Ahli Gizi: Belum Ada Urgensi Pelabelan BPA di Galon Guna Ulang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ahli Gizi dari IPB University, Prof. Hardinsyah menyatakan belum ada urgensi pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan galon guna ulang. Dia beralasan hal itu disebabkan belum adanya bukti kuat yang menyatakan bahwa BPA dalam kemasan galon guna ulang itu sudah membahayakan kesehatan.
“Kalau mau mengatur BPA tadi, ya harus berbasis bukti, berbasis evidence. Kan namanya mau membuat regulasi, jadi harusnya berbasis bukti yang kuat," ucap Guru Besar Ilmu Gizi IPB University itu dalam keterangan yang diterima, Selasa (14/3/2023).
"Bukti itu berupa hasil kajian atau penelitian yang mengatakan bahwa BPA pada galon guna ulang itu memang benar-benar berbahaya untuk kesehatan. Harus dengan protokol yang dapat dipertanggungjawabkan dan bukan asal-asalan,” ungkapnya.
Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia itu juga melihat hingga kini belum ada sebuah penelitian yang konklusif terhadap bahaya BPA pada kemasan galon guna ulang ini.
Termasuk penelitian yang memperkirakan adanya beban biaya infertilitas pada konsumen AMDK galon yang terpapar BPA yang berkisar antara Rp16 triliun sampai dengan Rp 30,6 triliun dalam periode satu siklus in-vitro fertilization (IVF), menurutnya, itu juga perlu dipertanyakan metode penelitiannya dan pengambilan kesimpulannya.
“Jadi, karena evidencenya belum konklusif, hal itu sebenarnya tidak usah dulu masuk ke area publik. Itu bisa membuat masyarakat bingung dengan adanya pernyataan-pernyataan yang belum dibuktikan secara konklusif," kata Prof. Hardinsyah.
"Harus dibuktikan, jangan asal sapu jagat. Kalau bukti kuatnya menunjukkan BPA pada galon guna ulang itu berbahaya, bisakah dikatakan ada urgensi dari pelabelan BPA. Tapi ini kan tidak ada,” tambahnya.
Di dunia ilmiah, dia menyebutkan hal-hal seperti itu harus bisa terbuka dan diperdebatkan dengan menghadirkan pakar-pakar untuk membuat sebuah penelitian supaya lebih konklusif. “Jadi, mana yang sudah konklusif buat pemerintah dan mana yang belum itu mesti jelas. Karenanya perlu menghadirkan pakar-pakar untuk mendiskusikannya,” tukasnya.
Apalagi, kata Prof Hardinsyah, kemasan pangan itu ada ribuan jenisnya. Terhadap semua kemasan itu baik yang mengandung BPA maupun BPA Free, menurutnya, seharusnya juga dilakukan penelitian yang sama dengan perlakuan terhadap galon guna ulang. “Ini perlu dilakukan untuk menunjukkan prinsip yang berbasis keadilan,” ujarnya.
“Kalau mau mengatur BPA tadi, ya harus berbasis bukti, berbasis evidence. Kan namanya mau membuat regulasi, jadi harusnya berbasis bukti yang kuat," ucap Guru Besar Ilmu Gizi IPB University itu dalam keterangan yang diterima, Selasa (14/3/2023).
"Bukti itu berupa hasil kajian atau penelitian yang mengatakan bahwa BPA pada galon guna ulang itu memang benar-benar berbahaya untuk kesehatan. Harus dengan protokol yang dapat dipertanggungjawabkan dan bukan asal-asalan,” ungkapnya.
Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia itu juga melihat hingga kini belum ada sebuah penelitian yang konklusif terhadap bahaya BPA pada kemasan galon guna ulang ini.
Termasuk penelitian yang memperkirakan adanya beban biaya infertilitas pada konsumen AMDK galon yang terpapar BPA yang berkisar antara Rp16 triliun sampai dengan Rp 30,6 triliun dalam periode satu siklus in-vitro fertilization (IVF), menurutnya, itu juga perlu dipertanyakan metode penelitiannya dan pengambilan kesimpulannya.
“Jadi, karena evidencenya belum konklusif, hal itu sebenarnya tidak usah dulu masuk ke area publik. Itu bisa membuat masyarakat bingung dengan adanya pernyataan-pernyataan yang belum dibuktikan secara konklusif," kata Prof. Hardinsyah.
"Harus dibuktikan, jangan asal sapu jagat. Kalau bukti kuatnya menunjukkan BPA pada galon guna ulang itu berbahaya, bisakah dikatakan ada urgensi dari pelabelan BPA. Tapi ini kan tidak ada,” tambahnya.
Di dunia ilmiah, dia menyebutkan hal-hal seperti itu harus bisa terbuka dan diperdebatkan dengan menghadirkan pakar-pakar untuk membuat sebuah penelitian supaya lebih konklusif. “Jadi, mana yang sudah konklusif buat pemerintah dan mana yang belum itu mesti jelas. Karenanya perlu menghadirkan pakar-pakar untuk mendiskusikannya,” tukasnya.
Apalagi, kata Prof Hardinsyah, kemasan pangan itu ada ribuan jenisnya. Terhadap semua kemasan itu baik yang mengandung BPA maupun BPA Free, menurutnya, seharusnya juga dilakukan penelitian yang sama dengan perlakuan terhadap galon guna ulang. “Ini perlu dilakukan untuk menunjukkan prinsip yang berbasis keadilan,” ujarnya.