CERMIN: Film Horor, Adrenalin, dan Kesenangan dari Rasa Takut
loading...

Cobweb adalah film horor yang meneror secara psikologis sekaligus memacu adrenalin. Foto/Lionsgate Films
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1999. M Night Shyamalan merilis film Sixth Sensedan membuat kariernya meroket di jagat sinema internasional. Buat saya, setelahnya horor tak lagi sama.
Saya ingat betul betapa mencekamnya menyaksikan Sixth Sensehanya berdua dengan almarhum adik saya di rumah. Sebagai orang yang dikaruniai kelebihan bisa 'melihat', saya ketakutan setengah mati menyaksikan teror dari film tersebut dimulai ketika karakter utamanya, bocah cilik Cole, berkata dalam nada lirih, “I see dead people ……”
Tapi menariknya setelah pengalaman nyaris traumatis itu, saya malah semakin menggemari horor. Ternyata ada alasan ilmiah di balik hal tersebut dan mungkin menjadi penyebab mengapa banyak dari kita begitu menyukai film horor meskipun pernah mengalami ketakutan yang amat sangat setelah menonton salah satu di antaranya.
Menurut psikolog Elizabeth Kaplunov, rasa takut memberi seseorang aliran adrenalin yaitu hormon yang dapat membuat seseorang merasa bersemangat, waspada, dan responsif. Karenanya banyak dari penggemar film horor yang tetap bertahan di kursinya di bioskop meski merasakan detak jantungnya naik turun sepanjang durasi film. Tak bisa menahan diri untuk tak berteriak, bahkan sebagian lagi memilih untuk menutup mata dan telinganya dalam sebagian durasi film.
![CERMIN: Film Horor, Adrenalin, dan Kesenangan dari Rasa Takut]()
Foto: Lionsgate Films
Peneliti dari Aarhus University di Denmark meneliti alasan banyak orang bermain-main dengan rasa takutnya. “Dengan menyelidiki bagaimana manusia memperoleh kesenangan dari rasa takut, kami menemukan tampaknya ada kenikmatan yang dimaksimalkan," ujar salah satu peneliti, dikutip dari Medical Daily.
Dari tahun ke tahun, sineas pun mencoba beragam cara untuk menakut-nakuti penonton. Tak lagi memunculkan karakter setan atau hantu, kini beragam monster pun ditampilkan. Juga sebagian mencoba bermain-main dengan fobia. Cobwebyang dibesut Samuel Bodin mencoba mengawinkan formula tersebut dan hasilnya adalah teror tanpa henti sepanjang 88 menit durasinya.
Sama seperti Sixth Sense, Cobweb juga menampilkan karakter bocah cilik sebagai pemeran utamanya. Namanya Peter. Sekilas tak ada yang aneh dengannya. Ia berusaha normal meski tampak kesulitan beradaptasi dengan teman-temannya, dan akhirnya membuatnya menjadi sasaran empuk perisakan.
Berbeda dengan Sixth Sense yang skenarionya rapi dan cermat mengupas hubungan Cole dan ibunya, serta caranya menjalani hari, Cobwebjustru tak mencoba menjangkau lebih jauh bagaimana hubungan Peter dengan kedua orang tuanya.
Saya ingat betul betapa mencekamnya menyaksikan Sixth Sensehanya berdua dengan almarhum adik saya di rumah. Sebagai orang yang dikaruniai kelebihan bisa 'melihat', saya ketakutan setengah mati menyaksikan teror dari film tersebut dimulai ketika karakter utamanya, bocah cilik Cole, berkata dalam nada lirih, “I see dead people ……”
Tapi menariknya setelah pengalaman nyaris traumatis itu, saya malah semakin menggemari horor. Ternyata ada alasan ilmiah di balik hal tersebut dan mungkin menjadi penyebab mengapa banyak dari kita begitu menyukai film horor meskipun pernah mengalami ketakutan yang amat sangat setelah menonton salah satu di antaranya.
Menurut psikolog Elizabeth Kaplunov, rasa takut memberi seseorang aliran adrenalin yaitu hormon yang dapat membuat seseorang merasa bersemangat, waspada, dan responsif. Karenanya banyak dari penggemar film horor yang tetap bertahan di kursinya di bioskop meski merasakan detak jantungnya naik turun sepanjang durasi film. Tak bisa menahan diri untuk tak berteriak, bahkan sebagian lagi memilih untuk menutup mata dan telinganya dalam sebagian durasi film.

Foto: Lionsgate Films
Peneliti dari Aarhus University di Denmark meneliti alasan banyak orang bermain-main dengan rasa takutnya. “Dengan menyelidiki bagaimana manusia memperoleh kesenangan dari rasa takut, kami menemukan tampaknya ada kenikmatan yang dimaksimalkan," ujar salah satu peneliti, dikutip dari Medical Daily.
Dari tahun ke tahun, sineas pun mencoba beragam cara untuk menakut-nakuti penonton. Tak lagi memunculkan karakter setan atau hantu, kini beragam monster pun ditampilkan. Juga sebagian mencoba bermain-main dengan fobia. Cobwebyang dibesut Samuel Bodin mencoba mengawinkan formula tersebut dan hasilnya adalah teror tanpa henti sepanjang 88 menit durasinya.
Sama seperti Sixth Sense, Cobweb juga menampilkan karakter bocah cilik sebagai pemeran utamanya. Namanya Peter. Sekilas tak ada yang aneh dengannya. Ia berusaha normal meski tampak kesulitan beradaptasi dengan teman-temannya, dan akhirnya membuatnya menjadi sasaran empuk perisakan.
Berbeda dengan Sixth Sense yang skenarionya rapi dan cermat mengupas hubungan Cole dan ibunya, serta caranya menjalani hari, Cobwebjustru tak mencoba menjangkau lebih jauh bagaimana hubungan Peter dengan kedua orang tuanya.
Lihat Juga :