Perhimpunan Dokter Ingin Fitofarmaka Masuk JKN, Bisa Diresepkan untuk Pasien BPJS
loading...
A
A
A
JAKARTA - Fitofarmaka sudah dikategorikan sebagai obat yang berasal dari bahan alam yang sudah teruji klinis dan sama khasiatnya dengan obat dari sintesa kimia. Meskipun pemerintah telah membuat Formularium Fitofarmaka, namun sayang Fitofarmaka belum masuk Formularium Nasional Obat untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sehingga banyak dokter belum dapat meresepkannya untuk pasien JKN.
Selain itu, karena belum ada regulasi yang menetapkan Fifofarmaka setara dengan obat sintesa kimia, pihak Asuransi Kesehatan Swasta pun belum dapat menerima klaim peresepan fitofarmaka di rumah sakit, klinik maupun apotek karena masih dianggap golongan obat tradisional.
"Dokter sebenarnya ingin meresepkan fitofarmaka untuk pasien, tapi karena tidak dijamin sehingga menggunakan pengobatan yang lain," kata Kepala Instalasi Farmasi RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Dr. apt. Rina Mutiara dalam Forum Hilirisasi Fitofarmaka yang digelar oleh Ditjen Farmalkes Kementerian Kesehatan (Kemenkes), belum lama ini.
Menurut Rina, saat ini bisa dibilang 90 persen pasien di rumah sakit pemerintah merupakan peserta BPJS Kesehatan. Dengan demikian dokter harus meresepkan obat yang terdapat di Formularium Nasional JKN. Sementara itu, ketika obat tidak masuk Formularium Nasional, maka rumah sakit pun cenderung tidak memasukkannya ke Formularium Rumah Sakit.
"Jadi sebenarnya obat-obat fitofarmaka sudah mulai diresepkan oleh dokter karena sudah diuji pada hewan dan manusia. Tapi pada kenyataannya di rumah sakit belum banyak diresepkan oleh para klinisi atau dokter," imbuh Rina.
Rina berharap fitofarmaka segera masuk Formularium Nasional, meski saat ini Kemenkes telah meluncurkan Formularium Fitofarmaka. Namun, Formularium Fitofarmaka belum mengakomodasi fitofarmaka untuk bisa diklaim dengan BPJS Kesehatan.
Untuk diketahui, Komite Nasional Formularium Nasional telah menyusun daftar obat JKN berdasarkan usulan berbagai pihak terkait, termasuk dokter dan juga rumah sakit. Komite tersebut beranggotakan perwakilan dari pemerintah hingga organisasi profesi kedokteran.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI) Dr. dr. Slamet Sudi Santoso juga mengungkapkan sulitnya fitofarmaka masuk JKN. Padahal, kata dia, Ikatan Dokter Indonesia sudah gencar memberikan edukasi kepada para anggotanya untuk meresepkan fitofarmaka.
Selain PDHMI, perhimpunan kedokteran lain seperti PERDOSNI, POGI, PEGI, PPHI, PGI, PERALMUNI, dan PAPDI juga sudah pernah menyatakan dukungan mereka untuk produk-produk fitofarmaka dapat digunakan dalam sistem JKN demi membangun ketahanan dan kemandirian sektor kesehatan nasional.
"Kemenkes sudah berhasil mengintegrasikan pengobatan herbal di RS Sardjito. Semoga ke depannya bisa dilakukan di fasilitas kesehatan konvensional lainnya," ujar Rizka.
Rizka yang juga Plt. Kepala Badan POM mengungkapkan, sebanyak 80% penduduk dunia menggunakan pengobatan herbal. Oleh karena itu pemerintah mengupayakan kemandirian ketahanan kesehatan, salah satunya melalui obat bahan alam.
Selanjutnya Staf Khusus Menteri Kesehatan Prof Laksono Trisnantoro menyatakan bahwa fitofarmaka saat ini tidak lagi digolongkan sebagai obat tradisional. Oleh karena itu, fitofarmaka setara dengan pengobatan modern.
Salah satu dokter dari RSUP dr. Sardjito, Prof. dr. Nyoman Kertia, mengaku, pihaknya telah banyak meresepkan fitofarmaka untuk pasien. Menurutnya, pasien sangat senang ketika mendapat resep obat bahan alam.
"Saat ini di RS Sardjito sekitar 50 dokter sudah meresepkan herbal. Ini bisa menjadi modal. Saya sendiri sekitar 2.000 pasien saya resepkan herbal," tutur dr. Nyoman.
Selain itu Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. DR. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD juga meresepkan fitofarmaka untuk pasien. Dokter spesialis penyakit dalam ini meresepkan fitofarmaka untuk pasien yang membutuhkan alternatif dari Proton Pump Inhibitor (PPI).
