Mal Pinggiran
A
A
A
10 tahun lalu kalau berbicara soal jalan-jalan ke mal, masyarakat biasanya maunya main ke mal yang ada di tengah kota. Itu karena katanya lebih asyik, lebih ramai, dan lebih bergengsi.
Senayan City, Pondok Indah Mall, Mal Kelapa Gading, dan Grand Indonesia merupakan mal-mal yang rasanya tidak ada “matinya”. Eitsss… itu dulu, sekarang ceritanya sudah berubah drastis. Pengelola mal-mal di atas tidak boleh menutup mata, peta permainan sudah berubah!
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat kelas menengah Indonesia yang fantastis seiring dengan perkembangan bisnis properti yang begitu bergairah di pinggiran kota, ketersediaan lahan yang masih memungkinkan, sekarang mal-mal di daerah kota satelit (maaf, saya sebenarnya enggan menyebutkan daerah pinggiran!), luar biasa sekali perkembangannya.
Di lihat dari ukuran luas, mal-mal kota satelit ini, fantastis sekali luasnya. Bahkan, tidak kalah dari malmal yang ada di luar negeri. Coba deh Anda main-main ke Mal Alam Sutra, Mal SMS, Mal Lippo Karawaci, saking besarnya, rasanya Anda pengin banget jalanjalan di sana pakai sepatu roda atau naik mobil golf.
Mungkin lomba lari yang sekarang lagi hitsbanget, 5 K, 10 K sesekali harus diadakan di mal-mal gigantis seperti ini. Pasti seru banget, apalagi jika berhadiah voucher shopping. Semewah apa pun, sebesar apa pun, suatu mal tidak akan ada “harganya” jika tanpa “crowd” atau traffic pengunjung yang sebanding dengan luasannya.
Tanpa traffic, mal akan tidak ada bedanya sama kuburan. Tanpa trafficyang signifikan dan cocok dengan target pangsa pasar mal itu sendiri, harga sewa ruangan di mal itu tidak akan pernah bisa maksimal (mahalnya). Bicara soal traffic pengunjung , rasanya traffic di malmal yang ada di tengah kota Jakarta, tidak ada apaapanya dibandingkan mahadahsyat traffic-nya Mal Margo City, Summarecon Serpong, dan Mal Karawaci.
Coba deh Anda main ke Mal Margo City atau SMS atau Lippo Karawaci, ampun deh, macetnya luar biasa. Mau masuk saja susah, apalagi keluar dari mal, terutama saat akhir pekan. Tobat deh! Tapi herannya, orang-orang tidak ada yang kapok tuh walau harus menghabiskan waktu dan tenaga untuk hal-hal seperti ini.
Mal-mal itu tetap saja ramai pengunjung. Memang sih, harus ada pengujian khusus, apakah benar besarnya traffic berbanding lurus dengan besarnya nilai uang yang dibelanjakan per individu di mal itu.
Sering jadi pertanyaan, apakah jumlah pengunjung yang begitu banyak memang datang untuk berbelanja di toko-toko atau boutique yang ada di mal tersebut atau hanya cuci mata sekedar PPD, a.k.a , pegang-pegang doang, atau malah untuk sekadar ngopisegelas sambil kongkowkongkow bersama sahabat dan saudara berjam-jam di kedai kopi kesayangan.
Harus ada penelitian berapa uang (rata-rata) yang dibelanjakan setiap pengunjung yang masuk ke dalam suatu mal. Itu karena jumlah pengunjung dan besaran uang yang dibelanjakan setiap pengunjung sangat menentukan pendapatan mal tersebut dan juga sangat menentukan harga sewa setiap meter perseginya.
Mal yang sepi meskipun sangat mewah tanpa traffic pengunjung yang fantastis, tentu tidak akan bisa mematok sewa yang tinggi kepada tenant-nya. Itu karena tenantpasti bertanya, mana crowd-nya? Seberapa besar sih trafficdi mal ini? Jika sebuah mal sepi, yang ada malah “dikerjain” sama anchor tenant-nya, mulai dari diminta lapak gratisan sampai harga sewa yang sangat murah.
Traffic pengunjung yang tinggi dan keterbatasan lahan parkir juga menentukan besaran tarif parkir yang semakin hari semakin mahal dan sering membuat kita kaget. Walaupun sebenarnya tarif parkir di Jakarta masih termasuk murah dibandingkan di negara-negara tetangga.
