Perlukah Suplemen Vitamin D
A
A
A
KURANGNYA vitamin D dalam tubuh sering dikaitkan dengan penyakit kanker, kelainan jantung, diabetes, demensia (pikun), dan radang sendi. Apakah paparan sinar matahari dan minyak ikan saja cukup memenuhi kebutuhan kalsium? Atau haruskah mengonsumsi suplemen?
Beberapa waktu lalu, The Guardian melansir hasil penelitian yang diterbitkan dalam American Journal of Clinical Oncology. Hasil temuan tersebut mengungkapkan bahwa orang yang kekurangan vitamin D dalam tubuhnya disinyalir dapat mengalami kematian dini atau terserang limfoma non-hodgkinlebih awal. Limfomaadalah jenis kanker darah yang berawal dari limfosit dari dalam sistem limfatik.
Universitas Florida juga menunjukkan bahwa suplemen vitamin D mengurangi rasa sakit dan meningkatkan fungsi organ pada orang yang menderita obesitas dengan osteoarthritis. Sebaliknya, para ilmuwan Finlandia menetapkan bahwa olahraga mengurangi cedera akibat jatuh pada wanita berumur tujuh puluh tahun secara signifikan lebih dari manfaat suplemen vitamin D.
Kekurangan vitamin D diyakini dikaitkan dengan berbagai kondisi, termasuk pada kanker payudara, usus, paru-paru dan prostat, penyakit jantung, diabetes tipe 2, demensia, dan rheumatoid arthritis. Vitamin D sangat penting untuk penyerapan kalsium. Namun, beberapa orang di belahan bumi utara tidak mendapatkan paparan sinar matahari yang cukup untuk menghasilkan apa yang mereka butuhkan, atau asupan harian mereka tidak melengkapi kebutuhan harian mereka (minyak ikan adalah salah satu sumber terbaik).
Kekhawatiran tersebut akhirnya mengakibatkan kapsul vitamin D bermunculan sebagai pilihan gaya hidup. Suplemen dosis (400IU untuk anak-anak, 1,000iu untuk orang dewasa) justru membahayakan bagi tubuh, bahkan bisa menjadi racun. Percaya atau tidak, mengonsumsi suplemen hanyalah tindakan yang membuang-buang uang dan waktu. Pengecekan asupan vitamin D dalam darah, tentu membutuhkan biaya yang sangat mahal.
Sederhananya, pengecekan dapat dilakukan dengan memperkirakannya berdasarkan usia, paparan sinar matahari, warna kulit, dan pola makan. Meskipun kebanyakan orang mengetahui tingkat vitamin D dalam tubuh mereka, beberapa ahli menyetujui setiap orang memiliki kecenderungan akan kekurangan, cukup, atau terlalu banyak asupan vitamin D.
“Kami tahu bahwa darah yang berada di bawah level, katakanlah, 30nmol/liter, memiliki risiko tinggi rakhitisdan yang setara dewasa, osteomalacia,” kata Kay- Tee Khaw, dari departemen kesehatan masyarakat dan perawatan primer University of Department Cambridge. “Semua orang setuju jika memiliki asupan vitamin D rendah, maka harus dilengkapi dengan suplemen,” imbuhnya.
Perdebatan akhirnya jatuh di tingkat menengah, antara 30 dan 100nmol / liter. Seorang pakar akademis di bidang ini, yang memilih untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan memilih untuk tidak menambahkan suplemen pada anakanaknya karena lebih memilih untuk fokus pada diet dan gaya hidup sehat. Dia mengibaratkan kenaikan suplemen vitamin D untuk status antioksidan baru-baru ini terbantahkan sebagai “suplemen ajaib”.
Olahraga dapat menjadi salah satu cara yang dapat diambil sehingga tidak dibutuhkan lagi suplemen tambahan. Kadar vitamin D di bawah 30nmol/liter menyebabkan otot menjadi lemah. “30- 50nmol/liter mungkin sedikit di bawah optimal, yang mana sebagian besar dari kita, dan beberapa orang berpikir bahwa kadar darah harus di atas 50,” kata Khaw.
“Pertanyaannya, jika angka menunjukkan 50 sampai 100, apakah angka tersebut lebih baik untuk otot-otot? Itu sangat kontroversial. Tidak ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa level atas lebih baik untuk otot-otot,” sebutnya. Pemerintah menganjurkan bagi wanita hamil dan menyusui, yang berusia lebih dari 65 tahun, dan anak-anak yang berusia dari enam bulan sampai lima tahun harus mengonsumsi suplemen vitamin D.
