Pentingnya Peran Orangtua dalam Mengasah Aspek Sosial Emosional Anak di Masa Transisi
Rabu, 29 Juni 2022 - 09:14 WIB
JAKARTA - Pembatasan fisik dan sosial selama dua tahun akibat pandemi Covid-19 memengaruhi kondisi emosi, mental, dan perkembangan anak. Terlebih pada anak-anak usia dini, di mana si kecil kehilangan masa-masa berinteraksi dengan orang lain yang merupakan tonggak penting bagi perkembangan sosial emosional mereka.
Sekarang kasus Covid-19 dianggap melandai dan beberapa pembatasan sudah dilonggarkan. Memasuki masa transisi ini, orangtua maupun anak mulai memiliki rutinitas baru dan lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan sosial. Hal ini tentu menuntut adanya upaya adaptif dari tiap keluarga dalam merespons perubahan agar mampu menghadapi situasi yang tidak diinginkan.
Salah satunya dalam hal pola asuh. Pada masa pembatasan sosial, suami istri banyak melakukan pola asuh kolaboratif. Namun di sisi lain, para orangtua ini rupanya juga mengalami tingkat stres dan depresi yang lebih tinggi.
Survei BKKBN mengungkapkan, selama pandemi Covid-19 sebanyak 71,5% pasutri telah melakukan pola asuh kolaboratif. Sementara 21,7% mengatakan istri yang dominan dan 5,8%-nya hanya mengandalkan istri sebagai penentu pola asuh.
Sementara itu, data UNICEF menyebutkan bahwa selama pandemi, orangtua mengalami tingkat stres dan depresi yang lebih tinggi, serta menilai pengasuhan anak di rumah saja memiliki risiko tersendiri. Kondisi ini sangat mungkin menghambat kemampuan ayah ibu untuk mengatasi emosi dan kebutuhan psikologis anak.
Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Irma Ardiana menerangkan, gaya pengasuhan memengaruhi perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak. Pengasuhan bersama menekankan komunikasi, negosiasi, kompromi, dan pendekatan inklusif untuk pengambilan keputusan serta pembagian peran keluarga.
“Pengasuhan bersama antara ayah dan ibu menawarkan cinta, penerimaan, penghargaan, dorongan, dan bimbingan kepada anak-anak. Peran orangtua yang tepat dalam memberikan dorongan, dukungan, nutrisi, dan akses ke aktivitas untuk membantu anak memenuhi milestone aspek perkembangan, merupakan hal yang penting," papar Irma dalam webinar bertema Kiat Keluarga Indonesia Optimalkan Tumbuh Kembang Anak di Masa Transisi dalam rangka memperingati Hari Keluarga Nasional yang digelar Danone Indonesia, Selasa (28/6/2022).
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Spesialis Tumbuh Kembang Anak Dr. dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A (K), MPH menjelaskan, aspek sosial dan emosional sangat penting bagi anak untuk mencapai semua aspek kehidupan dan bersaing di fase kehidupan selanjutnya. Dimulai dari remaja hingga lanjut usia. Karena itu, penting bagi orangtua untuk memiliki pemahaman yang baik mengenai perkembangan sosial emosional anak, khususnya di masa transisi pascapandemi seperti saat ini.
“Bagi anak-anak, kebingungan menghadapi perubahan ruang dan rutinitas baru saat kembali menjalani kehidupan dan interaksi sosial dapat meningkatkan masalah sosial emosional yang dampaknya bisa berbeda, tergantung usia anak dan dukungan dari lingkungannya. Gangguan perkembangan emosi dan sosial dapat memengaruhi terjadinya masalah kesehatan di masa dewasa, seperti gangguan kognitif, depresi, dan potensi penyakit tidak menular,” papar dr. Bernie.
Sekarang kasus Covid-19 dianggap melandai dan beberapa pembatasan sudah dilonggarkan. Memasuki masa transisi ini, orangtua maupun anak mulai memiliki rutinitas baru dan lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan sosial. Hal ini tentu menuntut adanya upaya adaptif dari tiap keluarga dalam merespons perubahan agar mampu menghadapi situasi yang tidak diinginkan.
Salah satunya dalam hal pola asuh. Pada masa pembatasan sosial, suami istri banyak melakukan pola asuh kolaboratif. Namun di sisi lain, para orangtua ini rupanya juga mengalami tingkat stres dan depresi yang lebih tinggi.
Survei BKKBN mengungkapkan, selama pandemi Covid-19 sebanyak 71,5% pasutri telah melakukan pola asuh kolaboratif. Sementara 21,7% mengatakan istri yang dominan dan 5,8%-nya hanya mengandalkan istri sebagai penentu pola asuh.
Sementara itu, data UNICEF menyebutkan bahwa selama pandemi, orangtua mengalami tingkat stres dan depresi yang lebih tinggi, serta menilai pengasuhan anak di rumah saja memiliki risiko tersendiri. Kondisi ini sangat mungkin menghambat kemampuan ayah ibu untuk mengatasi emosi dan kebutuhan psikologis anak.
Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Irma Ardiana menerangkan, gaya pengasuhan memengaruhi perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak. Pengasuhan bersama menekankan komunikasi, negosiasi, kompromi, dan pendekatan inklusif untuk pengambilan keputusan serta pembagian peran keluarga.
“Pengasuhan bersama antara ayah dan ibu menawarkan cinta, penerimaan, penghargaan, dorongan, dan bimbingan kepada anak-anak. Peran orangtua yang tepat dalam memberikan dorongan, dukungan, nutrisi, dan akses ke aktivitas untuk membantu anak memenuhi milestone aspek perkembangan, merupakan hal yang penting," papar Irma dalam webinar bertema Kiat Keluarga Indonesia Optimalkan Tumbuh Kembang Anak di Masa Transisi dalam rangka memperingati Hari Keluarga Nasional yang digelar Danone Indonesia, Selasa (28/6/2022).
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Spesialis Tumbuh Kembang Anak Dr. dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A (K), MPH menjelaskan, aspek sosial dan emosional sangat penting bagi anak untuk mencapai semua aspek kehidupan dan bersaing di fase kehidupan selanjutnya. Dimulai dari remaja hingga lanjut usia. Karena itu, penting bagi orangtua untuk memiliki pemahaman yang baik mengenai perkembangan sosial emosional anak, khususnya di masa transisi pascapandemi seperti saat ini.
“Bagi anak-anak, kebingungan menghadapi perubahan ruang dan rutinitas baru saat kembali menjalani kehidupan dan interaksi sosial dapat meningkatkan masalah sosial emosional yang dampaknya bisa berbeda, tergantung usia anak dan dukungan dari lingkungannya. Gangguan perkembangan emosi dan sosial dapat memengaruhi terjadinya masalah kesehatan di masa dewasa, seperti gangguan kognitif, depresi, dan potensi penyakit tidak menular,” papar dr. Bernie.
tulis komentar anda