Lingkungan dan Pola Konsumsi
A
A
A
Beberapa hari lalu, saya baru menyadari, sepertinya ada yang salah sama saya.
Sejak saya bertetangga dengan restoran padang yang buka 24 jam setiap hari, 7 hari dalam seminggu , mendadak saya jadi sering kelaparan tengah malam dan nyaris setiap malam niat banget keluar hanya untuk membeli nasi padang dengan lauk kesayangan saya, daging cincang, sambal cabai hijau dan sayur terong. Sebelumsebelumnya saya itu jarang banget menyantap makanan padang.
Fenomena seperti ini bukan terjadi untuk pertama kalinya. Sebelumnya sudah pernah terjadi beberapa kali. Sebelum bertetangga dengan restoran padang itu, tetangga saya, Apotek Century. Entah kenapa, padahal tidak sakit, saya jadi hampir setiap hari beli obat, padahal tidak merasa sakit. Ada saja obat yang saya beli. Aneh banget kan! Untung sekarang saya tidak bertetangga lagi dengan apotek. Asisten pribadi saya sempat complain karena sejak berkantor di gedung yang sebelahan sama sebuah rumah sakit, kita jadi berasa seperti orang sakit karena setiap hari “brunch” di kantor, bubur ayam.
Mulanya saya tidak sadar sama sekali kalau kita jadi seperti orang sakit. Selain makan bubur setiap hari, juga pakai cardigan setiap hari, karena jadi parno sakit akibat setiap hari melihat orang sakit lalu lalang di depan kantor. Entah kenapa, rasanya seperti ada energi negatif di sekitar kita. Waktu saya cerita hal ini ke sahabat dekat saya, dia sempat bercanda, kalau gitu elu enggak boleh tetanggaan sama orang yang bikin atau jual peti mati! Iihh serem banget !
Sepertinya, lingkungan itu adalah faktor yang paling memengaruhi kita dalam berkonsumsi, selain orang-orang yang ada di sekeliling kita. Dua belas tahun lalu saya sempat tinggal di Kota Jambi selama 7 tahun. Saat itu Jambi masih sepi banget. Tidak ada mal sama sekali. Restoran fast food baru ada setahun setelah saya tinggal di Jambi. Saat itu rasanya makan di restoran itu happy banget. Padahal, seumur-umur tinggal di Jakarta, paling malas mengonsumsi makanan junk food kecuali kalau kepepet .
Mal baru ada tahun ke dua setelah saya ada di Jambi, itu pun penampakannya enggak banget jika dibandingkan dengan mal-mal yang ada di Jakarta. Tapi lumayanlah buat jalanjalan sama anak-anak daripada tidak ada sama sekali, kan. Meski tanpa mal dan jauh dari kehidupan gemerlap, entah kenapa (saya juga bingung ), saya betah banget tinggal di Jambi. Untuk sementara The jinjingThe jinjings DNA saya sepertinya lenyap dari badan ini, dan semua orang terkagum-kagum saya bisa betah tinggal di Jambi. Eitttss entar dulu ya...
Hanya di Jambi saya bisa jinak, tapi begitu kembali ke Jakarta, keliaran itu pun kembali sebagaimana adanya dan The JinjingThe Jinjings DNA kembali bersinar lagi memancar di aura tubuh ini. Begitu mendarat di Jakarta, rasanya semua ingin dibeli, dimakan, dan yang paling parah, rasanya hampir semua mal, pusat perbelanjaan, dan kafe yang lagi hits saat itu harus diabsen. Kalau tidak, bisa terjadi rasa penyesalan yang tidak dapat dijelaskan dengan katakata.
Setiap mau “turun” ke Jakarta, saya punya sehalaman folio bolakbalik, list barang-barang yang harus dibeli dan tempat-tempat yang harus diabsen. Biasanya “wish list” itu bisa semuanya terpenuhi meski saat itu saya menenteng the krucils , ketiga my baby boys yang waktu itu masih kecil-kecil banget dan ada yang masih baby , Matteo. Setiap pergi, kita selalu lebih mirip rombongan sirkus dan segala macam printilanprintilan -nya. Mungkin karena dari bayi sudah saya bawa jalanjalan “retail exploring”, the krucils sampai sekarang jadi anak yang ngerti banget kehidupan dan kesenangan mamanya yang ginian .
Sekarang kalau lagi kumpulkumpul atau ramai-ramai jalan-jalan ke mal, the krucils lebih memilih ke bioskop, ditinggal di tempat main, atau Starbucks, dan biasanya akan ada kalimat, “Mama pergi saja tinggalin kami di sini, shopping dan bersenang-senang saja Ma!” So sweet banget kan my 3 adorable boys . Akibat keseringan pergi sama Mamanya, si bungsu Matteo, dari umur tiga tahun, kalau mau beli baju, maunya milih sendiri dan sebelum berangkat, dia sudah tahu mau beli di butik mana.
