Efek Visual Supercanggih

Sabtu, 25 April 2015 - 11:40 WIB
Efek Visual Supercanggih
Efek Visual Supercanggih
A A A
Sebagai film Marvel termahal, Age of Ultron menawarkan efek visual supercanggih, humor segar, dan cerita yang lebih suram. Namun, tetap terasa ada yang kurang. Tanpa basa-basi, Age of Ultronlangsung memulai ceritanya dengan adegan baku tembak di sekitar markas Hydra, organisasi yang berafiliasi dengan NAZI.

Sebagai pengingat, Hydra muncul dalam Captain America: The Winter Soldier (2014). Perpanjangan kisahnya muncul di film ini dengan kehadiran pimpinan tertinggi Hydra, Baron von Strucker (Thomas Kretschmann). Kehadiran tim Avengers memang berhasil mengobrakabrik markas Hydra, sekaligus menangkap Baron.

Namun, yang tak diketahui Captain America, Iron Man, Thor, Hulk, Black Widow, dan Hawkeye adalah Baron tengah membuat megaproyek manusia super. Proyek ini sudah menghasilkan duo kembar Quicksilver/Pietro (Aaron Taylor-Johnson) dan Scarlet Witch/Wanda (Elizabeth Olsen).

Pietro bisa bergerak secepat angin, sementara Wanda mampu memanipulasi pikiran dan punya keahlian telekinetik. Dengan sebuah strategi cerdas, Pietro dan Wanda berhasil membuat Tony Stark (Iron Man) mampu melahirkan Ultron (disuarakan James Spader), sebuah robot artificial intelligence (AI)atau kecerdasan buatan.

Ultron dimaksudkan Tony dan Bruce Banner (Hulk) sebagai penjaga perdamaian. Namun, seperti rencana duo kembar, Ultron malah berbalik menentang Tony. Lebih parah lagi, robot ini malah berlagak seperti Tuhan, ingin menyelamatkan dunia justru dengan cara menghancurkannya. Rencana gila Ultron tentu membuat repot tim Avengers, termasuk juga sekutu mereka, Pietro dan Wanda.

Ada kelebihan sekaligus kekurangan dalam seri kedua Avengers. Kelebihannya, ada pada keputusan Joss Whedon untuk memberi porsi yang adil bagi enam jagoan super kita untuk tampil, termasuk kepada Clint Barton (Hawkeye) dan Natasha Romanoff (Black Widow) dua orang yang hingga saat ini belum dibuatkan film sendiri oleh Marvel.

Clint diberi porsi yang sangat penting dalam film, sedangkan Natasha diplot punya hubungan unik dengan Bruce Banner. Sama dengan film pertamanya, masih ada bumbu egoisme pribadi, terutama dari sosok Tony Stark. Juga humor nakal yang memberi kesegaran tersendiri. Soal cerita, Age of Ultronpunya kisah yang lebih kompleks.

Ultron adalah program kecerdasan buatan yang punya pemikiran sendiri tentang bagaimana menyelamatkan dunia dan membuatnya menjadi rumah yang damai. Layaknya Joker dalam The Dark Knight, pikirannya kompleks. Namun, kekompleksan ini tak digali lebih dalam. Meski membuat cerita lebih berwarna, Ultronseolah-olah hanya setengah antagonis.

Mungkin ini adalah sebuah pilihan mengingat film ini dibuat untuk bisa ditonton penonton remaja. Dari sisi efek visual, dengan bujet USD250 juta atau lebih dari Rp3 triliun, film ini penuh dengan atraksi CGI dahsyat, lebih gemebyardan meriah dibandingkan film pertamanya. Ada efek kota yang hancur, hingga tanah yang terbang. Namun, beberapa kali, efek gambar terasa artifisial, lebih mirip visual game dibandingkan sebuah film, terutama di bagian awal film.

Belum lagi, sudah berapa kali penonton melihat efek kehancuran massal dalam film-film superhero? Singkatnya, meski dahsyat dan menakjubkan, sesungguhnya tak ada hal baru yang belum pernah dilihat penonton film fantasi. Di luar kemampuan Whedon memberi porsi cukup bagi setiap karakter tim Avengers,

juga dua tokoh baru dalam film, sutradara 50 tahun ini masih belum ajek memadukan cerita dan efek visual yang membuat dada berdebar karena tegang dan penasaran. Singkatnya, film ini terasa spektakuler, tapi sedikit hambar. Tentu, Age of Ultronadalah film yang menghibur dengan cerita yang cukup solid, tapi sebagai sebuah film franchisedengan biaya besar dan deretan cast andal, film ini harusnya bisa lebih baik.

Herita endriana
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1265 seconds (0.1#10.140)