“Dalam clinical practice saya, saya memang menggunakan obat ini (fitofarmaka),” ungkap dr. Ari.
Selain itu, karena belum ada regulasi yang menetapkan Fifofarmaka setara dengan obat sintesa kimia, pihak Asuransi Kesehatan Swasta pun belum dapat menerima klaim peresepan fitofarmaka di rumah sakit, klinik maupun apotek karena masih dianggap golongan obat tradisional.
"Dokter sebenarnya ingin meresepkan fitofarmaka untuk pasien, tapi karena tidak dijamin sehingga menggunakan pengobatan yang lain," kata Kepala Instalasi Farmasi RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Dr. apt. Rina Mutiara dalam Forum Hilirisasi Fitofarmaka yang digelar oleh Ditjen Farmalkes Kementerian Kesehatan (Kemenkes), belum lama ini.
Menurut Rina, saat ini bisa dibilang 90 persen pasien di rumah sakit pemerintah merupakan peserta BPJS Kesehatan. Dengan demikian dokter harus meresepkan obat yang terdapat di Formularium Nasional JKN. Sementara itu, ketika obat tidak masuk Formularium Nasional, maka rumah sakit pun cenderung tidak memasukkannya ke Formularium Rumah Sakit.
"Jadi sebenarnya obat-obat fitofarmaka sudah mulai diresepkan oleh dokter karena sudah diuji pada hewan dan manusia. Tapi pada kenyataannya di rumah sakit belum banyak diresepkan oleh para klinisi atau dokter," imbuh Rina.
Rina berharap fitofarmaka segera masuk Formularium Nasional, meski saat ini Kemenkes telah meluncurkan Formularium Fitofarmaka. Namun, Formularium Fitofarmaka belum mengakomodasi fitofarmaka untuk bisa diklaim dengan BPJS Kesehatan.
Untuk diketahui, Komite Nasional Formularium Nasional telah menyusun daftar obat JKN berdasarkan usulan berbagai pihak terkait, termasuk dokter dan juga rumah sakit. Komite tersebut beranggotakan perwakilan dari pemerintah hingga organisasi profesi kedokteran.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI) Dr. dr. Slamet Sudi Santoso juga mengungkapkan sulitnya fitofarmaka masuk JKN. Padahal, kata dia, Ikatan Dokter Indonesia sudah gencar memberikan edukasi kepada para anggotanya untuk meresepkan fitofarmaka.
Selain PDHMI, perhimpunan kedokteran lain seperti PERDOSNI, POGI, PEGI, PPHI, PGI, PERALMUNI, dan PAPDI juga sudah pernah menyatakan dukungan mereka untuk produk-produk fitofarmaka dapat digunakan dalam sistem JKN demi membangun ketahanan dan kemandirian sektor kesehatan nasional.
Fitofarmaka Sudah Digunakan di Rumah Sakit
Kementerian Kesehatan sudah mengintegrasikan pengobatan konvensional dengan fitofarmaka. Hal ini diungkap oleh Dirjen Farmalkes L. Rizka Andalucia dalam forum tersebut."Kemenkes sudah berhasil mengintegrasikan pengobatan herbal di RS Sardjito. Semoga ke depannya bisa dilakukan di fasilitas kesehatan konvensional lainnya," ujar Rizka.
Rizka yang juga Plt. Kepala Badan POM mengungkapkan, sebanyak 80% penduduk dunia menggunakan pengobatan herbal. Oleh karena itu pemerintah mengupayakan kemandirian ketahanan kesehatan, salah satunya melalui obat bahan alam.
Selanjutnya Staf Khusus Menteri Kesehatan Prof Laksono Trisnantoro menyatakan bahwa fitofarmaka saat ini tidak lagi digolongkan sebagai obat tradisional. Oleh karena itu, fitofarmaka setara dengan pengobatan modern.
Salah satu dokter dari RSUP dr. Sardjito, Prof. dr. Nyoman Kertia, mengaku, pihaknya telah banyak meresepkan fitofarmaka untuk pasien. Menurutnya, pasien sangat senang ketika mendapat resep obat bahan alam.
"Saat ini di RS Sardjito sekitar 50 dokter sudah meresepkan herbal. Ini bisa menjadi modal. Saya sendiri sekitar 2.000 pasien saya resepkan herbal," tutur dr. Nyoman.
Selain itu Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. DR. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD juga meresepkan fitofarmaka untuk pasien. Dokter spesialis penyakit dalam ini meresepkan fitofarmaka untuk pasien yang membutuhkan alternatif dari Proton Pump Inhibitor (PPI).
“Dalam clinical practice saya, saya memang menggunakan obat ini (fitofarmaka),” ungkap dr. Ari.
(tsa)