Saya selalu terheran-heran, hal seperti ini dia belajar dari mana ya? Meski merasa tidak mengajarinya, sepertinya lingkungan memang membentuknya. Di dunia ini katanya ada “Law of Attraction”, hukum tarik-menarik yang rasanya berlaku juga di bisnis ritel yang mungkin sering kita tidak sadari. Sepertinya memang ada “invisible hands” atau tangan-tangan tidak terlihat yang memungkinkan hukum alam ini terjadi dan membenarkan teori ini.
Pembuktiannya, karena tetanggaan sama restoran padang, kita jadi mendadak ada keinginan yang susah dijelaskan dari mana datangnya atau kebutuhan makan makanan padang, atau karena tetanggaan sama apotek jadi merasa selalu ada saja obat yang harus dibeli atau dilengkapi di rumah walau kita sama sekali dalam keadaan tidak sakit kan! Market tercipta karena adanya penawaran. Jadi, bukan selamanya hanya teori, ada kebutuhan, lalu akan ada peluang.
Varian dari teori Law of Attraction, ada juga yang seperti ini, jika Anda ada suatu keinginan, cita-cita, atau kebutuhan, maka sering-seringlah menyebutkannya karena nanti alam yang akan mengusahakannya. Hal ini sering sekali terjadi sama saya. Saat lagi pengin banget suatu barang (sampai terbawa mimpi loh, saking pengennya!), eh tiba-tiba ada saja rezeki entah dari mana yang kadang-kadang bikin saya terkagum-kagum... atau tibatiba saja ada endorsement .
Saya lagi pengin banget nih, smartphone Korea yang baru beberapa minggu dirilis. Tadinya mau beli sih, tapi begitu dirilis harganya, ohhh maigoottt, harganya lebih mahal daripada handphone buah yang terbaru, uhhh tidak sopan. Sekarang saya lagi nyebutin handphone itu terus setiap hari sambil berharap alam akan mengabulkan keinginan yang satu ini. Mudah-mudahan untuk yang satu ini, kali ini teori itu benar ya. Nanti saya cerita ya kalau teori tersebut kali ini benar (lagi).
Memang sih, kita kan tidak bisa memilih siapa yang bakalan jadi tetangga kita walau kita bisa memilih ingin tinggal di lingkungan sesuai dengan keinginan kita, tapi apa pun itu, lingkungan dan orang yang ada di sekitar kita, sangat berpengaruh terhadap pola konsumsi kita. Happy shopping Miss Jinjing.
MISS JINJING
Konsultan Fashion
Sejak saya bertetangga dengan restoran padang yang buka 24 jam setiap hari, 7 hari dalam seminggu , mendadak saya jadi sering kelaparan tengah malam dan nyaris setiap malam niat banget keluar hanya untuk membeli nasi padang dengan lauk kesayangan saya, daging cincang, sambal cabai hijau dan sayur terong. Sebelumsebelumnya saya itu jarang banget menyantap makanan padang.
Fenomena seperti ini bukan terjadi untuk pertama kalinya. Sebelumnya sudah pernah terjadi beberapa kali. Sebelum bertetangga dengan restoran padang itu, tetangga saya, Apotek Century. Entah kenapa, padahal tidak sakit, saya jadi hampir setiap hari beli obat, padahal tidak merasa sakit. Ada saja obat yang saya beli. Aneh banget kan! Untung sekarang saya tidak bertetangga lagi dengan apotek. Asisten pribadi saya sempat complain karena sejak berkantor di gedung yang sebelahan sama sebuah rumah sakit, kita jadi berasa seperti orang sakit karena setiap hari “brunch” di kantor, bubur ayam.
Mulanya saya tidak sadar sama sekali kalau kita jadi seperti orang sakit. Selain makan bubur setiap hari, juga pakai cardigan setiap hari, karena jadi parno sakit akibat setiap hari melihat orang sakit lalu lalang di depan kantor. Entah kenapa, rasanya seperti ada energi negatif di sekitar kita. Waktu saya cerita hal ini ke sahabat dekat saya, dia sempat bercanda, kalau gitu elu enggak boleh tetanggaan sama orang yang bikin atau jual peti mati! Iihh serem banget !
Sepertinya, lingkungan itu adalah faktor yang paling memengaruhi kita dalam berkonsumsi, selain orang-orang yang ada di sekeliling kita. Dua belas tahun lalu saya sempat tinggal di Kota Jambi selama 7 tahun. Saat itu Jambi masih sepi banget. Tidak ada mal sama sekali. Restoran fast food baru ada setahun setelah saya tinggal di Jambi. Saat itu rasanya makan di restoran itu happy banget. Padahal, seumur-umur tinggal di Jakarta, paling malas mengonsumsi makanan junk food kecuali kalau kepepet .
