah lagi, Mona juga terbilang rajin mengumpulkan keluarganya di rumah untuk ngobrol dan berbagi cerita. Salah satu yang terungkap dari aktivitas ini, antara lain, kini Indra dan Mona sadar kalau Mima ternyata memiliki minat serta bakat dalam membuat video sehingga bisa membantu sang putri mengembangkan kemampuannya itu.
Psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani mengatakan, kebersamaan dan komunikasi di dalam keluarga sangat penting demi menjaga keharmonisan keluarga itu sendiri. Namun, komunikasi tersebut harus benar-benar berkualitas, tanpa diinterupsi aktivitas lain, termasuk oleh penggunaan gadget . Psikolog yang akrab disapa Nina itu mengungkapkan, sebuah penelitian menyebut, ketika obrolan keluarga diinterupsi oleh gadget , kualitas hubungan akan terganggu.
“Saat keluarga sudah mau terbuka dan berbagi cerita, tiba-tiba terdengar suara gadget , entah gadget kita ataupun milik anggota keluarga yang lain, pasti akan membuyarkan apa yang mau kita sampaikan. Lupa jadinya. Kalau anak kita ekstrovert, gampang memancingnya untuk bercerita. Nah, kalau dia introvert, enggak bisa dong ceritanya keluar begitu saja. Butuh waktu untuk membuat dia mau bicara lagi,” tutur Nina pada kesempatan yang sama.
Menurut Nina, terkadang budaya ikut menghambat proses komunikasi ini. Ambil contoh masyarakat Batak, bisa dengan mudah berbicara apa saja, tapi tidak dengan orang Jawa yang tipikalnya lebih suka menahan omongan. Atau, bagaimana tanggapan lawan bicara, benar-benar mendengarkan atau tidak? “Kalau tanggapan lawan bicara kita dingin-dingin saja, ya kita jadi malas cerita. Sebaliknya, kalau dia terlihat antusias mendengarkan cerita kita, kita juga semakin terbuka bicaranya,” papar Nina.
Nina menambahkan, makna hear dan listen itu berbeda. Hear bisa dimaknai mendengar orang bercakap-cakap, tapi tidak menyimak apa yang dibicarakan. Sementara listen adalah kondisi seseorang betul-betul menyimak apa yang disampaikan oleh lawan bicaranya.
“Maka, kalau kita mau hubungan keluarga semakin hangat dan harmonis, jadilah seorang active listener. Hal itu bisa ditunjukkan melalui posisi tubuh kita yang mengarah pada lawan bicara. Bisa juga melalui kontak mata. Kontak mata ini penting supaya lawan bicara kita mau terbuka dan dia tahu kita pun siap mendengarkannya,” sebut Nina. Selain hal-hal tersebut, kelancaran komunikasi juga bisa dipengaruhi mindset kita. Kalau belum apa-apa, pikiran kita sudah “tertutup”, maka akan sulit mendengarkan obrolan lawan bicara dan cerita baru pun tidak bakal terungkap.
Lalu, lanjut Nina, jika lawan bicara sedang menceritakan sesuatu, ajukan pertanyaan yang relevan dengan apa yang diceritakannya itu. Bukan sebaliknya. Ambil contoh, ketika anak sedang bercerita tentang perilaku salah seorang temannya di sekolah, jangan lantas kita bertanya sudah mengerjakan PR belum? Pertanyaan itu kurang relevan bukan? Satu hal lagi, kalau si lawan bicara sudah memberikan sign agar ceritanya tidak diungkapkan kepada orang lain, lakukan itu.
“Jadi dia akan percaya sama kita dan mau bercerita lebih banyak lagi,” ujar Nina. Nina setuju meluangkan waktu minimal 15 menit dalam sehari cukup efektif untuk menggali cerita melalui komunikasi.
“Lewat ceritacerita baru yang ditemukan, seperti pengalaman unik, keinginan, hobi, kesukaan, cita-cita, keluarga akan semakin dekat dan harmonis sehingga tercipta komunikasi yang lebih bermakna. Lebih dari itu, anggota keluarga yang membuka diri secara mendalam dapat saling menghargai dan memahami lebih baik antara satu sama lain serta saling mendukung sebagai keluarga yang utuh,” sebut Nina.
Menjaga kehangatan dan keharmonisan keluarga juga menjadi komitmen SariWangi. Tahun ini adalah tahun ketiga kampanye 15 Menit Sehari dijalankan. Untuk tahun ini, SariWangi mendorong tiap keluarga untuk menggali dan berbagi cerita baru melalui komunikasi berkualitas, minimal 15 menit dalam sehari.
Titi s apridawaty
(ars)