Ini belum termasuk harga tarif parkir valet yang semakin hari semakin bikin perut saya mulas saking mahalnya, terutama di mal-mal yang ada di kawasan Sudirman dan Thamrin. Traffic pengunjung yang tinggi juga bukan saja menentukan harga sewa toko dan parkir yang gilagilaan, juga tarif billboard, signage dan tarif sewa untuk pameran atau event.
Harga sewa untuk pameran di malmal ini tidak kalah loh mahalnya dengan mal-mal yang ada di tengah kota dan daftar antreannya juga panjang banget dan FYI. Tidak ada tuh judulnya bisa tawar menawar untuk urusan beginian. Kalau Anda tidak mau, masih banyak yang lain yang ngantremau nyewa, bukan hanya Anda.
Meski semakin hari tarif sewanya (belum termasuk sejumlah biaya tambahan) semakin mahal dan semakin tidak masuk akal, tetap saja para pemilik brandberebut tempat untuk berpromosi di malmal yang angka pengunjungnya sangat fantastis ini. Mal-mal ini juga sekarang tenant-nya kerenkerenlah, beda banget sama lima tahun lalu. Dulu mana mungkin lah kita lihat high streetatau bahkan high end brand internasional di sana.
Sekarang, mau brandapa saja juga ada, tidak kalah lengkap. Malah, kalau lagi sale, pasti pengunjungnya lebih ramai dari yang ada di mal-mal sekelasnya di tengah kota. Dandanan pengunjungnya sekarang juga sudah tidak kalah keren dan kalah heboh dengan yang bisa kita jumpai di mal yang ada di daerah Sudirman dan Thamrin.
Frekuensi kunjungan mereka ke mal malah lebih sering dari pengunjung yang di tengah kota. Entah karena kurang hiburan, atau malas bermacet-macetan ke tengah kota atau memang tidak ada pilihan lain di sekitarnya. Apa pun itu, tetap saja traffic pengunjung itu di atas segalanya buat sebuah mal.
Jadi, kalau Anda pemilik brandatau butik, ayooo dong, ada ‘’option‘’ baru dalam melebarkan usaha Anda. Indonesia tidak hanya Jakarta, tidak hanya seluas Sudirman, Thamrin, dan Kuningan loh. Happy Shopping
Miss Jinjing
Konsultan Fashion
Senayan City, Pondok Indah Mall, Mal Kelapa Gading, dan Grand Indonesia merupakan mal-mal yang rasanya tidak ada “matinya”. Eitsss… itu dulu, sekarang ceritanya sudah berubah drastis. Pengelola mal-mal di atas tidak boleh menutup mata, peta permainan sudah berubah!
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat kelas menengah Indonesia yang fantastis seiring dengan perkembangan bisnis properti yang begitu bergairah di pinggiran kota, ketersediaan lahan yang masih memungkinkan, sekarang mal-mal di daerah kota satelit (maaf, saya sebenarnya enggan menyebutkan daerah pinggiran!), luar biasa sekali perkembangannya.
Di lihat dari ukuran luas, mal-mal kota satelit ini, fantastis sekali luasnya. Bahkan, tidak kalah dari malmal yang ada di luar negeri. Coba deh Anda main-main ke Mal Alam Sutra, Mal SMS, Mal Lippo Karawaci, saking besarnya, rasanya Anda pengin banget jalanjalan di sana pakai sepatu roda atau naik mobil golf.
Mungkin lomba lari yang sekarang lagi hitsbanget, 5 K, 10 K sesekali harus diadakan di mal-mal gigantis seperti ini. Pasti seru banget, apalagi jika berhadiah voucher shopping. Semewah apa pun, sebesar apa pun, suatu mal tidak akan ada “harganya” jika tanpa “crowd” atau traffic pengunjung yang sebanding dengan luasannya.
Tanpa traffic, mal akan tidak ada bedanya sama kuburan. Tanpa trafficyang signifikan dan cocok dengan target pangsa pasar mal itu sendiri, harga sewa ruangan di mal itu tidak akan pernah bisa maksimal (mahalnya). Bicara soal traffic pengunjung , rasanya traffic di malmal yang ada di tengah kota Jakarta, tidak ada apaapanya dibandingkan mahadahsyat traffic-nya Mal Margo City, Summarecon Serpong, dan Mal Karawaci.
