Pentingnya Multidisiplin Onkologi dan Penanganan Komprehensif untuk Tingkatkan Kualitas Pelayanan Kanker
loading...
A
A
A
JAKARTA - Angka kejadian dan kematian akibat kanker terus meningkat secara global, termasuk Indonesia. Data GLOBOCAN 2020 memperkirakan ada 19,3 juta kasus kanker baru dan hampir 10 juta kematian akibat kanker pada 2020.
Berbagai penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan tren kanker yang terjadi pada usia kurang dari 50 tahun. Meningkatnya angka harapan hidup dan berbagai faktor risiko terkait transisi gaya hidup seperti merokok serta pola diet mungkin berkontribusi pada peningkatan beban kanker ini.
Menurut Guru Besar FKUI Prof. Dr. Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, SpPD-KHOM, M.Epid, M.Pd.Ked, FACP, FINASIM, dalam penanganan kanker, terdapat berbagai tantangan mulai pencegahan hingga paliatif.
"Pasien sering kali terlambat dalam menerima pemeriksaan dan baru datang berobat saat stadium lanjut. Faktor pendidikan yang kurang, rendahnya pendapatan, jauhnya jarak ke tempat pelayanan kesehatan, penggunaan terapi komplementer dan alternatif, serta rendahnya cakupan deteksi dini kanker menjadi faktor besar keterlambatan layanan kesehatan yang didapat pasien," beber Prof. Ikhwan Rinaldi saat dikukuhkan sebagai Guru Besar FKUI di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, belum lama ini.
Guru Besar FKUI Prof. Dr. Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, SpPD-KHOM, M.Epid, M.Pd.Ked, FACP, FINASIM. Foto/Ist
"Keterlambatan penanganan kanker tidak hanya berdampak pada kualitas hidup pasien, namun juga biaya pelayanan kesehatan," tambahnya.
Peningkatan biaya, kata Prof. Ikhwan, berkaitan dengan pilihan pengobatan pada pasien dengan stadium lanjut. Obat-obat yang diterima bukan lagi dalam golongan kemoterapi, namun sudah menggunakan golongan obat baru seperti terapi target dan imunoterapi yang memerlukan pemeriksaan molekular khusus (kedokteran presisi) dengan biaya yang tidak sedikit.
"Bila kanker tidak ditangani secara komprehensif, kanker dapat menjadi ancaman bagi Indonesia yang akan mencapai puncak bonus demografi pada 2045, bersamaan dengan Indonesia berusia tepat 100 tahun atau disebut sebagai Indonesia Emas 2045," katanya.
Prof. Ikhwan menambahkan, hampir sepertiga hingga setengah kanker di Indonesia dapat dicegah apabila masyarakat mendapat pemahaman yang baik mengenai faktor risiko kanker serta perkembangan intervensi pencegahan kanker.
Terkait hal ini, WHO merekomendasikan setiap negara agar memiliki rencana pengendalian kanker nasional yang berfokus pada equity dan akses serta mencakup aspek pencegahan, skrining, diagnosis, pengobatan, survivorship, dan perawatan paliatif. Rekomendasi ini dapat dilaksanakan melalui pusat komprehensif kanker.
"Pusat kanker komprehensif merupakan pusat kekuatan rencana pengendalian kanker nasional dan bertugas untuk mengembangkan pendekatan inovatif dalam pencegahan, diagnosis, dan pengobatan kanker. Misi utama dari pusat kanker komprehensif adalah mengurangi insidens kanker dan meningkatkan kualitas hidup serta tingkat kelangsungan hidup," terang Prof. Ikhwan.
Berbagai penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan tren kanker yang terjadi pada usia kurang dari 50 tahun. Meningkatnya angka harapan hidup dan berbagai faktor risiko terkait transisi gaya hidup seperti merokok serta pola diet mungkin berkontribusi pada peningkatan beban kanker ini.
Menurut Guru Besar FKUI Prof. Dr. Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, SpPD-KHOM, M.Epid, M.Pd.Ked, FACP, FINASIM, dalam penanganan kanker, terdapat berbagai tantangan mulai pencegahan hingga paliatif.
"Pasien sering kali terlambat dalam menerima pemeriksaan dan baru datang berobat saat stadium lanjut. Faktor pendidikan yang kurang, rendahnya pendapatan, jauhnya jarak ke tempat pelayanan kesehatan, penggunaan terapi komplementer dan alternatif, serta rendahnya cakupan deteksi dini kanker menjadi faktor besar keterlambatan layanan kesehatan yang didapat pasien," beber Prof. Ikhwan Rinaldi saat dikukuhkan sebagai Guru Besar FKUI di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, belum lama ini.
Guru Besar FKUI Prof. Dr. Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, SpPD-KHOM, M.Epid, M.Pd.Ked, FACP, FINASIM. Foto/Ist
"Keterlambatan penanganan kanker tidak hanya berdampak pada kualitas hidup pasien, namun juga biaya pelayanan kesehatan," tambahnya.
Peningkatan biaya, kata Prof. Ikhwan, berkaitan dengan pilihan pengobatan pada pasien dengan stadium lanjut. Obat-obat yang diterima bukan lagi dalam golongan kemoterapi, namun sudah menggunakan golongan obat baru seperti terapi target dan imunoterapi yang memerlukan pemeriksaan molekular khusus (kedokteran presisi) dengan biaya yang tidak sedikit.
"Bila kanker tidak ditangani secara komprehensif, kanker dapat menjadi ancaman bagi Indonesia yang akan mencapai puncak bonus demografi pada 2045, bersamaan dengan Indonesia berusia tepat 100 tahun atau disebut sebagai Indonesia Emas 2045," katanya.
Prof. Ikhwan menambahkan, hampir sepertiga hingga setengah kanker di Indonesia dapat dicegah apabila masyarakat mendapat pemahaman yang baik mengenai faktor risiko kanker serta perkembangan intervensi pencegahan kanker.
Terkait hal ini, WHO merekomendasikan setiap negara agar memiliki rencana pengendalian kanker nasional yang berfokus pada equity dan akses serta mencakup aspek pencegahan, skrining, diagnosis, pengobatan, survivorship, dan perawatan paliatif. Rekomendasi ini dapat dilaksanakan melalui pusat komprehensif kanker.
"Pusat kanker komprehensif merupakan pusat kekuatan rencana pengendalian kanker nasional dan bertugas untuk mengembangkan pendekatan inovatif dalam pencegahan, diagnosis, dan pengobatan kanker. Misi utama dari pusat kanker komprehensif adalah mengurangi insidens kanker dan meningkatkan kualitas hidup serta tingkat kelangsungan hidup," terang Prof. Ikhwan.