Gairah Perempuan dalam Karya Chairil

Minggu, 12 November 2017 - 21:08 WIB
Gairah Perempuan dalam Karya Chairil
Gairah Perempuan dalam Karya Chairil
A A A
"BAHKAN, dengan cermin pun aku tak mau berbagi" Sekilas, seperti sangat egois. Namun, sepenggal percakapan sarat makna yang dilontarkan Chairil Anwar dengan Sumirat -salah satu wanita dalam kehidupan penyair besar ini- seakan menjadi jawaban pamungkas bagi banyak pertanyaan penikmat seni yang menyaksikan pementasan Perempuan Perempuan Chairil.

Dalam pementasan berdurasi 3 jam tersebut, diceritakan detail dan cara Chairil memaknai gairah perempuan di hidup dan karya-karya besarnya. Meski banyak perempuan seperti tercampakkan oleh syahwat cintanya, tapi gairah perempuan-perempuan itu pula yang menjadi pelecut Chairil dalam menciptakan banyak karya, sekalipun dirinya juga kerap terluka oleh perempuan.

Secara keseluruhan, lakon Perempuan Perempuan Chairil produksi Titimangsa Foundation dan didukung Bakti Budaya Djarum Foundation ini mengisahkan tentang cinta dan perempuan bagi Chairil adalah inspirasi, juga tragedi yang membuat hidupnya terempas, terlepas, dan luput.

Tersaji dalam empat babak, pementasan ini menggambarkan hubungan Chairil Anwar (diperankan Reza Rahardian) dengan empat perempuan, yakni Ida Nasution (Marsha Timoty), Sri Ajati (Chelsea Islan), Sumirat (Tara Basro), dan Hapsah Wiriaredja (Sita Nursanti). Empat perempuan istimewa dan mereka menggambarkan sosok perempuan pada zaman itu. Diceritakan, Ida Nasution adalah mahasiswi, penulis yang hebat, pemikir kritis, dan bisa menyaingi intelektualisme Chairil ketika mereka berdebat. Sri Ajati juga seorang mahasiswi, bergerak di tengah pemuda-pemuda hebat pada zamannya.

Ikut main teater, jadi model lukis an, gadis ningrat yang tak membeda-bedakan kawan. Sumirat, juga seorang yang terdidik dan lincah. Tahu benar bagaimana menikmati keadaan, mengagumi keluasan pandangan Chairil, menerima dan membalas cinta Chairil dengan sama besarnya, meski akhirnya cinta itu kandas. Lalu, akhirnya Chairil disadarkan oleh Hapsah bahwa dia adalah lelaki biasa. Perempuan yang memberi anak pada Chairil ini, begitu berani mengambil risiko mencintai Chairil, karena tahu lelaki itu akhirnya akan berubah. Meskipun itu terlambat, dia tahu Chairil menyadari bahwa Hapsah benar. Empat perempuan yang tak sama, empat cerita yang berbeda.

Tanpa mengecilkan arti dan peran perempuan lain, tapi lewat cerita empat perempuan ini kita bisa mengenal sosok Chairil juga dunia yang hendak dia jadikan, serta zaman yang menghidupi dan dihidupinya. "Sosok Chairil itu bukan karakter saya banget. Tapi saya akui, semangatnya dalam berkarya tumbuh di diri saya. Itu setelah saya berusaha menyelami sosoknya melalui banyak puisi dan buku yang ditulisnya, termasuk memerankan sosok Chairil itu sendiri," kata Reza Rahardian dalam kesempatan jumpa pers persiapan pementasan Perempuan Perempuan Chairil, di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, belum lama ini.

Cerita Perempuan Perempuan Chairil yang mengangkat sosok penyair besar Indonesia Chairil Anwar ini diselenggarakan dua hari, Sabtu-Minggu (11-12/11), pukul 20.00 WIB, bertempat di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pementasan yang disutradarai Agus Noor dan produser Happy Salma ini juga dimeriahkan dengan hadirnya pemain pendukung, yaitu Sri Qadariatin sebagai perempuan malam dan Indrasitas sebagai maestro lukis Affandi.

Sang sutradara Agus Noor menyebut, lakon dalam Perempuan Perempuan Chairil ini sebagai 'biografi puitik'. Di mana, adegan dan percakapan dihidupkan kembali berdasarkan puisi-puisi Chairil. Dan sudah pasti, percakapan itu tidaklah sebagaimana yang terjadi sesungguhnya karena tidak ada rujukannya antara Chairil dan tokoh lainnya.

