Perceraian Ganggu Kesehatan Anak Terganggu

Selasa, 05 Mei 2015 - 09:23 WIB
Perceraian Ganggu Kesehatan...
Perceraian Ganggu Kesehatan Anak Terganggu
A A A
Tak ada satu anak pun di dunia ini yang menginginkan orang tua mereka bercerai. Bukan tidak mungkin akhirnya banyak anak-anak yang menjadi korban atas perceraian kedua orang tuanya.

Secara mental mereka tidak siap jika mereka harus tinggal dengan ayah atau ibunya saja. Hal ini tentu berakibat pada perubahan perilaku anak akibat pertengkaran yang mereka lihat. Tak hanya beban psikologi, ternyata kesehatan mereka juga memiliki dampak yang cukup memprihatinkan akibat perceraian orang tua.

Seperti yang dilansir DailyMail, remaja yang menyaksikan orang tua mereka bercerai cenderung akan menderita berbagai masalah kesehatan, di antaranya sering sakit kepala, terganggunya kualitas tidur, tertekan, pusing, serta hilangnya nafsu makan. Kemudian, tinggal hanya dengan salah satu orang tua akan menambah buruk keadaan. Seorang peneliti dari Stockholm University mengungkapkan, perceraian orang tua dapat meningkatkan risiko psikosomatik pada anak.

Psikosomatik adalah gangguan jiwa yang berpotensi pada penyakit fisik yang disebabkan atau diperburuk oleh faktor kejiwaan atau psikologis. Selama lebih dari 20 tahun, angka kasus perceraian di negara maju terus meningkat dengan adanya kecenderungan perebutan hak asuh anak setelahnya Di Swedia, permasalahan hak asuh telah melonjak dari 1% sampai 2% dari anak-anak yang terkena dampak perceraian selama 1980 dan menembus angka hingga 40% pada 2010.

Data terakhir dari Office for National Statistics (ONS) menunjukkan angka perceraian di Inggris dan Wales pada 2012 mencapai 118.140 kasus. Angka tersebut memberikan dampak pada 100.000 anak di bawah usia 16 tahun. Adanya kebijakan hak asuh fisik bersama, yaitu anak-anak menghabiskan waktu yang sama di rumah masing-masing orang tua mereka berpisah, meningkatkan jumlah angka realisasi praktik tersebut di negara Barat selama dekade terakhir.

Pada waktu yang sama, terdapat peningkatan timbulnya tanda-tanda anak yang menderita psikosomatik. “Para ahli kesehatan anak mengungkapkan, praktik hak asuh bersama meningkatkan tekanan pada anak yang berujung stres,” ujar para peneliti. Penelitian sebelumnya menemukan, anak yang orang tuanya berpisah cenderung lebih emosional dan mengalami perubahan perilaku.

Oleh karena itu, para ilmuwan menggunakan data dari survei kelas nasional, sekitar hampir 150.000 orang Swedia yang berusia 12-15 tahun, untuk melihat apakah masalah yang terjadi dalam keluarga dikaitkan dengan risiko tinggi masalah psikosomatik pada anak-anak. Prevalensi psikosomatik selama enam bulan diuji dengan menggunakan skala Psychosomatic Problems yang valid.

Pengujian difokuskan pada gangguan saat berkonsentrasi dan tidur, sakit kepala, sakit perut, perasaan tertekan, murung, pusing, hingga hilangnya nafsu makan. Para remaja tersebut juga ditanyakan perihal apakah mereka bisa berbicara dengan mudah pada orang tua ketika mereka membutuhkannya dan menanyakan apakah mereka mempunyai cukup uang untuk melakukan hal yang sama dengan teman-teman mereka.

Peneliti juga menemukan, anak perempuan dilaporkan lebih cenderung terkena psikosomatik daripada anak laki-laki pada usia yang sama, meskipun mereka mengingatkan anak perempuan lebih memungkinkan untuk melaporkan masalah kesehatan tersebut. Namun, masalah psikosomatik terjadi pada anak yang hanya tinggal bersama salah satu orang tua mereka dalam kurun waktu yang cukup lama. Sementara anak yang tinggal bersama keluarganya secara utuh, kasus tersebut sangat jarang ditemui.

Larissa huda
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7943 seconds (0.1#10.140)