Balinale Dorong Indonesia Jadi Pelaku Produksi Industri Film Berkualitas
Senin, 03 Juni 2024 - 09:38 WIB
JAKARTA - Acara pembukaan Festival fim tahunan Bali International Film Festival (Balinale) 2024 begitu terasa istimewa dengan kehadiran pelaku industri perfilman. Balinale 2024 tidak saja menjadi titik pertemuan east meet west, tapi juga east meet east.
Di salah satu programnya Bali Film Forum (BFF), Balinale telah menjadi wadah bagi pelaku industri bekerja sama, berkolaborasi dan saling berbagi dalam memotret serta menjamin keberlangsungan pertumbuhan industri perfilman.
Bali Film Forum (BFF) berlangsung pada Minggu, 2 Juni 2024, bertempat di Hotel Intercontinental Sanur, dimoderatori Tantowi Yahya, berlangsung dalam tiga sesi. Tak kurang 70 peserta hadir, merupakan pelaku industri perfilman dari Australia, Selandia Baru, Hong Kong, Malaysia, Amerika, Inggris, India, maupun Indonesia.
Dari tiga sesi pembahasan menyangkut industri perfilman jelas tergambarkan keinginan pelaku industri agar Indonesia tidak melewatkan kesempatan menjadi tujuan produksi film-film berkelas dunia dan menjadikan Indonesia mampu menjadi penggerak ekonomi kreatif di kawasan Asia. Tantowi Yahya – yang baru melepas statusnya sebagai duta besar RI untuk Selandia Baru, Samoa dan Tonga – mengawali cerita bagaimana Selandia Baru membangun studio digital visual efek WETA Digital.
Studio yang berkedudukan di Wellington, ibukota Selandia Baru, saat ini dipercaya studio-studio besar untuk pekerjaan digital visual efek film-film Hollywood.
Weta Digital adalah contoh bagaimana menyatukan kemampuan kreatif individu menjadi raksasa industri dengan tenaga kreatif berkelas dunia,”ujar Tantowi dalam acara Bali Film Forum tersebut.
Potensi pasar yang terus membesar, film maker dan pekerja kreatif yang semakin terasah craftmanship-nya disebutkan oleh M Amin Abdullah -- Direktur Musik, Film and Animasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif – semakin memperbesar dampak pengganda (multiply effect). Agus Maha Usadha, pelaku usaha ekonomi kreatif yang tergabung di Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bali, merasakan dampak besar produksi film Eat, Pray, Love (2010).
“Empat belas tahun berlalu, tapi Eat, Pray, Love masih memberikan pengaruh positif bagi destinasi-destinasi wisata di Bali. Sangat disayangkan film Ticket to Paradise (2022) bercerita tentang Bali tapi mengambil lokasi produksi di luar Bali,’’ jelas Agus.
Industri kreatif Indonesia harus mampu memperbesar skala industri perfilman dengan merebut potensi pasar lokal maupun global. Pendapatan industri perfilman tidak berhenti di angka Rp 90 triliun di tahun 2022 (Price Water House dan LPEM Fakultas Ekonomi & Bisnis UI). Angka ini merupakan multiplier yang mencakup sektor film, musik, animasi, fotografi.
Di salah satu programnya Bali Film Forum (BFF), Balinale telah menjadi wadah bagi pelaku industri bekerja sama, berkolaborasi dan saling berbagi dalam memotret serta menjamin keberlangsungan pertumbuhan industri perfilman.
Bali Film Forum (BFF) berlangsung pada Minggu, 2 Juni 2024, bertempat di Hotel Intercontinental Sanur, dimoderatori Tantowi Yahya, berlangsung dalam tiga sesi. Tak kurang 70 peserta hadir, merupakan pelaku industri perfilman dari Australia, Selandia Baru, Hong Kong, Malaysia, Amerika, Inggris, India, maupun Indonesia.
Dari tiga sesi pembahasan menyangkut industri perfilman jelas tergambarkan keinginan pelaku industri agar Indonesia tidak melewatkan kesempatan menjadi tujuan produksi film-film berkelas dunia dan menjadikan Indonesia mampu menjadi penggerak ekonomi kreatif di kawasan Asia. Tantowi Yahya – yang baru melepas statusnya sebagai duta besar RI untuk Selandia Baru, Samoa dan Tonga – mengawali cerita bagaimana Selandia Baru membangun studio digital visual efek WETA Digital.
Studio yang berkedudukan di Wellington, ibukota Selandia Baru, saat ini dipercaya studio-studio besar untuk pekerjaan digital visual efek film-film Hollywood.
Weta Digital adalah contoh bagaimana menyatukan kemampuan kreatif individu menjadi raksasa industri dengan tenaga kreatif berkelas dunia,”ujar Tantowi dalam acara Bali Film Forum tersebut.
Potensi pasar yang terus membesar, film maker dan pekerja kreatif yang semakin terasah craftmanship-nya disebutkan oleh M Amin Abdullah -- Direktur Musik, Film and Animasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif – semakin memperbesar dampak pengganda (multiply effect). Agus Maha Usadha, pelaku usaha ekonomi kreatif yang tergabung di Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bali, merasakan dampak besar produksi film Eat, Pray, Love (2010).
“Empat belas tahun berlalu, tapi Eat, Pray, Love masih memberikan pengaruh positif bagi destinasi-destinasi wisata di Bali. Sangat disayangkan film Ticket to Paradise (2022) bercerita tentang Bali tapi mengambil lokasi produksi di luar Bali,’’ jelas Agus.
Industri kreatif Indonesia harus mampu memperbesar skala industri perfilman dengan merebut potensi pasar lokal maupun global. Pendapatan industri perfilman tidak berhenti di angka Rp 90 triliun di tahun 2022 (Price Water House dan LPEM Fakultas Ekonomi & Bisnis UI). Angka ini merupakan multiplier yang mencakup sektor film, musik, animasi, fotografi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda