CERMIN: Barbie, Proust, Patriarki, dan Eksistensialisme
loading...

Film Barbie banyak berbicara tentang budaya patriarki yang memandang perempuan dalam pengkotak-kotakan. Foto/Warner Bros
A
A
A
JAKARTA - “Sebuah imaji yang ditawarkan kepada kita membawa serta, dalam satu saat yang tunggal, sensasi yang berlipat ganda dan bermacam ragam” (Marcel Proust).
Saya tidak tahu apa yang saya rasakan setelah menonton film Barbieselama 114 menit. Saya tidak bisa menjelaskannya dalam sebuah kalimat yang bisa dipahami dengan sederhana. Hingga ucapan dari Proust ini muncul dan mengingatkan saya bahwa itulah yang saya rasakan ketika menyaksikan sebuah dunia rekaan Greta Gerwig yang luar biasa.
Saya menyaksikan Barbiedi bioskop seminggu setelah rilis perdananya. Jadi saya sudah pasti diterpa begitu banyak kritik, resensi hingga bocoran apa yang terjadi dalam film tersebut. Tapi saya selalu percaya bahwa saya bisa menilai sendiri atas apa yang saya tonton dan tak akan terpengaruh dengan kritik atau resensi mana pun.
Saya sudah menyukai karya-karya Greta Gerwig sejak menyaksikan Lady Bird(2017] dan Little Women (2019). Tapi saya tak pernah mempersiapkan apa pun sebelum menyaksikan karya paling mutakhirnya, Barbie. Dan yang terjadi adalah sensasi demi sensasi yang tak henti-hentinya saya saksikan sepanjang durasi filmnya.
![CERMIN: Barbie, Proust, Patriarki, dan Eksistensialisme]()
Foto: Warner Bros
Tak pernah sedikit pun terbayangkan oleh saya bahwa Barbie, sosok boneka paling terkenal sedunia yang juga diserang karena mencitrakan perempuan dengan standar kecantikan yang sulit digapai, akan menjadi pintu bagi Greta untuk memberi semacam kuliah filsafat dan sosiokultural yang asyik selama hampir dua jam. Tapi Greta, juga pasangannya, sesama sutradara sekaligus penulis, Noah Baumbach, bisa melakukannya seakan-akan ini adalah hal termudah di dunia.
Awalnya kita akan bertemu Barbie (diperankan dengan mulus oleh Margot Robbie) dengan penampilan serbasempurna dan hidup di dunianya yang sempurna. Segalanya berjalan semestinya, meski berupa repetisi demi repetisi yang terjadi setiap hari.
Kita juga bertemu dengan Ken (dengan penampilan dari Ryan Gosling yang layak mendapat nomine Oscar) yang sejatinya memang diciptakan sekedar untuk menemani Barbie. Dunia Barbie adalah dunia para perempuan dan laki-laki sekadar pelengkap. Sampai di sini kita mulai paham Greta akan membawa kita ke mana.
Hingga di sebuah hari yang biasa, Barbie bertemu dengan situasi yang tak biasa. Ia memikirkan kematian. Sebuah boneka dengan standar kesempurnaannya memikirkan kematian? Well, hanya Greta yang bisa melakukannya dan isu soal kematian, juga tentu saja eksistensialisme, mulai berkelindan dengan menarik ke dalam cerita.
Saya tidak tahu apa yang saya rasakan setelah menonton film Barbieselama 114 menit. Saya tidak bisa menjelaskannya dalam sebuah kalimat yang bisa dipahami dengan sederhana. Hingga ucapan dari Proust ini muncul dan mengingatkan saya bahwa itulah yang saya rasakan ketika menyaksikan sebuah dunia rekaan Greta Gerwig yang luar biasa.
Saya menyaksikan Barbiedi bioskop seminggu setelah rilis perdananya. Jadi saya sudah pasti diterpa begitu banyak kritik, resensi hingga bocoran apa yang terjadi dalam film tersebut. Tapi saya selalu percaya bahwa saya bisa menilai sendiri atas apa yang saya tonton dan tak akan terpengaruh dengan kritik atau resensi mana pun.
Saya sudah menyukai karya-karya Greta Gerwig sejak menyaksikan Lady Bird(2017] dan Little Women (2019). Tapi saya tak pernah mempersiapkan apa pun sebelum menyaksikan karya paling mutakhirnya, Barbie. Dan yang terjadi adalah sensasi demi sensasi yang tak henti-hentinya saya saksikan sepanjang durasi filmnya.

Foto: Warner Bros
Tak pernah sedikit pun terbayangkan oleh saya bahwa Barbie, sosok boneka paling terkenal sedunia yang juga diserang karena mencitrakan perempuan dengan standar kecantikan yang sulit digapai, akan menjadi pintu bagi Greta untuk memberi semacam kuliah filsafat dan sosiokultural yang asyik selama hampir dua jam. Tapi Greta, juga pasangannya, sesama sutradara sekaligus penulis, Noah Baumbach, bisa melakukannya seakan-akan ini adalah hal termudah di dunia.
Awalnya kita akan bertemu Barbie (diperankan dengan mulus oleh Margot Robbie) dengan penampilan serbasempurna dan hidup di dunianya yang sempurna. Segalanya berjalan semestinya, meski berupa repetisi demi repetisi yang terjadi setiap hari.
Kita juga bertemu dengan Ken (dengan penampilan dari Ryan Gosling yang layak mendapat nomine Oscar) yang sejatinya memang diciptakan sekedar untuk menemani Barbie. Dunia Barbie adalah dunia para perempuan dan laki-laki sekadar pelengkap. Sampai di sini kita mulai paham Greta akan membawa kita ke mana.
Hingga di sebuah hari yang biasa, Barbie bertemu dengan situasi yang tak biasa. Ia memikirkan kematian. Sebuah boneka dengan standar kesempurnaannya memikirkan kematian? Well, hanya Greta yang bisa melakukannya dan isu soal kematian, juga tentu saja eksistensialisme, mulai berkelindan dengan menarik ke dalam cerita.
Lihat Juga :