Misalnya dengan Mirat, nyaris tak ada referensi yang bisa menjadi acuan, apa yang diperbincangkan, dipertentangkan antara Chairil dan Mirat? Namun, dari puisi-puisi Chairil yang ditulis untuk Mirat, Agus Noor lalu bisa membayangkan pergulatan batin sang penyair, yang kemudian menjadi dasar untuk membuat percakapan dan adegan. Namun, dengan pendekatan biografi puitik, penulisan lakon menjadi memiliki fleksibilitas tafsir karena tak terlalu terbebani untuk menginformasikan sebanyak mungkin fakta-fakta seputar Chairil.

"Fakta-fakta dirujuk untuk mempertegas adegan, percakapan, dan konflik. Pergulatan batin dan kegelisahan Chairil (juga tokoh Ida, Sri, Mirat, dan Hapsah) menjadi bisa dieksplorasi menjadi sebuah drama. Karena bagaimana pun, ini adalah pertunjukan teater yang mestilah memiliki bangunan dramatika atau dramaturgi yang diharapkan memikat," ungkap Agus Noor.

Tak Lekang Waktu

Produser Happy Salma menyebutkan, Chairil Anwar melalui karya-karyanya merupakan cermin sejarah untuk memaknai apa arti kemerdekaan manusia, juga kemerdekaan sebuah bangsa. Setidaknya esensi itu lah yang mendorong dirinya mewujudkan mimpi mementaskan perjalanan hidup Chairil Anwar. Dibantu oleh Agus Noor, cerpenis dan sutradara teater, dari awal Happy Salma merasa yakin, Agus Noor adalah orang yang tepat untuk menyutradarai sekaligus menyiapkan naskah Perempuan Perempuan Chairil.

"Setelah setahun kami intens menggodok rencana produksi, bertemulah kami dengan Hasan Aspahani. Dari buku biografi Chairil yang ditulisnya, apa yang telah kami bayangkan tentang pemanggungan Chairil semakin menemukan bentuk dan fokusnya," kata Happy.

Menurut Happy, riset yang dilakukan Hasan Aspahani dalam proses penulisan bukunya sangat membantu timnya dalam memasuki dunia Chairil Anwar. "Termasuk biografi Chairil yang berhubungan dengan sejumlah sosok perempuan yang hadir dalam puisinya, menjadi gerbang untuk memasuki dunia Chairil Anwar dengan kegelisahan hidup dan pemikirannya, serta pertaruhan yang dilakukan," tutur Happy Salma.

Tak dapat dibantah, Chairil Anwar merupakan sosok penting dalam perkembangan kesusastraan Indonesia modern, sekaligus juga dalam sejarah perjalanan Revolusi Kemerdekaan (1945-1949). Lewat puisi-puisinya, Chairil Anwar telah mengambil peran yang tak kecil demi memberi tenaga dan makna pada semangat revolusi dan kemerdekaan negeri ini. Di saat bangsa dan negeri ini sedang mengawali cita-citanya sebagai bangsa yang merdeka, dalam suasana yang penuh tekanan, Chairil Anwar maju menyuarakan semangat jamannya.

Semangat kebebasan juga keberanian memperjuangkannya, baik sebagai individu maupun bangsa. Dengan semangat itu lah sampai hari ini kita masih bisa mendengar deru dan gelora semangat Chairil di balik puisi-puisinya, seperti sajak Aku, Diponegoro, Perjanjian dengan Bung Karno, Krawang-Bekasi. Begitu pula dengan sejumlah sajaknya yang mengungkap harapan dan kecemasan manusia, Derai-derai Cemara, Senja di Pelabuhan Kecil, atau Do’a.

Chairil Anwar mati muda, tetapi karya-karyanya melampaui zamannya. Dia seakan tak pernah mati. Semangatnya selalu ada dan terus hidup bersama kita. Di sinilah Chairil menjadi penting. Di banyak karyanya, Chairil juga mampu menyuarakan situasi kemanusiaan dan semangat membangun bangsa di ruang masa silam, yang gemanya masih bisa kita maknai sampai hari ini. Gema yang mengajak kita merenungi apa sebenarnya kebebasan itu serta bagaimana pertaruhan di dalamnya, juga apa serta bagaimana sesungguhnya penderitaan dan harapan manusia itu. Seperti gumamnya Sebelum Akhirnya Kita Menyerah, sekali pun Aku Ini Binatang Jalang.
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4607 seconds (0.1#10.140)