Shopping Addict

Jum'at, 10 April 2015 - 09:53 WIB
Shopping Addict
Shopping Addict
A A A
Di zaman modern ini bukan hanya narkoba dan miras yang parah menimbulkan kecanduan, shopping addict juga. Sama dengan kecanduan yang lainnya, shopping addict levelnya juga bisa berbeda-beda.

Dari yang bisa dimengerti, sampai yang jelas banget terlihat butuh psikolog atau psikiater. Kehabisan uang juga rasanya tidak bakalan sanggup menghentikannya, bahkan justru membuat korban semakin pintar dan kreatif agar tetap bisa berbelanja. Kecanduan belanja juga ada varianvariannya, misalnya kecanduan belanja tas, sepatu, bahkan baju anjing.

Kecanduan ini sering tidak bisa diterima logika. Contohnya nih, teman saya. Penampilannya terlihat sangat sederhana. Walaupun penghasilannya lebih banyak dari penghasilan seorang kepala cabang bank swasta senior, dia tidak memanjakan dirinya dengan barang-barang bermerek. Namun, jika Anda mengenalnya lebih jauh, ternyata dia kecanduan beli baju anjing.

Padahal, anjingnya hanya satu dan anjing kampung pula. Anehnya, sebagai pencinta anjing, saya melihat, sepertinya dia enggak cinta-cinta amat sama anjingnya. Pembantu yang selalu membawa anjingnya jalan-jalan setiap pagi, ke salon, memberi makan, dan jika saya main ke rumahnya, anjingnya lebih sering terlihat terikat daripada bermain bersama teman saya. Nah yang lebih aneh, anjingnya jarang terlihat memakai baju anjing yang dia beli.

Jadi, jelas kalau dia keranjingan bukan karena cinta banget sama anjingnya, tapi karena sangat menikmati beli baju anjing yang lucu. Dia suka cerita sama saya, ke mana-mana yang dia niat cari banget baik sebelum berangkat atau jika ada di suatu negara, pasti pet shop atau apa pun toko yang menjual baju anjing.

Pernah kejadian, saat dia mau pergi ke Jepang dan dia teringat ada “bahasan” tentang pet shop dan baju anjing di Tokyo dalam buku saya, Miss Jinjing Tokyo, dia langsung menghubungi saya untuk menanyakan alamat tokonya di daerah Odaiba. Pulangnya dia lapor membeli selusin baju anjing dan dia sangat menikmati aktivitas shopping baju anjing branded di tempat yang saya rekomendasikan.

Ironisnya, sampai detik ini saya tidak pernah melihat anjingnya memakai baju anjing yang dia beli di Odaiba. Pengakuan dosa, saya kecanduan beli sepatu ballerina flat Repetto, apalagi setelah brand ini membuka gerai di Jakarta, tambah akut deh. Dulu waktu toko terdekatnya masih di Singapura, level kecanduannya masih dalam batas yang bisa diterima.

Tapi sekarang, setiap ada duit lebih, bawaannya mau langsung dibeliin sepatu ini, bukan karena tergoda display tokonya yang girly banget, tapi saya yang menjebakkan diri masuk ke dalam toko itu. Jadilah saya punya banyak, tapi penampakannya semua mirip, kecuali warnanya dan haknya. Orang sering melihat dan komentar keheranan, melihat tingkah saya yang happy banget kalau lagi “main” ke toko ini, seperti anak kecil yang happy banget dibeliin sepatu baru karena mau Lebaran.

Sahabat pernah komentar melihat betapa bingungnya saya punya sebaris sepatu yang modelnya sama semua, kecuali warnanya, tapi tetap saja saya pengin selalu beli dan beli. Sulit dimengerti sahabat saya. Saya punya empat pasang sepatu yang modelnya sama semua, warnanya pun sama, hitam dan yang membedakannya hanya material kulitnya. Ada yang patent leather, croco embossed, dan yang matte.

Pembelaan diri saya, bukan salah saya, tapi salah tuh brand lah, kenapa semua sepatunya “lucu banget” dan seakan menjerit memanggil-manggil minta dibeli. Sampai sekarang dia tidak mengerti terminologi “lucu” dalam urusan beli sepatu. Buat dia, lucu itu film kartun atau komik Jepang kesayangannya. Sekarang saya lagi termimpi-mimpi membeli sepatu ballerina Reppeto edisi terbatas film Cinderella.

Edisi sangat terbatas ini belum masuk ke Indonesia dan saya sudah titip sama sahabat-sahabat saya yang bermukim di luar negeri. Saking penginnya, pernah terbawa mimpi, lagi beli sepatu itu di gerainya di Paris. Deuh , indah banget mimpinya! Setiap kecanduan, pasti ada kepercayaannya sendiri-sendiri yang bisa membuat Anda menjadi begitu fanatik dan tidak ingin kecanduan itu terobati karena Anda sangat menikmati kecanduan itu.

Misalnya, buat saya, sepatu paling nyaman di dunia itu, ya Repetto. Setiap mau beli sepatu, saya pegang kulit luarnya, kulit pelapis dalamnya, tetap saja sugesti sepatu paling nyaman itu ya Repetto. Gawat banget kan! Padahal, saya yakin kok, ada banyak sepatu sejenis yang nyaman juga sebenarnya. Namun, sugesti itu begitu kuat.

Sama halnya jika Anda kecanduan membeli tas branded, seperti seorang sahabat saya yang memiliki ratusan tas LV, dia bilang, sugesti paling parah dari membeli tas branded , saat Anda tidak memakainya, Anda merasa tidak “confidence” keluar rumah karena tas branded dianggap dapat menaikkan tingkat rasa percaya diri sampai level maksimum.

Gawat kan! Kecanduan ini juga ada menimbulkan rasa kepercayaan akan kambuhannya. Bahwa setelah tas branded pertama yang Anda miliki, selalu akan ada yang berikutnya. Sama dengan kasus sepatu saya, setelah ada hitam, hijau, kuning, biru, dan pasti ada yang hitam lagi, hijau lagi dan selanjutnya. Saya seakan selalu membiarkan diri terjebak dalam jebakan “batman”.

Buat saya, jika seseorang membeli banyak tas branded supermahal, misalnya, dan dia membelinya sebagai “simbol” untuk mengejar status sosial atau gengsi di depan teman-temannya, itu bukan kecanduan, tapi kebutuhan. Anda membutuhkan barang-barang itu sebagai status simbol. Kecanduan itu murni untuk memenuhi atau mungkin lebih tepat kata “melampiaskan” nafsu yang jika tidak terpenuhi, Anda bisa bereaksi tertentu.

Misalnya jadi terbawa mimpi indah, atau malah utang sana sini demi dapat membeli barang itu. Berbeda dengan korban kecanduan narkoba dan miras yang banyak ingin diobati dan khusus mencari pengobatan, shopping addict tidak pernah merasa perlu diobati. Apalagi secara khusus mencari pengobatan. Karena saat berbelanja, di situlah dunia terlihat jadi lebih indah, bukan? Love, Miss Jinjing.

Miss Jinjing
Konsultan Fashion
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4104 seconds (0.1#10.140)