Meskipun resep dapat dengan bebas dijangkau oleh kelompok ini, vitamin sering tidak dimasukkan karena mereka tidak digolongkan sebagai obat. Dr Benjamin Jacobs, seorang konsultan dokter anak di rumah sakit ortopedi Royal National di London, memperingatkan bahwa suplemen dan informasi gagal mencakup pada mereka yang paling membutuhkan.
“Seorang bayi lahir dengan baik sehingga tidak diprediksi mengalami masalah apa pun, sampai suatu hari ia mulai memiliki kejang-kejang,” kata Dr Benjamin Jacobs. Ia menggambarkan kondisi langka yang dihasilkan dari kekurangan vitamin D. Anak itu segera dilarikan dengan ambulans, “badannya membiru, sadar, dan kejang-kejang”.
Setelah tes dilakukan, anak itu diagnosis kejang-kejang akibat hypocalcemic, dan pengobatan cepat dengan memberikan vitamin D dan kalsium sebagai tindakan akhir. Namun, jika diagnosis dan pengobatan datang terlambat, anak bisa mengalami kerusakan otak. Inggris menempatkan insiden kejang hypocalcemic sebanyak 3,15 anak dalam satu juta. Namun laporan anekdotal menunjukkan kondisi ini meningkat.
Hal ini justru paling sering terjadi pada anak laki-laki dan anak-anak selatan Asia atau etnis kulit hitam. Rakhitisadalah penyakit masa kanakkanak yang lebih umum yang diakibatkan dari kekurangan vitamin D yang parah. Lancet tahun lalu memperkirakan bahwa kasus ini telah meningkat sejak tahun 2000.
Namun, Royal College of Pediatricsmelaporkan bahwa ada kesenjangan dalam penelitian tentang definisi, insiden, dan prevalensi defisiensi, dan apakah itu masalah yang terus berkepanjangan. Ia juga mengatakan penelitian lanjutan diperlukan untuk menjelaskan kontribusi yang paparan sinar matahari insidental memiliki produksi vitamin D untuk jenis kulit yang berbeda di Inggris..
Sementara itu, para profesional kesehatan seperti Jacobs menyerukan agar pemerintah menyerukan tentang standar asupan suplemen untuk diperbarui. “Bayi yang telah diperlakukan sesuai dengan kebijakan nasional menderita kejang hypocalcemickarena mereka baru berusia dua atau empat bulan ketika hal ini terjadi,” katanya.
Amerika Serikat dan beberapa negara Nordic menambahkan vitamin D pada susu. Namun, sejauh ini pemerintah Inggris belum menemukan cukup bukti untuk membenarkan suplemen universal tersebut.
Larissa huda
Beberapa waktu lalu, The Guardian melansir hasil penelitian yang diterbitkan dalam American Journal of Clinical Oncology. Hasil temuan tersebut mengungkapkan bahwa orang yang kekurangan vitamin D dalam tubuhnya disinyalir dapat mengalami kematian dini atau terserang limfoma non-hodgkinlebih awal. Limfomaadalah jenis kanker darah yang berawal dari limfosit dari dalam sistem limfatik.
Universitas Florida juga menunjukkan bahwa suplemen vitamin D mengurangi rasa sakit dan meningkatkan fungsi organ pada orang yang menderita obesitas dengan osteoarthritis. Sebaliknya, para ilmuwan Finlandia menetapkan bahwa olahraga mengurangi cedera akibat jatuh pada wanita berumur tujuh puluh tahun secara signifikan lebih dari manfaat suplemen vitamin D.
Kekurangan vitamin D diyakini dikaitkan dengan berbagai kondisi, termasuk pada kanker payudara, usus, paru-paru dan prostat, penyakit jantung, diabetes tipe 2, demensia, dan rheumatoid arthritis. Vitamin D sangat penting untuk penyerapan kalsium. Namun, beberapa orang di belahan bumi utara tidak mendapatkan paparan sinar matahari yang cukup untuk menghasilkan apa yang mereka butuhkan, atau asupan harian mereka tidak melengkapi kebutuhan harian mereka (minyak ikan adalah salah satu sumber terbaik).
Kekhawatiran tersebut akhirnya mengakibatkan kapsul vitamin D bermunculan sebagai pilihan gaya hidup. Suplemen dosis (400IU untuk anak-anak, 1,000iu untuk orang dewasa) justru membahayakan bagi tubuh, bahkan bisa menjadi racun. Percaya atau tidak, mengonsumsi suplemen hanyalah tindakan yang membuang-buang uang dan waktu. Pengecekan asupan vitamin D dalam darah, tentu membutuhkan biaya yang sangat mahal.
