Jangan Abaikan Gangguan Skizofrenia

Senin, 12 Oktober 2020 - 15:19 WIB
Gangguan skizofrenia memiliki 3 fase perjalanan klinis. Foto/dok
JAKARTA - Menurut data dari WHO (World Health Organization) tahun 2015, penderita gangguan jiwa berat telah menempati tingkat yang luar biasa dimana lebih 39 juta jiwa mengalami gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa berat merupakan penyakit mental yang ditandai dengan gangguan proses berpikir dengan respon emosional yang buruk.

Kondisi tersebut sering bermanifestasi sebagai halusinasi pendengaran, delusi paranoid atau hambatan berpikir, yang disertai disfungsi sosial, yang dalam istilah kedokteran disebut skizofrenia. (Baca: Inilah Pintu-pintu Surga untuk Perempuan)

Orang awam yang mendefinisikan skizofrenia sebagai halusinasi, delusi, dan memiliki pikiran yang kacau. Hal ini tidak sepenuhnya salah. Tetapi, diagnosis yang lebih tepat harus dilakukan oleh ahlinya karena harus mengikuti kriteria diagnostik tertentu.



Menurut, Psikolog RS Ciputra Hospital CitraGarden City, Meiske Yunithree Suparman, M.Psi., gangguan skizofrenia memiliki 3 fase perjalanan klinis. Dimulai dari fase prodromal, yaitu fase awal terlihat gejala gangguan, seperti menarik diri dari lingkungan, konflik di tempat kerja, kesulitan berhubungan sosial, kurang mampu menjaga kebersihan diri.

Pada fase ini intervensi medis sudah seharusnya dilakukan untuk mencegah kondisi menjadi lebih serius dan tingkat pulihnya lebih memungkinkan.Dengan penanganan yang tepat pasien skizofrenia bisa hidup mandiri dan aktif di tengah masyarakat. Untuk itu, kesadaran untuk melakukan deteksi dini dari keluarga pasien ikut menentukan masa depan pasien skizofrenia. (Baca juga: Dua Sekolah di Solo Gelar Simulai Pembelajaran Tatap Muka)

Kemudian ada fase aktif, ditandai dengan kekacauan alam pikir, perasaan, tingkah laku. Pasien juga kesulitan membedakan kenyataan versus yang tidak nyata sehingga bicara menjadi kacau.

Selanjutnya, fase residual, yaitu fase sisa dengan gejala-gejala lanjutan, seperti halusinasi atau waham (keyakinan seseorang yang tidak sesuai dengan kenyataan), menarik diri, afek tumpul atau datar serta gejala lainnya namun tidak menonjol. Pada sebagian besar kasus, gejala-gejala di atas seringkali terlihat tumpang tindih pada fase yang berbeda.

“Gangguan skizofrenia tidak memandang usia, gender, atau status ekonomi. Namun, gejalanya lebih banyak terdeteksi pada saat usia remaja atau dewasa awal karena pada usia tersebut adalah masa pertumbuhan transisi menuju masa yang lebih matang dan banyak permasalahan yang mungkin belum mampu terselesaikan sehingga mental cenderung mudah rapuh,” ujar Meiske.

Bila skizofrenia sudah terdeteksi sejak dini, Ia menyarankan agar segera dirujuk ke psikiater atau psikolog untuk mendapatkan penatalaksanaan penanganan lebih lanjut. “Gangguan skizofrenia merupakan suatu perjalanan panjang bagi mereka yang mengalaminya. Penanganan harus dilakukan sedini mungkin agar tidak terlambat, terlebih kemungkinan terjadinya kesembuhan akan lebih tinggi jika ditangani sejak dini,” ungkap Meiske. (Lihat videonya: Pengelola Kantor Wajib Mematuhi Protokol Kesehatan)

Untuk itu, Ia berharap agar masyarakat mulai peduli pada permasalahan gangguan jiwa. “Cara sederhana dengan mengenali gejalanya, tidak melakukan perundungan, jangan jauhi dan memberikan label buruk. Bantu mereka (pengidap skizofrenia) mencari pertolongan ke ahlinya,” terang Meiske.

Menurut Meiske, keluarga juga merupakan faktor penting keberhasilan penanganan pengidap skizofrenia. Ia menyarankan agar keluarga dapat mencari dukungan dengan bergabung bersama komunitas-komunitas pengidap ataupun keluarga pengidap skizofrenia. (Iman Firmansyah)
(ysw)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More