Coba deh Anda main ke Mal Margo City atau SMS atau Lippo Karawaci, ampun deh, macetnya luar biasa. Mau masuk saja susah, apalagi keluar dari mal, terutama saat akhir pekan. Tobat deh! Tapi herannya, orang-orang tidak ada yang kapok tuh walau harus menghabiskan waktu dan tenaga untuk hal-hal seperti ini.
Mal-mal itu tetap saja ramai pengunjung. Memang sih, harus ada pengujian khusus, apakah benar besarnya traffic berbanding lurus dengan besarnya nilai uang yang dibelanjakan per individu di mal itu.
Sering jadi pertanyaan, apakah jumlah pengunjung yang begitu banyak memang datang untuk berbelanja di toko-toko atau boutique yang ada di mal tersebut atau hanya cuci mata sekedar PPD, a.k.a , pegang-pegang doang, atau malah untuk sekadar ngopisegelas sambil kongkowkongkow bersama sahabat dan saudara berjam-jam di kedai kopi kesayangan.
Harus ada penelitian berapa uang (rata-rata) yang dibelanjakan setiap pengunjung yang masuk ke dalam suatu mal. Itu karena jumlah pengunjung dan besaran uang yang dibelanjakan setiap pengunjung sangat menentukan pendapatan mal tersebut dan juga sangat menentukan harga sewa setiap meter perseginya.
Mal yang sepi meskipun sangat mewah tanpa traffic pengunjung yang fantastis, tentu tidak akan bisa mematok sewa yang tinggi kepada tenant-nya. Itu karena tenantpasti bertanya, mana crowd-nya? Seberapa besar sih trafficdi mal ini? Jika sebuah mal sepi, yang ada malah “dikerjain” sama anchor tenant-nya, mulai dari diminta lapak gratisan sampai harga sewa yang sangat murah.
Traffic pengunjung yang tinggi dan keterbatasan lahan parkir juga menentukan besaran tarif parkir yang semakin hari semakin mahal dan sering membuat kita kaget. Walaupun sebenarnya tarif parkir di Jakarta masih termasuk murah dibandingkan di negara-negara tetangga.
Ini belum termasuk harga tarif parkir valet yang semakin hari semakin bikin perut saya mulas saking mahalnya, terutama di mal-mal yang ada di kawasan Sudirman dan Thamrin. Traffic pengunjung yang tinggi juga bukan saja menentukan harga sewa toko dan parkir yang gilagilaan, juga tarif billboard, signage dan tarif sewa untuk pameran atau event.
Harga sewa untuk pameran di malmal ini tidak kalah loh mahalnya dengan mal-mal yang ada di tengah kota dan daftar antreannya juga panjang banget dan FYI. Tidak ada tuh judulnya bisa tawar menawar untuk urusan beginian. Kalau Anda tidak mau, masih banyak yang lain yang ngantremau nyewa, bukan hanya Anda.
Meski semakin hari tarif sewanya (belum termasuk sejumlah biaya tambahan) semakin mahal dan semakin tidak masuk akal, tetap saja para pemilik brandberebut tempat untuk berpromosi di malmal yang angka pengunjungnya sangat fantastis ini. Mal-mal ini juga sekarang tenant-nya kerenkerenlah, beda banget sama lima tahun lalu. Dulu mana mungkin lah kita lihat high streetatau bahkan high end brand internasional di sana.
Sekarang, mau brandapa saja juga ada, tidak kalah lengkap. Malah, kalau lagi sale, pasti pengunjungnya lebih ramai dari yang ada di mal-mal sekelasnya di tengah kota. Dandanan pengunjungnya sekarang juga sudah tidak kalah keren dan kalah heboh dengan yang bisa kita jumpai di mal yang ada di daerah Sudirman dan Thamrin.
Frekuensi kunjungan mereka ke mal malah lebih sering dari pengunjung yang di tengah kota. Entah karena kurang hiburan, atau malas bermacet-macetan ke tengah kota atau memang tidak ada pilihan lain di sekitarnya. Apa pun itu, tetap saja traffic pengunjung itu di atas segalanya buat sebuah mal.
Jadi, kalau Anda pemilik brandatau butik, ayooo dong, ada ‘’option‘’ baru dalam melebarkan usaha Anda. Indonesia tidak hanya Jakarta, tidak hanya seluas Sudirman, Thamrin, dan Kuningan loh. Happy Shopping
Miss Jinjing
Konsultan Fashion
(ftr)