Mal baru ada tahun ke dua setelah saya ada di Jambi, itu pun penampakannya enggak banget jika dibandingkan dengan mal-mal yang ada di Jakarta. Tapi lumayanlah buat jalanjalan sama anak-anak daripada tidak ada sama sekali, kan. Meski tanpa mal dan jauh dari kehidupan gemerlap, entah kenapa (saya juga bingung ), saya betah banget tinggal di Jambi. Untuk sementara The jinjingThe jinjings DNA saya sepertinya lenyap dari badan ini, dan semua orang terkagum-kagum saya bisa betah tinggal di Jambi. Eitttss entar dulu ya...
Hanya di Jambi saya bisa jinak, tapi begitu kembali ke Jakarta, keliaran itu pun kembali sebagaimana adanya dan The JinjingThe Jinjings DNA kembali bersinar lagi memancar di aura tubuh ini. Begitu mendarat di Jakarta, rasanya semua ingin dibeli, dimakan, dan yang paling parah, rasanya hampir semua mal, pusat perbelanjaan, dan kafe yang lagi hits saat itu harus diabsen. Kalau tidak, bisa terjadi rasa penyesalan yang tidak dapat dijelaskan dengan katakata.
Setiap mau “turun” ke Jakarta, saya punya sehalaman folio bolakbalik, list barang-barang yang harus dibeli dan tempat-tempat yang harus diabsen. Biasanya “wish list” itu bisa semuanya terpenuhi meski saat itu saya menenteng the krucils , ketiga my baby boys yang waktu itu masih kecil-kecil banget dan ada yang masih baby , Matteo. Setiap pergi, kita selalu lebih mirip rombongan sirkus dan segala macam printilanprintilan -nya. Mungkin karena dari bayi sudah saya bawa jalanjalan “retail exploring”, the krucils sampai sekarang jadi anak yang ngerti banget kehidupan dan kesenangan mamanya yang ginian .
Sekarang kalau lagi kumpulkumpul atau ramai-ramai jalan-jalan ke mal, the krucils lebih memilih ke bioskop, ditinggal di tempat main, atau Starbucks, dan biasanya akan ada kalimat, “Mama pergi saja tinggalin kami di sini, shopping dan bersenang-senang saja Ma!” So sweet banget kan my 3 adorable boys . Akibat keseringan pergi sama Mamanya, si bungsu Matteo, dari umur tiga tahun, kalau mau beli baju, maunya milih sendiri dan sebelum berangkat, dia sudah tahu mau beli di butik mana.
Saya selalu terheran-heran, hal seperti ini dia belajar dari mana ya? Meski merasa tidak mengajarinya, sepertinya lingkungan memang membentuknya. Di dunia ini katanya ada “Law of Attraction”, hukum tarik-menarik yang rasanya berlaku juga di bisnis ritel yang mungkin sering kita tidak sadari. Sepertinya memang ada “invisible hands” atau tangan-tangan tidak terlihat yang memungkinkan hukum alam ini terjadi dan membenarkan teori ini.
Pembuktiannya, karena tetanggaan sama restoran padang, kita jadi mendadak ada keinginan yang susah dijelaskan dari mana datangnya atau kebutuhan makan makanan padang, atau karena tetanggaan sama apotek jadi merasa selalu ada saja obat yang harus dibeli atau dilengkapi di rumah walau kita sama sekali dalam keadaan tidak sakit kan! Market tercipta karena adanya penawaran. Jadi, bukan selamanya hanya teori, ada kebutuhan, lalu akan ada peluang.
Varian dari teori Law of Attraction, ada juga yang seperti ini, jika Anda ada suatu keinginan, cita-cita, atau kebutuhan, maka sering-seringlah menyebutkannya karena nanti alam yang akan mengusahakannya. Hal ini sering sekali terjadi sama saya. Saat lagi pengin banget suatu barang (sampai terbawa mimpi loh, saking pengennya!), eh tiba-tiba ada saja rezeki entah dari mana yang kadang-kadang bikin saya terkagum-kagum... atau tibatiba saja ada endorsement .
Saya lagi pengin banget nih, smartphone Korea yang baru beberapa minggu dirilis. Tadinya mau beli sih, tapi begitu dirilis harganya, ohhh maigoottt, harganya lebih mahal daripada handphone buah yang terbaru, uhhh tidak sopan. Sekarang saya lagi nyebutin handphone itu terus setiap hari sambil berharap alam akan mengabulkan keinginan yang satu ini. Mudah-mudahan untuk yang satu ini, kali ini teori itu benar ya. Nanti saya cerita ya kalau teori tersebut kali ini benar (lagi).
Memang sih, kita kan tidak bisa memilih siapa yang bakalan jadi tetangga kita walau kita bisa memilih ingin tinggal di lingkungan sesuai dengan keinginan kita, tapi apa pun itu, lingkungan dan orang yang ada di sekitar kita, sangat berpengaruh terhadap pola konsumsi kita. Happy shopping Miss Jinjing.
MISS JINJING
Konsultan Fashion
(ars)