Sederhananya, pengecekan dapat dilakukan dengan memperkirakannya berdasarkan usia, paparan sinar matahari, warna kulit, dan pola makan. Meskipun kebanyakan orang mengetahui tingkat vitamin D dalam tubuh mereka, beberapa ahli menyetujui setiap orang memiliki kecenderungan akan kekurangan, cukup, atau terlalu banyak asupan vitamin D.
“Kami tahu bahwa darah yang berada di bawah level, katakanlah, 30nmol/liter, memiliki risiko tinggi rakhitisdan yang setara dewasa, osteomalacia,” kata Kay- Tee Khaw, dari departemen kesehatan masyarakat dan perawatan primer University of Department Cambridge. “Semua orang setuju jika memiliki asupan vitamin D rendah, maka harus dilengkapi dengan suplemen,” imbuhnya.
Perdebatan akhirnya jatuh di tingkat menengah, antara 30 dan 100nmol / liter. Seorang pakar akademis di bidang ini, yang memilih untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan memilih untuk tidak menambahkan suplemen pada anakanaknya karena lebih memilih untuk fokus pada diet dan gaya hidup sehat. Dia mengibaratkan kenaikan suplemen vitamin D untuk status antioksidan baru-baru ini terbantahkan sebagai “suplemen ajaib”.
Olahraga dapat menjadi salah satu cara yang dapat diambil sehingga tidak dibutuhkan lagi suplemen tambahan. Kadar vitamin D di bawah 30nmol/liter menyebabkan otot menjadi lemah. “30- 50nmol/liter mungkin sedikit di bawah optimal, yang mana sebagian besar dari kita, dan beberapa orang berpikir bahwa kadar darah harus di atas 50,” kata Khaw.
“Pertanyaannya, jika angka menunjukkan 50 sampai 100, apakah angka tersebut lebih baik untuk otot-otot? Itu sangat kontroversial. Tidak ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa level atas lebih baik untuk otot-otot,” sebutnya. Pemerintah menganjurkan bagi wanita hamil dan menyusui, yang berusia lebih dari 65 tahun, dan anak-anak yang berusia dari enam bulan sampai lima tahun harus mengonsumsi suplemen vitamin D.
Meskipun resep dapat dengan bebas dijangkau oleh kelompok ini, vitamin sering tidak dimasukkan karena mereka tidak digolongkan sebagai obat. Dr Benjamin Jacobs, seorang konsultan dokter anak di rumah sakit ortopedi Royal National di London, memperingatkan bahwa suplemen dan informasi gagal mencakup pada mereka yang paling membutuhkan.
“Seorang bayi lahir dengan baik sehingga tidak diprediksi mengalami masalah apa pun, sampai suatu hari ia mulai memiliki kejang-kejang,” kata Dr Benjamin Jacobs. Ia menggambarkan kondisi langka yang dihasilkan dari kekurangan vitamin D. Anak itu segera dilarikan dengan ambulans, “badannya membiru, sadar, dan kejang-kejang”.
Setelah tes dilakukan, anak itu diagnosis kejang-kejang akibat hypocalcemic, dan pengobatan cepat dengan memberikan vitamin D dan kalsium sebagai tindakan akhir. Namun, jika diagnosis dan pengobatan datang terlambat, anak bisa mengalami kerusakan otak. Inggris menempatkan insiden kejang hypocalcemic sebanyak 3,15 anak dalam satu juta. Namun laporan anekdotal menunjukkan kondisi ini meningkat.
Hal ini justru paling sering terjadi pada anak laki-laki dan anak-anak selatan Asia atau etnis kulit hitam. Rakhitisadalah penyakit masa kanakkanak yang lebih umum yang diakibatkan dari kekurangan vitamin D yang parah. Lancet tahun lalu memperkirakan bahwa kasus ini telah meningkat sejak tahun 2000.
Namun, Royal College of Pediatricsmelaporkan bahwa ada kesenjangan dalam penelitian tentang definisi, insiden, dan prevalensi defisiensi, dan apakah itu masalah yang terus berkepanjangan. Ia juga mengatakan penelitian lanjutan diperlukan untuk menjelaskan kontribusi yang paparan sinar matahari insidental memiliki produksi vitamin D untuk jenis kulit yang berbeda di Inggris..
Sementara itu, para profesional kesehatan seperti Jacobs menyerukan agar pemerintah menyerukan tentang standar asupan suplemen untuk diperbarui. “Bayi yang telah diperlakukan sesuai dengan kebijakan nasional menderita kejang hypocalcemickarena mereka baru berusia dua atau empat bulan ketika hal ini terjadi,” katanya.
Amerika Serikat dan beberapa negara Nordic menambahkan vitamin D pada susu. Namun, sejauh ini pemerintah Inggris belum menemukan cukup bukti untuk membenarkan suplemen universal tersebut.
Larissa huda
(ftr)